LOGINBaru saja Joko menutup ritsleting ranselnya, ketukan pelan, namun gigih, terdengar di pintu kayu gubuk.
Tok... tok... tok.
Joko mengernyit. Ia tidak punya tamu. Siapa yang sudi bertamu ke gubuknya di tengah gerimis seperti ini? Pikirannya langsung melayang pada satu nama yang paling mungkin—dan paling tidak ia harapkan.
Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju pintu. Ia membuka sedikit celah, dan dugaannya benar.
Di luar, berdiri Lestari.
Gadis itu basah kuyup di bagian pundak dan kakinya, meski ia memegang payung mungil berwarna merah muda yang tampak kontras dengan suasana kelabu di sekitar. Wajahnya pucat karena dingin, tapi matanya bersinar penuh tekad.
Joko hanya menatapnya tanpa ekspresi.
"Kau hanya menatapku dan membiarkanku kedinginan di luar?" tanya Lestari, suaranya sedikit bergetar, entah karena dingin atau karena frustrasi.
Joko menghela napas, sama sekali tidak terkesan.
"Seharusnya kamu tidak perlu berada di sini, Lestari. Aku sudah bilang, aku akan pergi. Dan kamu juga sudah tahu, aku tidak ingin diganggu," jawab Joko, suaranya tetap tenang dan dingin.
Lestari memajukan kakinya sedikit, memaksa Joko mundur selangkah.
"Aku tahu. Tapi aku tidak peduli," Lestari menggigit bibir bawahnya. "Aku sudah bilang, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Aku harus bicara. Dan melihatmu berdiri di ambang pintu begini membuatku merasa seperti pengemis yang diusir majikannya. Bukan itu yang kumaksud, Joko."
Joko memandangi Lestari. Pikirannya berdengung.
Apakah ini efek dari keris ini? gumam Joko dalam hati. Orang yang dulu kubenci dan kucintai, sekarang mengejarku balik dengan wajah memohon. Semar Mesem... daya tarik yang tak terbantahkan.
"Joko!" Lestari memanggilnya lagi, menyentak Joko dari lamunannya. "Berhentilah melamun. Pintu ini hanya selembar kayu, kau tahu? Kalau aku mau, aku bisa mendobraknya. Tapi aku tidak mau kurang ajar. Jadi, izinkan aku masuk."
Joko menyandarkan bahunya ke kusen pintu. "Untuk apa? Mau masuk ke gubuk reot ini? Memangnya kamu tidak jijik melihat lantai papan yang miring ini, atau bau minyak angin bekas Kakekku yang belum hilang?"
Lestari mendengus, matanya menunjukkan rasa sakit yang nyata.
"Tolong, jangan gunakan kata-kata itu untuk menyiksaku, Joko," pinta Lestari. "Aku tahu aku salah. Aku akui semua keangkuhanku. Tapi sekarang aku datang bukan sebagai 'Langit' yang meremehkan 'Tanah'. Aku datang sebagai Lestari yang kebingungan. Aku datang sebagai seseorang yang baru saja menyadari bahwa ia telah membuang permata demi seonggok sampah."
Joko menyeringai tipis. "Sebuah pengakuan yang manis. Tapi itu terlambat, Lestari. Permata itu sudah tidak menginginkanmu."
"Mungkin permata itu sudah tidak menginginkanku, tapi aku akan membuat permata itu menginginkanku lagi," balas Lestari, nadanya kini tegas, bukan lagi memohon. "Aku tidak akan pergi sampai kamu mendengarkan semua yang ingin kusampaikan."
Lestari menggeser payungnya, membiarkan gerimis membasahi sedikit kepalanya. Ia memainkan kartunya: simpati dan ketegasan.
Joko menatap genangan air yang mulai terbentuk di teras gubuknya. Jika dia terus berdiri di sini, perdebatan ini akan menjadi tontonan tetangga. Selain itu, ada rasa penasaran yang menggelitik. Ia ingin menguji seberapa jauh efek pusaka itu bekerja pada Lestari.
"Baiklah," kata Joko, akhirnya mengalah. Ia membuka pintu lebar-lebar. "Masuklah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu pulang dengan penyakit gatal-gatal, karena gubuk ini memang penuh debu."
Lestari segera melangkah masuk, menutup payungnya. Ruangan kecil itu terasa semakin sempit dengan keberadaannya. Aroma parfum mahal yang biasa ia pakai berbenturan aneh dengan bau kayu lapuk dan lembap.
"Terima kasih," kata Lestari, melipat payungnya di sudut ruangan. Ia melihat sekeliling, dan matanya berhenti pada dipan tempat Kakek Joko meninggal. Raut wajahnya kembali menjadi sedih. "Aku... turut berduka lagi, Joko."
