Joko benar-benar kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa menatap tumpukan uang di tangannya sebuah keajaiban kecil lalu ke wajah Pak Rahmat yang kini tersenyum tulus. Semua logika di kepalanya sudah menyerah.
Dengan perasaan campur aduk antara bingung, terharu, dan sebuah harapan yang membuncah liar, Joko berdiri. "Te..terima kasih... Terima kasih banyak, Pak Rahmat," ucapnya, suaranya tulus dan sedikit bergetar.
"Sama-sama, Jok. Hati-hati di jalan nanti," balas Pak Rahmat.
Joko membalikkan badan dan berjalan pulang. Ia bisa merasakan tatapan penuh tanda tanya dari para kuli pacul lain di punggungnya, tapi ia tidak peduli. Ia berjalan cepat, tangannya menggenggam erat uang yang terasa seperti tiket emas menuju takdir baru. Di dalam hatinya, ia yakin, semua keajaiban ini terhubung pada benda dingin berbentuk gunungan wayang yang tersembunyi di gubuknya.
Setibanya di gubuk, ia tak membuang waktu. Tas kanvas pudar peninggalan masa SMP menjadi saksi bisu dimulainya babak baru. Dua helai kemeja lusuh, satu kaus, dan satu celana panjang ia masukkan. Tak banyak, tapi ini adalah seluruh dunianya. Matanya memindai setiap sudut gubuk yang sempit itu dipan bambu tempat kakeknya berpulang, dingklik kayu hasil karya tangan sang kakek, guratan tinggi badannya di tiang utama.
Sayatan perih terasa di hatinya. Meninggalkan tempat ini terasa seperti merobek sebagian jiwanya. Namun, bayangan wajah Lestari yang penuh penghinaan melintas. Seketika, rasa perih itu berubah menjadi baja. Ia harus pergi.
Sore pun tiba. Langit jingga membentang saat Joko duduk di ambang pintu, menunggu deru mesin yang akan mengubah hidupnya.
BROOMM... BROOMM...
Suara diesel yang parau terdengar dari kejauhan. Jantung Joko berdebar. Itulah suaranya. Truk sayur Mang Ujang. Ia memasukkan kembali keris pusaka ke saku jaketnya, menarik napas dalam, lalu melangkah keluar untuk terakhir kali, tanpa menoleh ke belakang.
Truk tua itu melambat saat melihat Joko berlari kecil. Pintu berderit saat dibuka.
"Walah, Joko! Mau ke mana sore-sore begini? Tumben rapi," sapa Mang Ujang, sopir truk itu, dengan logat Sunda yang kental.
"Mau ke terminal, Mang! Boleh nebeng?"
Mang Ujang tertawa, menepuk-nepuk setir. "Ke terminal? Mau jemput siapa? Pacar baru, ya?" ejeknya ramah.
"Bukan, Mang. Saya mau ke Jakarta."
Tawa Mang Ujang berhenti seketika. Ia menatap Joko dari atas ke bawah, raut wajahnya berubah serius. "Ke Jakarta? Kamu ini jangan ngaco, Jok. Mau apa kamu di sana? Di sini saja hidupmu susah, apalagi di kota."
"Justru karena itu, Mang. Di sini saya mau jadi apa?" balas Joko, suaranya kini lebih tegas. "Saya mau cari peruntungan."
"Peruntungan gundulmu!" semprot Mang Ujang, kini nadanya sedikit meninggi. "Jakarta itu bukan tempat buat orang modal nekat sepertimu, Le! Di sana itu isinya orang jahat semua! Kamu baru turun dari bus saja dompetmu sudah bisa hilang. Kamu mau tidur di mana? Mau makan apa? Batu?"
Kata itu kembali menusuk telinga Joko, sama persis seperti yang diucapkan Lestari. Rahangnya mengeras.
"Saya akan cari jalan, Mang."
"Cari jalan bagaimana?! Kamu pikir cari kerja di sana gampang? Ijazahmu apa? SMP, kan? Di Jakarta, yang sarjana saja nganggur, Joko! Dengar kata orang tua, jangan keras kepala. Pulang sana, besok kerja lagi di ladang. Hidup di desa itu lebih tenang."
Ini adalah perdebatan pertamanya. Ujian pertamanya. Joko menatap lurus ke mata Mang Ujang, tatapan yang entah kenapa membuat pria paruh baya itu sedikit terkejut. Ada keteguhan di sana yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Terima kasih nasihatnya, Mang. Tapi saya sudah putuskan. Kalau Mang Ujang tidak mau memberi tumpangan, tidak apa-apa. Saya akan jalan kaki ke terminal," kata Joko dengan tenang, siap berbalik.
Mang Ujang terdiam. Ia menghela napas panjang, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia melihat sesuatu yang berbeda di mata anak ini. Bukan lagi kenekatan bocah, tapi keputusan seorang lelaki.
"Hhh... keras kepala sekali kamu ini, sama seperti kakekmu," gerutunya, nadanya kini melunak. "Ya sudah, naiklah. Tapi Bapak tidak mau tanggung jawab kalau kamu nanti pulang tinggal nama."
Joko tersenyum tipis. "Terima kasih, Mang."
"Eit, tunggu dulu," tahan Mang Ujang. "Dengarkan aku dulu. Ini penting."
Ia mencondongkan tubuhnya. "Di kota nanti, jangan pernah tunjukkan kalau kamu orang bingung. Jalan harus tegak, tatapan harus lurus. Jangan gampang percaya sama orang yang terlalu baik, biasanya ada maunya. Kalau kepepet tidak punya tempat tidur, cari masjid besar, biasanya aman untuk istirahat. Dan yang paling penting, jaga uangmu baik-baik, jangan taruh semua di dompet."
Nasihat tulus itu meresap ke dalam hati Joko. "Iya, Mang. Saya akan ingat."
"Bagus. Ya sudah, naik ke belakang. Di depan sudah penuh sama bakul," katanya, kembali ke nada ramahnya.
"Siap, Mang! Terima kasih banyak!"
Joko dengan sigap memanjat ke bak belakang truk yang penuh dengan tumpukan peti sayuran. Ia duduk di satu-satunya ruang tersisa, memeluk tasnya erat-erat. Dengan kepulan asap hitam, truk itu kembali melaju, meninggalkan Desa Suka Makmur dalam keremangan senja.
Terombang-ambing mengikuti guncangan truk, ditemani aroma tanah basah dan sayuran segar, Joko menatap langit yang mulai gelap. Perjalanan ini mungkin dimulai dengan tidak nyaman, tapi di dalam dadanya, api harapan terasa begitu hangat dan nyata. Ini adalah rasa kebebasan.
Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua
Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany
Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru
Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s
Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b
Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me