Malam menelan sisa-sisa cahaya senja saat truk Mang Ujang memasuki terminal kabupaten. Joko melompat turun, mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum truk itu kembali tancap gas. Seketika, ia dihantam oleh simfoni kekacauan deru mesin bus yang saling bersahutan, teriakan calo yang memekakkan telinga, dan lautan manusia yang bergerak tanpa henti.
Di tengah hiruk pikuk itu, tatapannya terkunci pada seorang ibu paruh baya yang tampak kebingungan, memeluk tasnya dengan cemas. Target empuk. Dan benar saja, dua pemuda berwajah culas mulai mengitarinya seperti hiu mencium bau darah.
Tiba-tiba, sengatan dingin yang tajam terasa di tengkuk Joko, seolah ada alarm tak kasat mata yang berbunyi dari pusaka di sakunya. Seketika, kebisingan terminal meredup, dan pandangannya menajam, terkunci pada drama kecil yang akan terjadi itu. Ia melihat salah satu pemuda, yang berwajah brewokan, mulai mendekat, memanfaatkan desakan penumpang lain sebagai kamuflase.
Joko tidak ragu. Ia melangkah tenang, memotong jalur, dan saat jari-jari si pencopet hanya berjarak seinci dari ritsleting tas si ibu, tangan Joko melesat dan mencengkeram pergelangan tangan si pencopet dengan kuat.
"Sori, Bang. Tangannya salah alamat," kata Joko dengan suara tenang namun dingin.
Si pencopet, sebut saja si Brewok, tersentak kaget. Matanya melotot. "Apa-apaan ini?! Lepasin tangan gue, anjing!" desisnya marah, mencoba menarik tangannya, namun cengkeraman Joko terasa seperti belenggu baja.
Rekannya yang kurus segera mendekat. "Heh! Bocah kampung, jangan ikut campur! Cari masalah lu?!" bentaknya, mencoba mengintimidasi.
"Masalahnya, tangan teman Abang ini mau masuk ke tas Ibu ini. Itu baru namanya cari masalah," balas Joko, tatapannya tak gentar.
Si Brewok, otaknya berputar cepat. Dengan licik, ia menarik tangannya sekuat tenaga dan berteriak sekeras-kerasnya. "Maling! tolong! ada maling! dompet saya mau di ambil bocah ini!"
Seketika, perhatian beberapa orang teralih. Mereka mulai membentuk lingkaran, menatap Joko dengan curiga. Taktik maling teriak maling yang klasik. Si ibu tampak semakin bingung dan takut, mundur selangkah.
"Lihat! Dia mau nyopet saya, sekarang mau kabur!" teriak si Kurus, menunjuk-nunjuk Joko.
Merasa di atas angin, si Brewok melayangkan pukulan keras ke arah wajah Joko. "Mampus lu!"
Waktu seolah melambat bagi Joko. Pukulan itu terlihat jelas, setiap gerakannya terbaca. Tanpa panik, ia mengangkat tangan kirinya dan menangkap kepalan tangan si Brewok di udara.
BUK!
Suara benturan itu terdengar tumpul. Si Brewok membeku, matanya terbelalak tak percaya. Pukulannya yang biasa bisa membuat orang terkapar, kini berhenti total, tertahan oleh telapak tangan seorang bocah kurus. Ia bisa merasakan kekuatan luar biasa dari genggaman Joko, yang membuat tulang-tulangnya terasa akan remuk.
"Cuma segini tenaganya, Bang?" ejek Joko dengan senyum tipis, nadanya merendahkan.
Ia kemudian membalikkan keadaan. Masih menggenggam tangan si Brewok, ia berkata pada kerumunan. "Bapak-bapak, Ibu-ibu, lihat baik-baik. Kalau memang saya malingnya, kenapa dompet Abang ini masih aman di sakunya?"
Semua mata tertuju pada si Brewok yang mulai panik.
"Dan, Bu," kata Joko pada si ibu. "Coba cek tas Ibu, apa ada yang hilang?"
Wanita itu tergagap, cepat-cepat memeriksa tasnya. "Ti… tidak ada, Nak. Semuanya masih ada."
