"Pak Hanif, kami sudah sangat percaya sama Anda. Kita juga sudah sepakat jika putra saya pulang dari luar negeri pernikahan putra putri kita segera dilaksanakan. Sekarang putra saya sudah pulang dan dia sendiri yang meminta acara pernikahan dimajukan. Lalu apa masalahnya sekarang? Putri Anda juga sudah wisudah, kan?" desak Pak Karim.
Abi Hanif menghela napas panjang. Tak tahu harus memulai dari mana untuk mengatakan alasan pembatalan perjodohan mereka. Tidak mungkin juga dia harus berkata jujur jika putrinya hamil. Susah payah dia menutupi aib tersebut, tidak mungkin dia membukanya begitu saja."Sekali lagi mohon maafkan kami, Pak Karim. Putri saya ... dia ... pergi," lirih Abi Hanif.Sekali lagi pasangan suami-istri yang berada di hadapannya itu kaget. Pasalnya, Abi Hanif terkenal sangat ketat dalam mendidik putri semata wayangnya. Tidak mungkin putrinya bisa pergi begitu saja."Maksud Pak Hanif apa? Aina kabur begitu?"Abi Hanif terdiam sejenak. Ia melirik sang istri seolah meminta bantuan padanya. Wanita yang terlihat lemah di atas ranjang itu mengangguk sekilas."Ya begitulah, Pak Karim. Maafkan saya. Saya tidak bisa menjaga putri saya. Dia ingin melanjutkan studinya dulu katanya.""Bukankah Fatih tidak melarang jika Aina akan melanjutkan studinya lagi? Itulah sebabnya dia ingin mempercepat pernikahannya agar Fatih bisa membawa Aina ke luar negeri bersama. Aina bisa kuliah lagi di sana kalau pernikahan sudah dilaksanakan." Pak Karim terlihat gusar."Maafkan kami, Pak. Mungkin memang putra putri kita tidak berjodoh. Nak Fatih adalah pemuda yang cerdas dan mapan. Saya yakin tidak sulit untuk mencarikan dia jodoh terbaik.""Tapi saya tidak mau menikah kecuali dengan Aina!" Tiba-tiba Danis masuk. Entah sejak kapan pemuda tampan itu sudah berada di sana.Abi Hanif hanya bisa menunduk dengan sejuta sesal di dada. Andai putrinya tidak sedang hamil, dia pasti dengan senang hati menerima tawaran itu. Sejak dulu Pak Hanif menginginkan putrinya menikah dengan pemuda cerdas dan mapan seperti Danis. Tak hanya itu, putra Pak Karim dan Bu Sinta juga terlihat religius meskipun lama tinggal di luar negeri."Maaf sekali lagi, Nak Danis. Tapi Aina sudah tidak ada di rumah. Dia sudah pergi seminggu yang lalu.""Kalau begitu berikan alamatnya, Abi. Biar saya sendiri yang menjemputnya," sahut Danis kekeh."Maaf."***Huek. Huek. Huek! Aina terus memuntahkan seluruh isi perutnya. Sejak kedua matanya terbuka, gadis itu langsung merasakan perutnya diaduk-aduk.Aina terlihat pucat dan lemas. Kehamilannya ini sungguh menguras tenaga. Ada air mata yang menetes mengiringi setiap muntahan yang keluar dari mulut Aina."Non, apa perlu bibik panggilkan bidan?" tawar Bik Esih.Kini wanita paruh baya itu yang merawat Aina. Dia memposisikan dirinya seperti seorang ibu yang merawat putrinya."Nggak perlu, Bik.""Tapi Non Aina harus diperiksa. Setidaknya akan mendapat vitamin dan obat anti mual kalau diperiksa, Non."Aina mengelap mulutnya lalu membasuh seluruh wajah agar tidak sembab. Banyak sekali wanita di dunia ini yang menginginkan hadirnya buah hati. Entah gadis itu harus bersyukur atau bersedih dengan kehamilannya. Bayi ini datang pada waktu yang tidak tepat hingga membuatnya merasa berat."Nak, tolong bantu mama menjalani kehamilan ini dengan ringan," bisik Aina sembari mengelus perutnya.Meski dia tak menginginkan situasi ini, berdosa jika dia mengutuk bayi dalam kandungannya ini. Bayi, yang hadirnya tidak diinginkan oleh siapapun. Bayi yang sampai saat ini masih menjadi misteri."Gimana, Non?" tanya Bik Esih."Terserah Bibik aja," jawab Aina lalu kembali berbaring ke tempat tidur.Sekitar sepuluh menit semenjak kepergian Bik Esih, terdengar suara ketukan pintu. Wanita paruh baya itu kembali lagi dengan seorang bidan desa yang terlihat masih muda. Pembawaannya yang ramah membuat Aina tak lagi gugup.Ini adalah pemeriksaan pertama setelah dinyatakan dirinya hamil oleh