Joko duduk di kursi reyot dekat jendela. "Duduklah, Lestari. Di lantai saja. Kursi ini terlalu rapuh untuk menopang beban 'Langit' sepertimu."
Lestari menghela napas, ia menarik napas panjang, lalu perlahan duduk di lantai papan, jauh dari kesan angkuh yang biasa ia tunjukkan.
"Aku tidak datang untuk berdebat soal kasta, Joko," katanya, menatap mata Joko dengan sungguh-sungguh. "Aku datang untuk... minta maaf. Bukan hanya ucapan di mulut, tapi dari hati yang tulus. Aku benar-benar menyesali semua yang kukatakan. Aku adalah gadis paling angkuh dan bodoh di desa ini."
"Aku setuju denganmu," potong Joko tanpa basa-basi.
Lestari tersentak, tapi ia melanjutkan, memaksa dirinya. "Aku pantas mendapatkan kata-kata kasarmu. Tapi aku mohon, berikan aku kesempatan untuk menjelaskan mengapa aku datang kemari. Aku... aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku."
"Kenapa? Kamu tiba-tiba sadar kalau aku ini pria yang tulus? Aku sudah bilang, itu terlambat," kata Joko.
"Bukan! Bukan hanya itu!" Lestari meninggikan suaranya, frustrasi. "Aku sudah menolakmu ribuan kali dalam hati, bahkan sebelum kamu memberiku bunga itu. Tapi kenapa, Joko?! Kenapa setelah kamu menolakku pagi tadi, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku?!"
Ia mencondongkan tubuh sedikit. "Aku mencoba melupakanmu, tapi wajahmu terus berkelebat. Matamu yang dingin itu... entah kenapa membuatku merinding dan penasaran di saat yang sama. Aku melihatmu berjalan pergi, dan rasa panik itu... seperti udara yang dihisap dari paru-paruku. Aku takut, Joko. Aku takut kehilangan sesuatu yang baru kusadari berharga."
Joko menyandarkan dagunya di tangannya. Ia mengamati Lestari. Ya, pusaka itu bekerja dengan sangat kuat.
"Kamu hanya merindukan pengagum," ujar Joko dengan nada sinis yang disembunyikan dengan baik. "Kamu butuh seseorang untuk dipuja. Dan aku sudah berhenti melakukannya. Itu yang membuatmu panik."
"Tidak! Dengarkan aku!" Lestari berkeras. "Aku punya banyak pria yang mengagumiku! Mereka lebih kaya, lebih tampan darimu! Tapi kenapa, setiap kali aku memikirkan mereka, aku merasa hambar? Kenapa setiap kali aku memejamkan mata, yang kulihat adalah kau membawa cangkul, menatapku dengan dingin?!"
Air mata mulai menggenang lagi di mata Lestari. "Aku tidak peduli dengan uangmu! Aku tidak peduli dengan gubuk ini! Aku tidak peduli dengan statusmu! Aku hanya peduli padamu, Joko. Dan aku tidak mengerti kenapa! Aku hanya ingin kamu berada di dekatku!"
Joko menghela napas lagi. "Perasaanmu itu tidak nyata, Lestari. Itu hanya euforia sementara karena ego-mu tersentuh. Setelah beberapa hari, kamu akan kembali ke dirimu yang angkuh dan mencariku untuk diejek lagi."
"Tidak akan! Aku bersumpah!" Lestari mengangkat tangannya. "Aku sudah memikirkan ini sepanjang hari! Aku siap melakukan apa saja agar kamu tidak pergi!"
Joko terdiam sejenak. Ia melihat tekad yang begitu kuat di mata Lestari. Mungkin, ini saatnya ia mulai menggunakan kelebihan barunya.
"Kamu ingin aku tidak pergi?" tanya Joko, suaranya sedikit melunak, namun tetap penuh perhitungan.
"Ya! Tolong, Joko!"
"Kamu ingin aku tinggal di sini? Di desa Suka Makmur ini?"
"Ya!"
Joko tersenyum sinis, berdiri dari kursinya. Ia berjalan mendekat ke Lestari, menunduk sehingga mata mereka sejajar. Lestari menahan napas.
"Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik, Lestari," desis Joko, suaranya rendah dan penuh wibawa. "Aku tidak akan tinggal di desa ini sebagai 'Tanah' yang kamu injak-injak. Aku hanya akan tinggal jika kamu mau melakukan sesuatu yang akan membuktikan bahwa kamu tidak lagi meremehkanku."
Wajah Lestari memerah karena kedekatan Joko. "A-apa itu? Katakan! Aku akan lakukan!"
"Bukan uang. Aku tidak butuh uangmu," kata Joko. "Aku hanya butuh... harga diriku kembali, dengan caraku sendiri."
