Share

Diasingkan

"Kalau sudah sadar, segera bangun dan pergi dari sini!" ucap Abi Hanif tegas membuat harapan Aina yang sempat melambung kembali terjun bebas. Rupanya Abi dan Ummi masih ingin membuangnya bahkan setelah Aina pingsan.

Dengan gerakan cepat Aina bangun lalu bersimpuh di kaki Abi Hanif. Menangis, meraung, memohon pengampunan.

"Maafkan Aina, Bi. Aina mohon jangan buang Aina, Bi. Aina nggak tahu bagaimana nasib Aina kelak kalau harus pergi dalam kondisi seperti ini," ucap Aina memelas.

"Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri, Aina. Ini adalah hukuman karena kamu sudah mencoreng keluarga kita!"

"Tapi, Bi-"

"Abi rasa kamu tidak lupa hukuman apa yang pantas didapatkan oleh seorang pezina dalam agama kita! Karena sekarang tidak ada yang bisa menegakkan hukuman itu, maka Abi yang akan membuatmu sadar atas perbuatanmu!" Abi Hanif memalingkan wajahnya agar tidak goyah.

Sebagai ayah yang telah mendidik buah hatinya, tentu tidak mudah melakukan hal ini. Lelaki itu bahkan merasakan sakit yang luar biasa ketika mengetahui fakta bahwa putri satu-satunya hamil di luar nikah padahal tanggal pernikahannya telah ditentukan.

"Baik, kalau ini sudah jadi keputusan Abi dan Ummi. Aina akan pergi dari rumah ini. Maafkan Aina, Bi, Mi. Aina akan buktikan kalau Aina tidak pernah melakukan perbuatan keji itu," ucap Ania akhirnya.

Gadis itu dengan berat hati menarik koper yang masih berdiri kokoh di samping pintu. Sebelum pergi ia mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Air mata mengiringi kepergian Aina ke tempat pengasingan.

Sebuah mobil sudah menunggu di depan untuk membawa Aina. Dengan langkah berat gadis itu berjalan menjauhi rumah yang selama ini telah menyimpan banyak kenangan. Aina tak mau menoleh lagi ke belakang karena khawatir hatinya akan goyah.

"Bi, putri kita, Bi. Tolong lakukan sesuatu untuk putri kita agar dia tidak pergi, Bi," bujuk Ummi Widuri dengan mata basah. Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan kesedihan karena harus melepaskan putrinya dengan cara seperti ini.

"Serahkan semua ini pada Allah, Mi. Abi yakin dengan cara begini Aina akan menyadari kesalahannya." Abi Hanif menutup pintu karena tak ingin menyaksikan kepergian putrinya. Sungguh, jika boleh memilih Abi Hanif juga tak rela melepaskan putrinya. Dia ingin mendekap buah hatinya dan menyampaikan padanya jika dia sangat mencintai dan menyayanginya.

Di dalam mobil Aina terus menangis. Bahkan kini dia berani mengeraskan suaranya dan meraung-raung hingga membuat sopir yang membawanya tak tega melihatnya.

"Sabar, Non. Allah tidak membebani hambanya di luar batas kemampuan. Percayalah, Non Allah pasti punya rencana indah atas ujian yang Non hadapi saat ini. Apapun itu, Mang Udin hanya bisa mendoakan semoga Non Aina selalu dalam lindungan-Nya." Do'a tulus dari sopir pribadi keluarga Abi Hanif sedikit membuat Aina tenang.

"Terima kasih, Mang," ucap Aina.

Setelah menempuh 2 jam perjalanan akhirnya Aina tiba di sebuah villa yang berada di pedesaan. Bahkan jarak antar rumah satu dengan rumah lainnya cukup jauh sehingga villa ini terkesan terpencil.

Jika dilihat dari penampakannya, villa megah itu terlihat berbeda dengan rumah-rumah lainnya yang sederhana. Bangunan dua lantai dengan dikelilingi pagar itu seperti rumah seorang juragan dibanding dengan rumah lainnya.

"Kita sudah sampai, Non," ucap Mang Udin membuyarkan lamunan Aina.

"I-iya, Mang." Aina turun perlahan. Tatapan matanya terpaku pada bangunan megah di hadapannya. Ada perasaan damai ketika melihat pemandangan sekeliling yang hijau karena banyak tumbuh pepohonan.