"Nah!" seru Joko. "Barang Ibu ini aman karena tangan teman kita ini belum sempat masuk. Saya saksinya, dan saya yang menghentikannya." Ia menatap tajam si Brewok, yang wajahnya sudah pucat pasi. "Lagian, Bang... aneh saja preman terminal kayak Abang, tapi pakai dompet gambar Hello Kitty warna pink di saku belakang. Kayaknya itu bukan punya Abang, ya?"
Itu hanya gertakan, tapi telak mengenai sasaran. Si Kurus dan si Brewok saling pandang, tahu permainan mereka sudah berakhir. Malu, panik, dan takut, si Brewok menarik paksa tangannya dan mendorong kerumunan. "Buka jalan!" teriaknya. Keduanya lari terbirit-birit, menghilang ditelan keramaian.
Kerumunan itu pun bubar, sebagian menatap Joko dengan kagum. Si ibu gemetar, memeluk tasnya erat-erat. Ia menatap Joko dengan mata berkaca-kaca. "Ya Allah... terima kasih, Nak. Kamu... kamu baru saja menyelamatkan saya."
"Sama-sama, Bu. Hati-hati saja kalau di tempat ramai," jawab Joko.
"Nama saya Lasmi," kata ibu itu. "Kamu anak baik sekali. Berani dan cerdas. Mau ke mana sendirian malam-malam begini?"
"Ke Jakarta, Bu. Mencari kerja."
Wajah Ibu Lasmi bersinar. "Kebetulan sekali! Suami saya mandor proyek besar di Jakarta. Orang jujur dan pemberani sepertimu pasti langsung diterima!" Ia cepat-cepat menulis di secarik kertas. "Ini alamat dan nomor teleponnya. Bilang saja kamu disuruh Lasmi.Saya sedang menunggu jemputan di depan, saya antar kamu sekalian beli tiket yang benar!"
Kertas dari Bu Lasmi terasa seperti kompas. Kekacauan terminal kini memiliki titik fokus. Diantar oleh Bu Lasmi, Joko membeli tiket bus "Mekar Jaya" tujuan Jakarta.
Setengah jam kemudian, ia sudah duduk di dekat jendela. Udara di dalam bus terasa pengap, namun bagi Joko, kursi usang itu terasa seperti singgasana. Dengan klakson yang panjang, bus perlahan bergerak, meninggalkan terminal yang mengecil menjadi titik-titik cahaya.
Rumahnya, desanya, makam kakeknya, wajah Lestari yang penuh cemoohan... semua terasa begitu jauh. Tangannya meraba saku, merasakan bentuk keras pusaka di dalamnya. Kunci misterius yang telah membuka pintu pertama. Bus terus melaju membelah kegelapan, membawa seorang pemuda yang tak lagi takut pada hari esok.
Fajar menyingsing saat bus "Mekar Jaya" memuntahkan para penumpangnya ke Terminal Lebak Bulus. Udara pagi yang lembap dan penuh polusi menyergap paru-paru Joko. Perutnya keroncongan, matanya langsung tertuju pada sebuah warteg sederhana.
Namun, baru beberapa langkah, sebuah suara melengking merobek kebisingan pagi.
"TOLONG!!! TAS SAYA!!!"
Semua orang menoleh. Terlihat seorang wanita muda berseragam kantor berdiri gemetar, menunjuk ke arah motor yang melaju kencang di jalan raya. Sebuah penjambretan. Sial, batin Joko. Ia ingin tidak peduli, tapi kakinya sudah bergerak sendiri, berlari mengejar motor itu.
"Sial!" umpat Joko pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Sebagian besar dari dirinya berteriak untuk tidak peduli. Ini Jakarta, Jok! Bukan desa! Hal seperti ini biasa terjadi. Kamu punya tujuan, jangan cari masalah! Ia mencoba untuk memalingkan wajah, untuk melanjutkan langkahnya menuju warteg, untuk menjadi seperti puluhan orang lain yang hanya bisa menatap nanar atau berdecak prihatin.
Tapi ia tidak bisa.
Sebuah dorongan aneh, panas dan mendesak, menjalari seluruh tubuhnya. Itu adalah insting yang sama yang membuatnya menolong Bu Lasmi, namun kini seratus kali lebih kuat. Kakinya terasa gatal, otot-ototnya menegang, seolah siap meledak. Diam dan menonton bukanlah sebuah pilihan.
"Dasar sialan!" geramnya lagi, dan kali ini umpatan itu ditujukan pada para penjambret.