dokter kandungan waktu itu."Selamat pagi, Nyonya. Apa yang sedang dirasakan sekarang?" tanya Bidan itu ramah."Badan lemas, pusing dan mual-mual terus, Bu Bidan," jawab Aina sembari berusaha untuk bangun."Nggak papa, berbaring saja."Aina menurut. Bidan yang bernama Andini itu memeriksa kondisi Aina secara menyeluruh. Muali dari tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan detak jantung."Masa kehamilan di trimester pertama memang kebanyakan seperti ini. Perubahan hormon memang sangat memengaruhi kondisi fisik sang ibu. Bahkan nanti hidung akan lebih sensitif. Jadi jangan heran kalau mencium bau-bau yang sebelumnya biasa saja menjadi lebih menyengat. Lalu suatu saat akan menginginkan sesuatu yang sangat lalu membenci sesuatu yang sangat juga. Intinya hormon mempengaruhi mood."Aina mengangguk setuju. Apa yang dikatakan oleh Bidan Andini sebagian sudah dia alami."Bu Bidan, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Aina serius.Bidan Andini menghentikan aktivitasnya yang hendak menulis resep obat. Lalu menatap Aina dengan penuh kehangatan."Silahkan, Nyonya.""Panggil saja saya Aina.""Kalau gitu panggil saya Mbak Andini saja. Rumah saya tidak jauh dari sini," balas Bidan Andini. "Oh ya, mau tanya apa?"Aina melirik Bik Esih yang masih berdiri di samping ranjang. Mengerti arti lirikan Aina, wanita paruh baya itu memilih untuk keluar melanjutkan pekerjaannya."Apa bisa orang hamil tanpa berhubungan, Mbak?" tanya Aina membuat dahi Bidan Andini mengernyit."Maksudnya?""Apa ada cara tertentu yang membuat seseorang bisa hamil tanpa berhubungan badan?"Bidan Andini tersenyum. Entah apa arti senyuman itu. Aina merasa malu mau bertanya lebih lanjut karena baru saja bertemu dengan wanita ini."Bisa. Sekarang ada teknologi canggih dengan cara inseminasi dan bayi tabung. Tapi itu biasanya dilakukan untuk pasangan yang sudah hamil," jawab Bidan Andini.Wanita yang terlihat sangat cantik di usia pertengahan 30an itu menjelaskan prosedur teknik inseminasi dan bayi tabung. Dengan seksama Ainaendengarkan tanpa memotong. Entah apa yang dipikirkan gadis itu hingga dia bertanya seperti itu. Mungkin dia ingin tahu kenapa tiba-tiba dirinya hamil padahal dia belum pernah bersentuhan dengan laki-laki."Itu kalau dari sisi medis ya. Tapi ada di kalangan masyarakat tertentu yang masih percaya dengan mistis. Ketika lama tidak dikaruniai keturunan dia akan mendatangi orang pintar agar bisa hamil.""Ma-maksudnyq, Mbak?"Bidan Andini dengan sabar menanggapi setiap pertanyaan Aina. Sedikitpun tak ada rasa curiga mengingat pengambilan Aina yang tertutup dan tutur katanya yang lembut.Bidan Aina menghela napas panjang. Lalu kembali menjelaskan. "Dulu pernah ada kejadian aneh di suatu desa. Seorang wanita hamil tiba-tiba perutnya kempes ketika bangun tidur padahal belum melahirkan dan bayinya hilang. Lalu terdengar kabar di dmtetangga desa ada seorang wanita yang dalam waktu semalam perutnya tiba-tiba membesar. Setelah diperiksa ternyata dia hamil."Kata orang-orang, itu anak pujan."Aina menganga mendengar cerita Bidan Andini. Lalu ia menunduk melihat perutnya. "Anak pujan?" ulang Aina."Ya, anak hasil minta pada orang pintar tadi." Bidan Andini menjelaskan proses terjadinya anak pujan seperti yang dia katakan. Hal itu membuat Aina merinding.Tiba-tiba Aina didera rasa takut. Apa yang didengar barusan sedikit memengaruhi pikirannya. Namun sebisa mungkin menepis segala pikiran buruk yang merasuk. "Tidak. Tidak mungkin itu terjadi padaku. Kehamilan ini atas kehendak Allah. Allah yang menjadikan aku hamil tanpa disentuh. Aku yakin itu," batin Aina.Mendadak gadis itu merasakan kepalanya berat, lalu semuanya menjadi gelap."Aina! Aina!"Aina merasakan kepalanya sangat berat. Aroma minyak kayu putih terasa sangat menyengat di hidungnya. Mendadak perutnya kembali mual. Namun ia juga merasakan kedua matanya sangat berat untuk dibuka."Non, Non Aina! Non Aina sudah sadar?" Bik Esih menatap majikannya dengan mata berbinar."