Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.
Prangg… Brakkk…!
Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.
Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.
Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit.
"Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suaranya serak dan putus asa.
Di dalam warteg, seorang pemuda berdiri di atas kursi, matanya melotot liar menunjuk ke piringnya. "Belatung! nasiku penuh belatung!" teriaknya histeris, sebelum akhirnya melompat dan lari tunggang langgang menabrak pelanggan lain.
Pemilik warteg sebelah, pria gempal itu, berdiri di tengah-tengah kekacauan dengan wajah pucat pasi. Kepanikannya luar biasa. Ia mencoba menangkap lengan salah satu pelanggannya yang hendak kabur.
"Ada apa?! Kenapa kalian semua?! Makanan saya enak!" teriaknya, suaranya bergetar hebat.
"Enak gundulmu!" balas si pelanggan, menepis tangan si pemilik dengan kasar. "Dagingmu rasa bangkai! Lepaskan aku!"
Dengan putus asa, si pemilik warteg menyendok sepotong rendang dari etalasenya, mencoba membuktikan masakannya baik-baik saja. Namun, begitu makanan itu menyentuh lidahnya, matanya langsung terbelalak. Wajahnya berubah hijau. Ia bergegas meludahkannya ke lantai dengan jijik. Rasanya seperti mengunyah karet busuk yang dicampur tanah. Ilusi itu telah hancur. Sihirnya telah pecah.
Melihat wajah ngeri dari pemiliknya sendiri, kepanikan para pelanggan yang tersisa mencapai puncaknya. Mereka berdesakan, saling dorong, dan menjerit-jerit untuk keluar dari warung terkutuk itu.
Si ibu pemilik warteg "Sedap Rasa" hanya bisa berdiri mematung, menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat melihat kengerian itu. Sementara Joko, ia berdiri diam di sampingnya. Matanya menatap tajam ke dalam kekacauan itu, bukan dengan rasa takut, melainkan dengan ekspresi dingin dan pemahaman yang dalam. Ia sekarang tahu, kekuatan yang baru saja ia lepaskan tidak hanya melindungi, tapi juga menghancurkan. Dan ia baru saja menyaksikan akibat mengerikan saat sebuah perjanjian jahat diputuskan secara paksa.
Sementara Joko, ia menatap pemandangan itu dengan tajam. Amarahnya pada si pemilik warteg sebelah kini bercampur dengan rasa iba pada para pelanggan yang tidak bersalah. Mereka hanyalah korban, pion dalam permainan kotor ini. Ia bisa saja membiarkan mereka, tapi hatinya tidak tega. Mereka menjerit dan meronta bukan karena kemauan mereka.
Kasihan mereka... Mereka harus disadarkan, batin Joko.
Didorong oleh niat untuk menolong, Joko memejamkan matanya sejenak, berkonsentrasi. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan, ia hanya mengikuti instingnya. Ia menginginkan ketenangan bagi orang-orang itu.
Kembali, bibirnya bergerak sendiri, merapalkan untaian kata-kata kuno dari kejauhan. Kali ini, bukan mantra penghancur yang keluar dari bibirnya, melainkan rangkaian kata-kata yang terdengar lebih lembut, seperti alunan doa yang menenangkan. Hawa hangat yang lembut dan sejuk terpancar dari tubuh Joko, meluncur tak kasat mata ke seberang, ke tengah-tengah kekacauan.
Efeknya terjadi seketika.
Jeritan melengking yang mengerikan itu perlahan mereda, berubah menjadi isak tangis yang kebingungan. Wanita yang tadinya mencakar lehernya sendiri berhenti, menatap tangannya dengan nanar seolah baru tersadar. Pria yang berteriak tentang belatung itu terdiam, matanya mengerjap-ngerjap, pandangannya kembali jernih. Histeria massa itu surut secepat datangnya.
Rasa panas dan halusinasi mengerikan yang mereka alami lenyap, digantikan oleh rasa mual dan ingatan samar akan sesuatu yang sangat menjijikkan. Mereka saling berpandangan, wajah mereka pucat dan basah oleh keringat, napas mereka masih memburu.
Kepanikan gaib itu telah sirna, kini yang tersisa adalah amarah manusiawi. Serentak, semua mata menoleh dengan penuh kebencian ke arah si pemilik warteg gempal yang berdiri gemetar di antara meja-meja yang berantakan.
"Dasar penipu!" teriak salah seorang dari mereka, memulai makian.
"Saya hampir gila makan di sini! Kembalikan uang saya!"
"Tidak akan pernah lagi saya menginjakkan kaki di warung setan ini!"
Caci maki dan umpatan silih berganti menghujani si pemilik warteg. Tanpa dikomando, satu per satu dari mereka melemparkan uang seadanya ke meja atau bahkan meludah ke lantai sebelum pergi dengan langkah marah. Mereka tidak lagi berlarian seperti orang gila, melainkan berjalan dengan cepat, penuh dengan rasa jijik dan amarah yang membara.