Saat semua orang hanya bisa menatap, Joko melakukan hal yang gila. Ia mulai berlari.
Napasnya teratur, kakinya terasa seringan kapas, dan pandangannya fokus luar biasa. Pusaka di sakunya terasa hangat, seolah menyalurkan energi yang tak terbatas ke dalam setiap ototnya. Matanya yang awas memindai keadaan sekitar, melihat sebuah gang sempit di antara warung-warung tenda sebuah jalan pintas. Tanpa pikir panjang, ia menerobos gang itu.
Perhitungannya tepat. Ia keluar dari gang tepat beberapa meter di depan motor si jambret.
Terkejut melihat pemuda yang sama tiba-tiba muncul di hadapannya, si jambret panik dan mencoba membelokkan motornya. Melihat kesempatan itu, Joko meraih sebuah kelapa utuh dari gerobak di sampingnya dan melemparkannya dengan sekuat tenaga ke arah roda depan.
BRAKK!
Roda depan motor itu oleng seketika. Si jambret kehilangan kendali dan motornya ambruk dengan suara debam yang keras, membuatnya ikut terguling di aspal. Tas tangan milik wanita tadi terlempar beberapa meter darinya.
Joko dengan tenang berjalan menghampiri tas itu dan memungutnya. Si jambret, dengan wajah meringis kesakitan dan dengkul berdarah, bangkit dengan susah payah. Matanya menatap Joko dengan kebencian murni.
"Sialan! Bocah kampung cari mati, lu?!" geramnya, suaranya serak karena menahan sakit.
"Cuma mau balikin barang yang bukan hak lu, Bang," jawab Joko tenang, menepuk-nepuk debu dari tas itu.
Pertanyaan si ibu menggantung di udara, penuh dengan kekaguman dan sedikit rasa takut. "Siapa kamu sebenarnya, Nak?"Joko mengalihkan pandangannya, sedikit salah tingkah di bawah tatapan intens wanita itu. Semua aura heroik dan mistis yang tadi menyelimutinya seolah lenyap, kembali menjadi pemuda canggung dari desa."Saya... saya bukan siapa-siapa, Bu," jawabnya pelan, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cuma pemuda biasa dari desa. Datang ke Jakarta ini niatnya mau cari pekerjaan."Si ibu terdiam, menatap lekat wajah Joko. Ia melihat kejujuran di sana. Anak ini tidak berbohong. Ia memang hanya pemuda biasa, namun entah bagaimana, ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Si ibu tidak mengerti, tapi satu hal yang ia tahu pasti pemuda ini telah diutus Tuhan untuk menolongnya.Air mata haru akhirnya menetes di pipinya. "Nak... Ibu tidak tahu harus bilang apa untuk berterima kasih. Kamu sudah... menyelamatkan usaha Ibu satu-satunya. Nyawa keluarga Ibu."Ia menyeka air matanya, lalu sebua
Baru saja keheningan yang damai itu menyelimuti mereka, sebuah jeritan melengking yang bukan seperti suara manusia tiba-tiba merobek udara dari warteg sebelah. Jeritan itu penuh dengan rasa sakit dan kengerian murni.Prangg… Brakkk…!Suara piring pecah dan meja yang digulingkan menyusul, diikuti oleh raungan-raungan putus asa. Kekacauan total meledak dalam sekejap.Joko dan si ibu saling berpandangan dengan ngeri. "Ya Allah, ada apa lagi itu?!" bisik si ibu. Mereka bergegas ke depan pintu, dan apa yang mereka lihat adalah pemandangan langsung dari neraka.Para pelanggan tidak hanya berlarian keluar, mereka melarikan diri seolah dikejar oleh iblis. Seorang bapak-bapak tersungkur di depan pintu, tidak muntah biasa, tapi memuntahkan cairan hitam pekat yang berbau busuk sambil meracau tidak jelas. Seorang wanita muda berguling-guling di tanah, kedua tangannya mencakar-cakar lehernya sendiri sambil menjerit."Tolong! Ada yang merayap di dalam tenggorokanku! Panas! Panas!" raungnya, suarany