Joko mundur, berjalan ke sudut ruangan, dan mengambil ranselnya. Ia kemudian kembali berdiri di hadapan Lestari.
"Aku akan merantau. Keputusanku sudah bulat. Tapi aku akan tinggal sehari lagi di desa ini," kata Joko, matanya menatap tajam ke mata Lestari. "Dan satu hari itu, kamu akan menjadi... asisten-ku."
Lestari mengerutkan kening. "Asisten? Maksudmu?"
Lestari terdiam, syok. Ini adalah penghinaan yang disamarkan sebagai permintaan. Dia, Lestari, sang kembang desa, harus menjadi babunya Joko?
"Joko... itu..."
"Apa? Terlalu berat bagi 'Langit' sepertimu?" potong Joko cepat. "Kalau begitu, lupakan saja. Aku akan pergi sekarang juga." Joko pura-pura meraih ranselnya.
"Tunggu!" Lestari menahan tangannya. Ia memejamkan mata sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Ketika ia membukanya, ada kilatan tekad gila.
"Baiklah," katanya tegas. "Aku terima. Aku akan menjadi asistenmu. Aku akan melakukan apa pun yang kau minta, hanya untuk membuktikan padamu bahwa perasaanku padamu itu nyata, dan aku tidak lagi peduli dengan apa kata orang."
Joko menatap Lestari, mencoba membaca kebohongan di matanya. Namun, ia hanya menemukan keputusasaan yang tulus, diperkuat oleh pengaruh halus pusaka yang ia bawa.
"Aku tidak butuh ucapan Lestari," ujar Joko, suaranya tetap skeptis. "Aku butuh pembuktian. Kamu akan menemaniku besok, seharian penuh. Kamu harus membantuku membereskan gubuk ini dan menjual beberapa barang Kakekku yang tidak terpakai di pasar desa. Kamu harus melayaniku tanpa keluhan. Tanpa gengsi. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu bisa menjadi 'Tanah', sama sepertiku."
"Aku setuju," jawab Lestari tanpa ragu. "Aku akan melakukannya. Aku akan datang besok pagi, sebelum matahari terbit, dan melakukan semua yang kau minta."
“Ini...” kata Joko. “Bukan fitnah lagi.”Mata Eyang Giri Sewu melotot, pembuluh darah di matanya pecah. Ia meronta-ronta, kakinya menendang-nendang tanah dalam sakaratul maut.“Ini...” lanjut Joko, menatap matinya cahaya kehidupan di mata sang Maha Guru. “Baru aku yang melakukan pembunuhan.”KREK.Sebuah sentakan akhir yang kuat mengakhiri segalanya.Tubuh Eyang Giri Sewu kejang sesaat, lalu terkulai lemas. Matanya yang melotot menatap kosong ke langit malam, dipenuhi oleh ketakutan abadi. Sang Maha Guru dari Gunung Lawu, yang ditakuti oleh banyak orang, tewas di tangan seorang pemuda di lapangan kosong yang becek, karena kesombongannya sendiri.Joko melepaskan cengkeramannya. Ia berdiri perlahan, menatap mayat di kakinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena pelepasan adrenalin yang dahsyat.Ia baru saja membunuh orang. Dengan tangannya sendiri. Dengan sadar.Anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ia tidak merasa bersalah. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, dan sebua
Eyang Giri Sewu, Sang Maha Guru yang ditakuti di seluruh tanah Jawa, kini tak ubahnya seperti orang tua renta yang ketakutan. Dengan napas tersengal dan jubah hitam yang compang-camping, ia menyeret kakinya menjauhi lapangan itu. Ia tidak memedulikan Ki Agni dan Ki Banyu yang masih pingsan. Nalurinya hanya menjerit satu hal: lari. Ia harus kembali ke gunung, menyusun ulang kekuatan, dan tidak pernah berurusan lagi dengan wadah Naga Raja ini.Namun, ia melupakan satu hal. Naga tidak melepaskan mangsanya begitu saja.Di tengah lapangan, Joko yang masih berlutut perlahan mengangkat kepalanya. Cahaya emas di matanya memang sudah padam, namun kini digantikan oleh kegelapan yang pekat dan dingin. Sesuatu di dalam dirinya telah patah. Tuduhan Eyang Giri Sewu tadi, fitnah keji bahwa ia membunuh Ki Karyo dengan pistol, terus terngiang di telinganya, berputar-putar, bercampur dengan adrenalin dan sisa-sisa aura naga yang buas.“Dia menuduhmu membunuh,” bisik sebuah suara di kepalanya. Bukan sua