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Ai. Hampir saja aku membawamu ke puskesmas kalau tidak sadar juga," ujar Bidan Andini. Aina menatap Bidan Andini dan Bik Esih bergantian lalu menatap perutnya yang masih rata. Ucapan Bidan Andini kembali terngiang membuatnya kembali bergidik. "Kamu kenapa, Ai? Apa ada yang kamu rasakan sekarang?" "Nggak kok, Mbak. Cuma lagi pusing aja." Aina mencoba untuk bersikap biasa saja. "Baiklah, kalau gitu nanti obatnya diminum, ya? Jangan lupa makan yang banyak. Makan yang kamu ingin, nggak usah ditahan-tahan," nasehat Bidan Andini.Aina mengangguk lalu tersenyum. Bik Esih mengantar Bidan Andini sampai pagar setelah semua urusan selesai. "Non, mau Bibik buatin sesuatu? B
"Danis nggak habis pikir, Bi. Aina ... bisa melakukan hal itu. Kupikir dia gadis shalehah yang selalu terjaga. Kupikir dia akan menjaga kesuciannya untuk imam yang akan menikahinya. Ternyata harapanku terlalu tinggi ya, Bi?" Danis menunduk lesu. Pria mana yang tak kecewa jika gadis yang akan dinikahinya tiba-tiba menghilang dan alasan menghilangnya karena telah hamil. Danis sendiri sudah sangat yakin mencintai sosok Aina, putri seorang pemilik yayasan pendidikan. Tak hanya memiliki akhlak yang baik, Aina selama ini juga dikenal sebagai gadis yang cerdas. Penampilannya selalu tertutup karena takut apa yang dimiliki dilihat oleh laki-laki non mahram. Namun berita yang baru saja Danis dengar mematahkan sayah harapannya untuk membina rumah tangga bersama wanita yang akan membersamainya di dunia hingga menuju ke surga. "Danis pikir Aina berbeda dengan gadis-gadis di luaran sana yang tergoda gaya hidup bebas. Ternyata sikapnya yang lembut serta penampilannya hanya menutupi sifat aslinya
Abi Hanif merangsek ke depan dan menghalangi orang-orang yang hampir kalap tersebut. "Tunggu! Kalau ada masalah kita bicarakan baik-baik, jangan main hakim sendiri!" ucap Abi Hanif tenang. "Halah, dasar munafik! Nggak usah didengerin! Ayo bakar saja gedung ini! Jangan sampai kita mendapatkan azab karena dosa zina yang dilakukan oleh putri ketua yayasan ini! Ayo semuanya, kita bakar saja!" Seorang pria dengan wajah garang dan rambut agak gondrong memprovokasi warga. "Tunggu dulu! Apa untungnya bagi kalian kalau gedung ini dibakar? Apa kalian ingin putra-putri kalian berhenti sekolah?" Abi Hanif berbicara dengan sangat tenang. Tidak takut dengan semua kemarahan warga karena dia tahu ada seseorang yang sengaja memprovokasi mereka. Mendadak suasana yang semula riuh menjadi hening. Kemarahan yang semula membara perlahan padam mendengar pertanyaan dari Abi Hanif. "Siapa yang mau ikut saya ke dalam? Ayo kita bicarakan baik-baik." Abi Hanif menatap satu per satu pria di barisan paling de
Bik Esih tergopoh-gopoh membuka pintu karena bel pintu terus-terusan berbunyi dan terpaksa meninggalkan Aina sendirian di kamar dalam keadaan pingsan."Nyo-nyonya?" "Kenapa lama sekali, Bik? Di mana Aina?" Ummi Widuri Tempak gusar.Wanita berhijab itu tidak tenang sejak semalam. Bayangan wajah putri semata wayangnya terus emmbayang di pelupuk mata hingga terpaksa dia datang tanpa memberi tahu suaminya."Non Aina di atas, Nyonya." Sikap Bik Esih yang mencurigakan membuat Ummi Widuri segera berlari menuju kamar terdekat. Dia pikir putrinya akan memilih tinggal di lantai satu mengingat sedang hamil muda. Ternyata semua kamar di lantai satu kosong. Saking paniknya, dia sampai lupa menanyakan pada Bik Esih di mana kamar putrinya."Nyonya, Non Aina ada di kamar atas!" ucap Bik Esih yang tiba-tiba muncul dari dapur membawa baskom berisi air dan kain kecil.Tepat saat Ummi Widuri menapakkan kakinya di anak tangga pertama, seorang bidan masuk diiringi Mang Asep."Sayang, kamu kenapa, Nak?" U
