Joko mencoba untuk sedikit menggeser tubuhnya, menciptakan jarak barang satu sentimeter pun. Namun ia tidak bisa. Bergerak sedikit saja berisiko menimbulkan suara. Ia terjebak, terkurung di antara ancaman nyata di jalanan dan sebuah ‘ancaman’ lain yang jauh lebih subtil namun sama mengganggunya.Ia bisa mendengar suara pintu mobil yang dibanting dari kejauhan, diikuti oleh teriakan-teriakan marah. Sepertinya mereka telah menemukan Bima, Leo, dan Guntur yang terkapar.Joko memaksa dirinya untuk kembali fokus. Ia memberanikan diri untuk mengintip lagi. Ia melihat beberapa orang berbadan tegap keluar dari jip, mereka tampak panik dan marah. Mereka melihat ke sekeliling, menyapu area itu dengan senter yang cahayanya menari-nari liar di antara pepohonan.Jantung Joko serasa berhenti berdetak saat salah satu sorot senter itu mengarah tepat ke pohon tempat mereka bersembunyi. Ia langsung menarik kepalanya, tubuhnya menekan lebih rapat ke arah Andrea. Andrea, yang merasakan gerakan tiba-tiba
Keheningan kembali menyelimuti gudang. Di tengahnya, Joko berdiri dengan napas sedikit memburu, dikelilingi oleh tiga tubuh yang tak berdaya.Ia menoleh, matanya kini tertuju pada Andrea yang masih terduduk di kursinya, menatapnya dengan campuran antara syok, tak percaya, dan kekaguman yang luar biasa.Joko berjalan menghampirinya. Langkahnya tenang, seolah tidak ada hal luar biasa yang baru saja terjadi. Andrea sedikit tersentak saat Joko berjongkok di hadapannya.“Jangan takut,” bisik Joko pelan.Dengan gerakan lembut,. Udara segar langsung memenuhi paru-paru gadis itu.“Siapa… siapa kamu?” bisik Andrea, suaranya serak.Joko tidak menjawab. Ia beralih ke belakang, dengan cekatan melepaskan ikatan tali di pergelangan tangan Andrea yang memar. Lalu ia melepaskan ikatan di kakinya.Setelah Andrea benar-benar bebas, Joko bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. “Saya Joko,” katanya sederhana. “Office Boy di kantor ayahmu.”Andrea menerima uluran tangan itu, masih mencoba memproses seg
Duar…Pemuda ini benar-benar seorang OB dari kantor ayahnya. Tapi apa yang ia lakukan di sini? Apakah ia gila? Apakah ia tidak melihat bahwa dirinya sedang diculik? Apakah ia benar-benar berpikir bahwa ini adalah jadwal bersih-bersih rutin? Kebingungan total melanda Andrea. Ia hanya bisa terus menatap Joko dengan lemas, tak mampu berbuat apa-apa, sebuah harapan yang gila dan tidak masuk akal mulai bersemi di tengah keputusasaannya.Bima adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Ia tertawa, sebuah tawa kasar yang menggema di seluruh gudang. “Hahaha! Membersihkan gudang?!” serunya. “Kau dengar itu, Leo? Anak ini disuruh bersih-bersih!”Leo tidak tertawa. Matanya yang tajam masih memindai Joko, mencari tanda-tanda kebohongan atau ancaman tersembunyi. Namun yang ia lihat hanyalah seorang bocah kurus yang tampak kebingungan dan ketakutan, memegangi sapu seolah itu adalah perisainya.“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Leo, suaranya dingin, ia melangkah maju mendekati Joko. Bima dan Guntur
Di atas dahan pohon beringin yang rimbun, Joko telah menjadi pengamat yang hening. Ia telah mendengar semuanya.Ancaman keji yang dilontarkan pada Pak Sanusi, dan nasib Andrea yang kini tergantung pada seutas benang.Amarah yang membara di dalam dirinya kini telah mendingin, berubah menjadi sebuah tekad yang tajam dan terfokus. Ia tahu, ia tidak bisa menunggu.Satu jam adalah waktu yang terlalu lama, sebuah kemewahan yang tidak mereka miliki. Ia harus masuk, dan ia harus masuk sekarang.Ia meluncur turun dari pohon dengan gerakan yang senyap, mendarat di atas ilalang kering tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Ia bergerak mengendap-endap di sepanjang sisi gudang yang berkarat, tubuhnya menempel pada bayangan, matanya mencari titik masuk. Jendela ventilasi yang ia lihat tadi terlalu berisiko, terlalu bising. Ia butuh sesuatu yang lebih subtil.Matanya akhirnya menemukan sebuah kelemahan. Di bagian belakang gudang, ada sebuah pintu kecil dari seng yang sepertinya adalah pintu darurat.P
Leo tidak mendongak. Ia hanya bersandar di batang pohon, seolah mencari tempat yang sedikit lebih sejuk untuk menelepon, jauh dari pengapnya gudang. Ia mengeluarkan ponselnya, menekan beberapa nomor, lalu menempelkannya ke telinga.Dari atas, Joko mempertajam pendengarannya. Kekuatan dari pusaka di dadanya seolah ikut membantunya, membuat suara-suara di bawahnya terdengar lebih jernih, mengisolasi suara Leo dari desiran angin.“Halo?” kata Leo, nadanya kini berubah, tidak lagi dingin dan datar, melainkan dipenuhi oleh nada mengejek yang keji. “Selamat pagi, Tuan Sanusi yang terhormat.”Leo tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti gesekan ular di atas daun kering. “Saya yakin Anda sedang bertanya-tanya di mana putri kesayangan Anda berada. Sudah lihat pesan dari saya? Cantik, kan, putri Anda? Gaunnya sedikit kotor setelah perjalanan tadi, tapi jangan khawatir, kami menjaganya dengan sangat ‘baik’ di sini.”Ia berhenti, seolah menikmati setiap detik dari penderitaan orang di seberang
Andrea mendengarkan semua itu dengan jantung yang berdebar kencang.Kerasukan? Rumah iblis yang dibakar? Tikus? Siapa yang mereka bicarakan? Kepalanya pusing.Tapi satu hal yang pasti, ia kini berada di tengah-tengah sebuah masalah yang jauh lebih besar dan lebih aneh dari sekadar sengketa bisnis biasa. Mereka tidak hanya menjadikannya umpan untuk ayahnya.Mereka juga sedang menunggu kedatangan seseorang, atau sesuatu, yang mereka sebut ‘tikus’. Seseorang yang bahkan ditakuti oleh para penculik berdarah dingin ini.Di tengah keputusasaannya, sebuah ingatan aneh melintas di benaknya. Ingatan tentang cerita ayahnya semalam.Cerita tentang seorang pemuda misterius bernama Joko, yang muncul entah dari mana dan dengan tenang menghadapi Hartono dan para pengawalnya. Ayahnya bilang, ada sesuatu yang berbeda dari anak itu. Ada kekuatan dan keberanian yang tidak wajar.Mungkinkah?Pikiran itu begitu liar, begitu tidak masuk akal. Tapi di dalam kegelapan van yang pengap ini, harapan sekecil apa