Amarah karena melihat ketidakadilan itu membuat rasa penasaran di dalam diri Joko melonjak tinggi. Tangannya tanpa sadar meremas saku jaketnya, menggenggam erat keris pusaka yang kini terasa semakin hangat, seolah ikut bergejolak dengan emosinya. Kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa berani dan anehnya, berkuasa.Ia menatap wajah sedih si ibu yang pasrah, lalu melirik lagi ke warteg sebelah yang riuh. Tanpa ia sadari, didorong oleh simpati yang tulus dan energi misterius dari sang pusaka, sebuah kalimat meluncur begitu saja dari bibirnya."Kasihan sekali Ibu ini," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Andai saja... andai saja aku bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sini."Kata-kata itu adalah sebuah keinginan. Dan sang pusaka di sakunya seolah mendengarnya sebagai sebuah perintah.BLESHH!Seketika, keris itu memancarkan hawa panas yang menusuk, hanya sesaat. Dunia di depan mata Joko seolah bergetar. Kepalanya terasa pening luar biasa seakan baru
Api amarah dan ambisi yang membara di dada Joko ternyata membutuhkan banyak energi. Setelah berjalan beberapa blok menjauhi proyek konstruksi, perutnya yang tadi bungkam kini berbunyi keroncongan dengan hebatnya. Rasa lapar kembali menyerang, lebih kuat dari sebelumnya. Tangannya meraba saku celana, merasakan lipatan uang dari Pak Rahmat. Syukurlah, ia tidak perlu kelaparan hari ini.Matanya langsung awas mencari penyelamat perut kaum pekerja warteg.Tak butuh waktu lama, di sebuah gang yang sedikit lebih kumuh, ia menemukannya. Bukan hanya satu, tapi dua warteg berdiri berdampingan, seolah bersaing secara langsung. Pemandangannya sangat kontras. Warteg di sebelah kiri, dengan spanduk "Warteg Barokah", penuh sesak dengan para kuli, sopir, dan pekerja kantoran kelas bawah. Orang-orang berdesakan, suara sendok beradu dengan piring terdengar riuh.Sementara itu, warteg di sebelah kanan, dengan spanduk "Warteg Sedap Rasa", justru melompong. Tak ada satu pun pelanggan di dalamnya. Hanya s
Motor Mang Jaka berhenti tepat di seberang sebuah proyek pembangunan yang ramai. "Sudah sampai, Mas," katanya, suaranya terdengar sedikit lega.Joko turun dari motor, matanya memindai sekitar. Ia mengerutkan keningnya. Perjalanan ini terasa sangat cepat. Rasanya tidak lebih dari sepuluh menit.'Dasar tukang ojek licik, dibilang jauh dan macet ternyata cuma selemparan batu,' umpat Joko dalam hati. Ia merasakan sedikit amarah, namun segera ia redam. Berdebat sekarang tidak ada gunanya. Ia sudah sampai, itu yang terpenting."Ini, Pak," kata Joko sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. "Terima kasih.""Oh, iya, iya. Sama-sama, Mas." Mang Jaka menerima uang itu dan langsung tancap gas, menghilang di antara lalu lintas seolah takut Joko akan berubah pikiran.Kini Joko berdiri sendirian di trotoar yang bising. Di sebelah kanannya, gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca dan baja menjulang angkuh, memantulkan langit Jakarta yang keabu-abuan. Mewah, bersih, dan terasa b
Si jambret tertawa sinis. "Hak? Nggak usah sok jadi pahlawan lu di sini! Ini Jakarta, bukan desa lu! Nggak usah ikut campur urusan orang lain kalau masih mau lihat matahari besok!""Kalau urusannya maling, itu jadi urusan semua orang," balas Joko, tatapannya dingin.Kerumunan orang mulai terbentuk, menjaga jarak, hanya menonton. Tak ada yang berani mendekat.Melihat Joko tidak gentar, si jambret menyeringai licik. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel butut. "Oke, oke... Lu yang minta, ya. Lu jagoan, kan?" katanya sambil menekan-nekan nomor. "Lu tunggu di sini lima menit. Gue panggil abang-abang gue biar kenalan sama jagoan baru terminal."Ancaman itu nyata, namun tidak menimbulkan rasa takut di hati Joko, melainkan sebuah ketenangan yang dingin. Tanpa disadari oleh Joko sendiri, di dalam saku jaketnya, keris pusaka itu bereaksi. Sebuah pendar keemasan yang sangat redup mulai memancar dari logam tuanya. Cahaya itu tidak keluar, melainkan merembes pelan menembus kain saku, lalu me