Share

BAB 3

last update Last Updated: 2025-10-03 00:12:30

Lestari merasakan sengatan aneh, seperti aliran listrik yang sangat lemah, menjalar dari pergelangan tangan Joko ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang hingga terasa sakit. Kepalanya pusing, dan tiba-tiba, yang ia lihat hanyalah Joko.

Dia... dia sangat tampan. Kenapa aku baru menyadari matanya begitu dalam? Pikiran aneh itu muncul begitu saja di benak Lestari, membuatnya merona.

Joko sendiri merasakan sentuhan itu sebagai gangguan yang menjengkelkan. Ia menatap Lestari dengan tatapan yang nyaris mengintimidasi.

"Lepaskan aku, Lestari. Aku tidak suka disentuh," kata Joko, nadanya kini mengandung peringatan.

Lestari tersentak, cepat-cepat ia melepaskan tangannya, terkejut pada dirinya sendiri.

"Maaf, Joko. Maafkan aku," Lestari menunduk, meremas tangannya sendiri. "Aku... aku tidak mengerti kenapa. Tapi aku... aku tidak mau kamu pergi. Setidaknya, jangan sekarang. Aku mohon. Bisakah... bisakah kamu tinggal sehari lagi? Aku mau bicara banyak hal padamu."

Joko menatap Lestari, kemudian melirik Dina dan Susi yang berdiri seperti patung, terdiam oleh interaksi yang sangat tidak masuk akal ini.

"Kamu ingin bicara? Tentang apa? Tentang kasta? Tentang gajiku yang tidak sebanding dengan uang jajanmu?" tanya Joko, sekali lagi, mengulang kata-kata Lestari.

"Bukan! Bukan soal itu! Soal... soal..." Lestari mengangkat kepalanya, matanya dipenuhi kejujuran dan kepanikan. "Soal kita. Soal... mungkin aku salah nilai. Mungkin kamu memang pria yang baik. Aku... aku hanya ingin tahu kenapa kamu tiba-tiba berubah. Kamu... kamu berbeda, Joko."

Joko mendengus. "Kamu yang berubah, Lestari. Dua hari lalu aku adalah 'Sampah', sekarang aku tiba-tiba 'Berbeda'? Aku hanya Joko yang sama, hanya saja aku tidak lagi menganggapmu sebagai 'Langit'. Aku sudah sadar. Dan kesadaran itu lebih penting daripada bicara apa pun denganmu."

Joko kembali meraih cangkulnya.

"Aku harus pergi. Jangan ganggu aku lagi. Kamu dan aku, kita tidak punya apa-apa untuk dibicarakan."

Joko mulai melangkah pergi.

"JOKO! TUNGGU!" teriak Lestari. Ia berlari mengejar dan kini berdiri menghalangi jalan Joko. Air matanya sudah mengalir deras. Ia terlihat benar-benar putus asa.

"Apa lagi, Lestari?!" kesabaran Joko mulai menipis.

"Aku akan membantumu!" seru Lestari. "Aku akan bantu kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik! Aku punya kenalan di kota! Aku akan biayai kamu untuk sekolah paket C! Asal... asal kamu tidak pergi!"

Tawaran itu, bagi Joko yang lama, adalah sebuah keajaiban yang tak terbayangkan. Tapi bagi Joko yang sekarang, yang di dalam dadanya bersemayam Keris Semar Mesem yang dingin, tawaran itu terasa seperti... penghinaan lain.

"Kamu mau membantuku? Agar apa? Agar kamu bisa merasa sebagai 'dermawan'?" Tatapan Joko sangat menusuk. "Aku tidak butuh bantuanmu, Lestari. Aku akan mencari jalan hidupku sendiri. Dan kamu tidak ada di dalamnya."

Lestari menggigit bibir bawahnya, air mata bercampur dengan ingus, merusak citra cantiknya.

"Tapi... tapi aku suka kamu, Joko!"

Kata-kata itu terucap, spontan, tanpa kontrol. Lestari sendiri terkejut mendengarnya. Dina dan Susi di belakang mereka, yang dari tadi hanya diam, kini membelalakkan mata lebar-lebar.

Joko terdiam. Ia menatap Lestari, dan sebuah ironi yang begitu pahit menjalar di hatinya.

"Kamu suka aku?" Joko tersenyum, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. "Dua hari lalu, kamu membakar habis perasaanku. Kamu bilang cintaku tidak bisa membelikanmu skincare dan kuota internet. Sekarang, setelah aku tidak peduli, kamu bilang suka?"

"Aku tidak tahu kenapa!" Lestari berteriak putus asa. "Aku... aku merasakan sesuatu yang aneh sejak kamu muncul. Kamu... kamu seperti punya magnet! Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu! Aku bingung! Aku benci diriku yang tiba-tiba peduli padamu, tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaanku!"

Joko menatapnya lama, tanpa ekspresi.

"Lestari," kata Joko, suaranya pelan, namun berat. "Itu bukan cinta. Itu hanya ketidaknyamanan. Kamu tidak terbiasa dengan pria yang tidak memujamu. Kamu tidak terbiasa dengan penolakan. Kamu hanya sedang bingung karena ego-mu terusik."

Joko mengangkat cangkulnya lagi.

"Aku akan pergi ke rumah Pak Rahmat. Aku akan tinggalkan desa ini hari ini juga. Dan jika takdir mempertemukan kita lagi, aku berharap kamu sudah menjadi Lestari yang 'Langit' sejati, yang tidak perlu repot-repot menengok 'Tanah' sepertiku."

Joko melangkah ke samping, melewati Lestari, dan melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh sedikit pun.

Lestari tetap berdiri di tengah jalan, terisak, hancur. Bukan oleh penolakan, tapi oleh kebingungan yang mencekik dan perasaan baru yang menembus pertahanan egonya.

Dina dan Susi menghampirinya.

"Tari, kamu gila? Kamu baru saja bilang suka sama Joko si gembel itu?!" tanya Dina, tercengang.

Lestari tidak menjawab. Ia hanya terus menatap punggung Joko yang semakin menjauh. Punggung itu, yang dua hari lalu terlihat kurus dan menyedihkan, kini terasa tegak, kuat, dan... memikat.

"Ada apa dengan Joko?" bisik Susi, menatap Lestari. "Kenapa dia tiba-tiba... seperti orang lain? Aku juga tadi merasa agak takut menatap matanya."

Lestari menoleh ke teman-temannya, matanya yang basah dipenuhi tekad yang tidak masuk akal.

"Aku tidak tahu," jawab Lestari, suaranya serak. "Tapi aku akan cari tahu. Aku akan ke rumahnya. Aku akan minta maaf lagi. Aku... aku tidak bisa membiarkan dia pergi. Ada sesuatu dalam dirinya yang aku butuhkan, dan aku akan mendapatkannya!"

Lestari berbalik, ia mulai berlari kencang, tidak ke saung, tapi ke arah yang berlawanan dari Joko.

"Tari! Mau ke mana?" teriak Dina.

"Ke rumah Joko! Dia tidak akan pergi secepat itu! Aku harus bicara dengannya lagi!" balas Lestari tanpa menoleh, tekadnya kini menggantikan keangkuhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 181

    “Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   Bab 180

    Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 179

    Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 178 Kkeuatan Baru

    Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   Bab 177

    Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di

  • Pembalasan Sang Dokter Jenius   BAB 176

    “Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status