Suhu pusaka itu melonjak drastis. Bukan lagi hangat. Bukan lagi panas. Itu adalah sensasi terbakar. Rasanya seperti ada sepotong besi cair yang ditempelkan langsung ke kulit dada Joko.Rasa sakit dari panas itu begitu hebat hingga menyentak Joko kembali ke kesadaran penuh. Matanya terbuka lebar."Argh..." erangnya.Panas itu tidak membakar kulitnya menjadi abu. Sebaliknya, panas itu meresap ke dalam, menembus daging, menembus tulang, dan masuk langsung ke dalam aliran darahnya. Energi yang tertidur di dalam pusaka itu, energi yang selama ini hanya keluar sedikit demi sedikit, kini dipaksa bangun sepenuhnya oleh ancaman kematian.Darah Joko mendidih. Jantungnya berdetak dengan ritme yang baru, ritme yang lambat namun begitu kuat hingga terdengar seperti dentuman drum perang di telinganya. Dug... Dug... Dug...Di dalam benak Joko, suara Khodam yang tadi panik kini berubah. Ia tidak lagi berbicara. Ia meraung. Raungan itu bukan suara manusia. Itu adalah suara binatang purba.Dan kemudian
Ki Agni dan Ki Banyu tidak sempat menghindar. Mata mereka terbelalak ngeri.BOOOMMMM!!!Bola itu meledak tepat di depan mereka.Gelombang ledakan melemparkan kedua murid senior itu ke udara seperti boneka kain. Mereka terpental jauh ke belakang, menabrak pepohonan di pinggir lapangan, dan jatuh bergedebuk ke tanah. Asap mengepul dari tubuh mereka. Mereka tidak bergerak lagi. Pingsan, atau mungkin lebih parah.Joko jatuh berlutut, napasnya memburu hebat, keringat bercucuran deras. Ia berhasil. Ia memenangkan adu tenaga dalam itu.Namun, kemenangannya belum lengkap.Dari balik asap ledakan yang mulai menipis, terdengar suara tepuk tangan. Pelan. Lambat. Dan mengerikan.Prok… Prok… Prok…Joko mendongak.Eyang Giri Sewu masih berdiri di tempatnya semula. Jubah hitamnya bahkan tidak kusut sedikit pun. Wajah tuanya diterangi oleh sisa-sisa cahaya energi. Ia tidak terlihat marah. Ia tidak terlihat takut.Ia tersenyum. Senyum yang membuat darah Joko membeku.“Luar biasa,” kata Sang Maha Guru,
Jarum-jarum es itu menghantam perisai Joko, pecah berkeping-keping seperti kaca yang menabrak tembok baja. Serpihan es berhamburan, menciptakan kabut dingin yang bercampur dengan uap panas dari serangan Ki Agni.“Serangan ganda!” perintah Ki Agni.Tanpa memberi jeda, kedua murid Eyang Giri Sewu itu menyerang bersamaan. Ki Agni dari kanan dengan pukulan-pukulan api yang eksplosif, dan Ki Banyu dari kiri dengan sabetan-sabetan tangan yang dialiri energi air yang tajam dan memotong seperti pisau.Joko terdesak hebat. Ia menari di antara api dan air, menangkis, menghindar, dan melompat. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ini jauh lebih sulit daripada melawan preman fisik. Ini adalah pertarungan energi. Setiap benturan menguras tenaga dalamnya, setiap tangkisan membuat tulang-tulangnya bergetar.“Gunakan matamu, bocah!” bentak Khodam di kepalanya. “Jangan lihat gerakan fisik mereka! Itu tipuan! Lihat aliran energinya! Baca niat mereka sebelum mereka bergerak!”Joko memaksakan fokusnya di
“Wahyu Kencana,” katanya, suaranya penuh dengan hasrat. “Kekuatan suci itu terlalu agung untuk berada di tubuh kotor seorang pembunuh sepertimu. Kau telah menodainya. Kau telah menggunakan kekuatan itu untuk kejahatan.”“Aku tidak membunuhnya!” tegas Joko lagi, mulai merasa frustrasi. “Terserah kalian mau percaya atau tidak. Tapi kalau kalian datang ke sini hanya untuk menuduhku sembarangan, lebih baik kalian pulang saja. Aku tidak punya waktu untuk meladeni orang pikun.”Kata pikun itu adalah pemicu terakhir.Eyang Giri Sewu tertawa lagi, tawa yang kali ini benar-benar mengerikan. Aura hitam pekat mulai menguar dari tubuhnya, menyatu dengan kabut malam.“Berani sekali...” bisiknya. “Sudah membunuh muridku, kini kau menghina gurunya. Baiklah. Jika kau memang ingin bermain kasar, kami akan layani.”“Dengar baik-baik, bocah,” lanjut Eyang Giri Sewu. “Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Itu terlalu enak untukmu. Aku akan mencabut pusaka itu dari dadamu, lalu aku akan mencabut nyawamu