Aina masih terbayang wajah pria yang membuat jantungnya berdetak ketika di pintu rumah sakit tadi. Gadis yang sebentar lagi akan menjadi ibu tunggal bagi anaknya itu meraba dada kirinya. Detak jantung Aina tak biasa. Rasa mual yang semula sering menyiksa, mendadak hilang. Bahkan dia menginginkan makan sesuatu hanya dengan mengingat aroma yang ditinggalkan pria tak dikenal itu."Mang Asep, nanti tolong berhenti di rumah makan seafood, ya. Tiba-tiba Aina ingin makan cumi krispi," ucap Aina."Siap, Non. Laksanakan!" jawab Mang Asep sembari menyetir. Bik Esih tersenyum karena akhirnya Aina mau minta makan setelah tiga bulan ini hampir tidak ada makanan yang benar-benar masuk ke lambungnya. Karena setiap kali mencoba makan, detik itu juga langsung dimuntahkan. Mobil berbelok ke sebuah restoran seafood. Aina turun ditemani Bik Esih. Entah dapat dorongan dari mana, Aina ingin sekali makan di tempat."Bik, Ai mau makan di sini. Bibik temenin Ai makan, ya?" Bik Esih mengangguk. Apapun yang
"Hati-hati!"Suara bariton dari pria bertubuh tegap itu masuk ke rungi Aina. Spontan ia segera menegakkan tubuhnya karena merasakan sentuhan dari seorang pria tak dikenal. "Terima kasih," ujar Aina lalu membungkuk sekejap dan memilih pergi tanpa menoleh lagi. Sementara pria yang barusan menolongnya menatap kepergian Aina dan kedua tangannya yang masih di udara bergantian. Ada getaran aneh yang menjalar di sekujur tubuh pria itu. Malam hari Aina tampak gelisah dalam tidurnya. Bayangan seorang pria yang menggendong bayi mungil hadir dalam mimpinya. Lalu pria tersebut tersenyum pada Aina."Astaghfirullah!" Aina terbangun. "Ternyata aku mimpi," gumam Aina.Memikirkan apa yang ada dalam mimpinya barusan membuat jantung Aina berdetak kencang. Bayi dan pria itu, kenapa seperti nyata? Aina menatap jam dinding, ternyata waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Gegas Aina bangun dan ke kamar mandi. Tak berselang lama gadis itu keluar dengan wajah yang sudah segar.Aina berdiri di atas sajadah. Me
"Siapkan operasi, sekarang!" perintah dokter. "Baik, Dok."Aina yang mendengar hanya bisa pasrah. Tak peduli apapun caranya, yang penting bayi dan kandungannya bisa lahir dengan selamat. Sembari berdoa dalam hati, ia memasrahkan urusannya ini pada Allah. "Keluarga Nyonya Ainun!" Seorang perawat memanggil.Mang Asep dan Bik Esih segera mendekat. "Kami, Sus. Apa bayinya sudah lahir?" tanya Bik Esih dengan tatapan cemas."Belum. Bayinya terlilit tali pusat dan membutuhkan tindakan operasi. Kami butuh persetujuan dari pihak keluarga. Apa suaminya sudah datang?" tanya perawat itu.Bik Esih dan suaminya saling pandang. Mereka menelan ludahnya yang sama-sama terasa susah. Bik Esih meminta pendapat suamiya memalui tatapan mata."Suaminya sedang di luar negeri, Sus. Tidak memungkinkan untuk datang sekarang," ucap Mang Asep beralasan. Tidak mungkin dia mengatakan kalau Aina belum menikah. Karena itu akan membuat citra Aina yang berhijab menjadi buruk."Kalau begitu, apakah Bapak dan Ibu ini o
Aina tersenyum menatap wajah Bintang, putranya yang tengah terlelap. Ada perasaan asing yangvtak bisa digambarkan. Jemari lentik wanita itu terulur untuk mengelus pipi putranya yang sudah terlihat gembil. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup Mama, Sayang. Selamanya kamu akan menjadi bintang dalam hidup Mama," gumam Aina. Aina kembali tersenyum. Wajah Bintang memang tidak mirip dengan Aina. Hidungnya sangat mancung dengan mata tajam. Bahkan di usianya yang baru 3 tahun, alisnya sudah tumbuh lebat dan indah. Bibirnya bocah itu berwarna merah alami. Sekilas memang mirip anak-anak Korea. Bintang mengoletkan tubuhnya merasa terusik dengan perlakuan Aina. Buku matanya yang panjang mengibas-ngibas hingga mata berwarna hazl itu terbuka."Mama?" Suara khas anak kecil membuyarkan lamunan Aina. "Eh, bintangnya Mama. Kok bangun? Kamu terganggu ya, Nak?" Aina mengangkat tubuh Bintang yang terasa agak berat dan memangkunya."Haus, Mama," ucap Bintang serak. Aina mengulurkan tangannya dan mera