Semua terjadi begitu cepat. Keberhasilannya yang instan, hancur dalam sekejap mata.
Perlahan, ekspresi kosong di wajahnya berubah. Kebingungan berganti menjadi amarah yang meledak-ledak.
"Sialan!" raungnya, suaranya menggema di dalam warung yang kosong. Ia bangkit berdiri dan dengan kalap menendang sebuah kursi yang terguling di dekatnya hingga terpental menghantam dinding.
"Tidak mungkin!" teriaknya lagi, napasnya memburu. Ia menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi.
Ia berjalan mondar-mandir di antara puing-puing makanannya, bergumam pada dirinya sendiri dengan geram. "Apa pesugihanku sudah tidak berfungsi lagi?! Sudah tidak manjur lagi, hah?!"
Matanya melotot liar, menatap ke sudut warung yang gelap seolah sedang memaki sosok tak kasat mata. "Sudah kuberi semua yang kau minta! Kenapa bisa gagal?! kenapa?!"
Ia benar-benar frustrasi. Harapannya untuk menjadi kaya dengan jalan pintas kini sirna. Investasi gaibnya telah bangkrut. Kemarahan dan kepanikan mendorongnya pada satu-satunya kesimpulan yang logis di benaknya ia telah ditipu.
Dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, ia berhenti mondar-mandir. Tekad baru yang gelap kini menguasainya. Ia harus menuntut jawaban.
"Kurang ajar," desisnya.
Tanpa pikir panjang lagi, ia bergegas menuju meja kasir, menyambar kunci motornya yang tergantung di paku. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan warungnya yang berantakan. Dengan langkah tergesa-gesa, ia keluar, membanting pintu di belakangnya, dan dengan sekali hentakan kaki yang keras, ia menyalakan mesin motor bebeknya.
Dengan deru mesin yang meraung-raung, ia tancap gas, melesat pergi dari lokasi itu dengan kecepatan tinggi, berniat untuk mendatangi sang dukun yang telah memberinya 'jimat' penglaris itu. Ia akan meminta pertanggungjawaban, tak peduli apa pun risikonya.
Deru mesin motor itu perlahan lenyap di kejauhan, meninggalkan keheningan yang canggung di antara Joko dan si ibu pemilik warteg. Di seberang jalan, "Warteg Barokah" kini tampak seperti kapal karam—kosong, berantakan, dan ditinggalkan.
Si ibu masih berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu dengan ngeri seraya mengelus dada. "Astaghfirullahaladzim... ada apa sebenarnya ini, Nak? Kenapa jadi begini..." gumamnya, suaranya masih bergetar.
Joko tidak menjawab. Matanya menatap tajam ke arah jalan di mana pria gempal itu menghilang. Pikirannya bekerja cepat. Pria itu tidak terlihat seperti orang yang akan menyerah. Dia pergi bukan karena kalah, tapi untuk mencari bala bantuan—bantuan dari sumber ilmunya yang kotor. Joko tahu, ancaman itu belum selesai. Cepat atau lambat, serangan balasan akan datang.
Tangannya di dalam saku jaket menggenggam erat sang pusaka. Ia memusatkan niatnya, bukan untuk menghancurkan atau menenangkan, tapi untuk membangun sebuah perisai.
Tanpa disadari oleh si ibu, bibir Joko bergerak, menggumamkan mantra lain dengan sangat pelan, nyaris tanpa suara. Lagi-lagi, itu adalah rangkaian kata-kata kuno yang mengalir begitu saja, bahasa yang tidak ia kenali namun terasa begitu akrab di lidahnya.
Saat gumaman itu selesai, keris di sakunya memancarkan kehangatan sesaat. Bagi mata biasa, tidak ada yang terjadi. Namun jika ada yang memiliki mata batin, ia akan melihat selubung cahaya keemasan yang tipis dan transparan sekejap menyelimuti seluruh bangunan warteg itu, dari atap hingga pondasi, sebelum akhirnya meresap dan lenyap, meninggalkan sebuah benteng gaib yang tak kasat mata.
Joko merasakan sedikit energi terkuras dari tubuhnya, membuatnya sedikit pusing. Namun bersamaan dengan itu, ia merasakan ketenangan. Warung ini sekarang aman.
"Nak?"
Suara si ibu membuyarkan konsentrasinya. Wanita itu kini menatapnya dengan lekat, tatapan penuh tanda tanya, kekaguman, dan sedikit rasa takut. "Kamu... kamu belum menjawab pertanyaan Ibu. Siapa kamu sebenarnya?"
Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua
Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany
Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru
Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s
Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b
Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me