"Selamat datang, Non!" sapa wanita paruh baya dan suaminya menyambut kedatangan Aina.

"Terima kasih, Bik, Mang," balas Aina dengan senyum hangatnya.

Aina tak perlu berkenalan lagi dengan pasangan suami-istri itu karena mereka memang sudah kenal sebelumnya. Mereka dulu pernah bekerja di rumah keluarganya tapi setelah villa ini dibangun mereka ditugaskan untuk menjaga villa ini.

Mang Asep membawakan koper-koper Aina sedangkan Bik Esih membimbing Aina untuk masuk ke tempat tinggalnya yang baru. Jika sebelumnya Aina merasa dibuang dan diasingkan, kini dia justru merasa bersyukur dikirim ke sini karena gadis itu bisa membesarkan anaknya tanpa harus mendengar gosip-gosip tetangga.

"Non Aina mau di kamar yang mana?" tanya Mang Udin. Lelaki itu harus memastikan dulu kamar mana yang akan ditempati majikannya agar tidak salah meletakkan barang-barangnya.

Aina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Ini adalah pertama kalinya Aina datang ke sini karena villa ini memang tergolong masih baru. Namun semua perabot rumah sudah lengkap.

Ia membuka salah satu kamar di dekat tangga. Lalu masuk dan memeriksa semuanya. Beberapa menit kemudian dia kembali keluar.

"Aina ingin kamar yang langsung menghadap ke matahari pagi, Mang."

"Oh, kalau gitu di atas aja, Non. Pas banget ada balkonnya juga. Jadi kalau pagi Non Aina bisa berjemur di balkon sambil menikmati pemandangan gunung yang terlihat dari sana," usul Mang Udin.

Aina tersenyum di balik cadarnya. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Mang Udin dan Bik Esih.

***

"Sudahlah, Mi. Jangan menangis terus, kita do'akan putri kita baik-baik saja. Abi juga sudah membawakan banyak uang cash di dalam koper Aina tanpa sepengetahuannya. Dengan uang tersebut, Aina tak perlu ke kota untuk mengambil uang ke ATM jika butuh belanja." Abi Hanif tahu kalau sang istri masih merasa kehilangan karena putri satu-satunya harus dia ungsikan.

"Tapi bagaimana dia bisa menghadapi masa-masa sulit kehamilannya sendirian, Bi. Ummi nggak tega," lirih Ummi Widuri.

"Kita do'akan saja. Semoga dengan begini putri kita bisa menyadari kesalahannya dan bertaubat pada Allah." Suara Abi Hanif berubah dingin.

Setiap kali mengingat putrinya yang dia percaya hamil di luar nikah, lelaki paruh baya itu ingin sekali melampiaskan amarahnya. Namun melihat kondisi sang istri yang terpuruk, dia harus bisa menahan semuanya.

Beberapa hari kemudian, Ummi Widuri masuk rumah sakit. Terlalu banyak berpikir membuatnya tidak bisa makan dan tidur dengan benar.

Tiba-tiba terdengar suara salam dan pintu terbuka. Spontan pasangan suami istri tersebut langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Pak Karim, Bu Sinta, kok repot-repot," ucap Abi Hanif menyalami Pak Karim lalu menerima buah tangan dari Bu Sinta.

Setelah saling menanyakan kabar, mendadak suasana menjadi hening ketika Pak Karim menanyakan keberadaan Aina.

"Bagaimana kalau pernikahan putra putri kita dimajukan saja, Pak? Niat baik jangan ditunda-tunda," ucap Pak Karim membuat Abi Hanif dan istri gugup.

"Aduh, maaf, Pak Karim. Sebelumnya saya sekeluarga mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tak pantas sebenarnya saya mengatakan hal ini di sini. Tapi ... dengan terpaksa saya harus mengatakannya." Abi Hanif menatap istrinya sekilas lalu kembali menatap tamunya dengan tatapan tak nyaman.

"Loh, emangnya kenapa, Pak Hanif? Kenapa gugup begitu?"

"Sekali lagi mohon maaf, Pak Karim. Tapi putri kami membatalkan perjodohan ini. Dia belum siap menikah," ujar Abi Hanif mencoba tenang.

"Apa? Tidak bisa begitu dong, Pak! Anak kami sudah jauh-jauh pulang dari luar negeri masa dibatalkan? Pokoknya pernikahan tetap harus dilaksanakan!"

"Tapi, ..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status