Share

Diasingkan

Author: Cahaya Asa
last update Last Updated: 2023-05-31 14:40:23

"Kalau sudah sadar, segera bangun dan pergi dari sini!" ucap Abi Hanif tegas membuat harapan Aina yang sempat melambung kembali terjun bebas. Rupanya Abi dan Ummi masih ingin membuangnya bahkan setelah Aina pingsan.

Dengan gerakan cepat Aina bangun lalu bersimpuh di kaki Abi Hanif. Menangis, meraung, memohon pengampunan.

"Maafkan Aina, Bi. Aina mohon jangan buang Aina, Bi. Aina nggak tahu bagaimana nasib Aina kelak kalau harus pergi dalam kondisi seperti ini," ucap Aina memelas.

"Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu sendiri, Aina. Ini adalah hukuman karena kamu sudah mencoreng keluarga kita!"

"Tapi, Bi-"

"Abi rasa kamu tidak lupa hukuman apa yang pantas didapatkan oleh seorang pezina dalam agama kita! Karena sekarang tidak ada yang bisa menegakkan hukuman itu, maka Abi yang akan membuatmu sadar atas perbuatanmu!" Abi Hanif memalingkan wajahnya agar tidak goyah.

Sebagai ayah yang telah mendidik buah hatinya, tentu tidak mudah melakukan hal ini. Lelaki itu bahkan merasakan sakit yang luar biasa ketika mengetahui fakta bahwa putri satu-satunya hamil di luar nikah padahal tanggal pernikahannya telah ditentukan.

"Baik, kalau ini sudah jadi keputusan Abi dan Ummi. Aina akan pergi dari rumah ini. Maafkan Aina, Bi, Mi. Aina akan buktikan kalau Aina tidak pernah melakukan perbuatan keji itu," ucap Ania akhirnya.

Gadis itu dengan berat hati menarik koper yang masih berdiri kokoh di samping pintu. Sebelum pergi ia mencium tangan kedua orang tuanya bergantian. Air mata mengiringi kepergian Aina ke tempat pengasingan.

Sebuah mobil sudah menunggu di depan untuk membawa Aina. Dengan langkah berat gadis itu berjalan menjauhi rumah yang selama ini telah menyimpan banyak kenangan. Aina tak mau menoleh lagi ke belakang karena khawatir hatinya akan goyah.

"Bi, putri kita, Bi. Tolong lakukan sesuatu untuk putri kita agar dia tidak pergi, Bi," bujuk Ummi Widuri dengan mata basah. Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan kesedihan karena harus melepaskan putrinya dengan cara seperti ini.

"Serahkan semua ini pada Allah, Mi. Abi yakin dengan cara begini Aina akan menyadari kesalahannya." Abi Hanif menutup pintu karena tak ingin menyaksikan kepergian putrinya. Sungguh, jika boleh memilih Abi Hanif juga tak rela melepaskan putrinya. Dia ingin mendekap buah hatinya dan menyampaikan padanya jika dia sangat mencintai dan menyayanginya.

Di dalam mobil Aina terus menangis. Bahkan kini dia berani mengeraskan suaranya dan meraung-raung hingga membuat sopir yang membawanya tak tega melihatnya.

"Sabar, Non. Allah tidak membebani hambanya di luar batas kemampuan. Percayalah, Non Allah pasti punya rencana indah atas ujian yang Non hadapi saat ini. Apapun itu, Mang Udin hanya bisa mendoakan semoga Non Aina selalu dalam lindungan-Nya." Do'a tulus dari sopir pribadi keluarga Abi Hanif sedikit membuat Aina tenang.

"Terima kasih, Mang," ucap Aina.

Setelah menempuh 2 jam perjalanan akhirnya Aina tiba di sebuah villa yang berada di pedesaan. Bahkan jarak antar rumah satu dengan rumah lainnya cukup jauh sehingga villa ini terkesan terpencil.

Jika dilihat dari penampakannya, villa megah itu terlihat berbeda dengan rumah-rumah lainnya yang sederhana. Bangunan dua lantai dengan dikelilingi pagar itu seperti rumah seorang juragan dibanding dengan rumah lainnya.

"Kita sudah sampai, Non," ucap Mang Udin membuyarkan lamunan Aina.

"I-iya, Mang." Aina turun perlahan. Tatapan matanya terpaku pada bangunan megah di hadapannya. Ada perasaan damai ketika melihat pemandangan sekeliling yang hijau karena banyak tumbuh pepohonan.

"Selamat datang, Non!" sapa wanita paruh baya dan suaminya menyambut kedatangan Aina.

"Terima kasih, Bik, Mang," balas Aina dengan senyum hangatnya.

Aina tak perlu berkenalan lagi dengan pasangan suami-istri itu karena mereka memang sudah kenal sebelumnya. Mereka dulu pernah bekerja di rumah keluarganya tapi setelah villa ini dibangun mereka ditugaskan untuk menjaga villa ini.

Mang Asep membawakan koper-koper Aina sedangkan Bik Esih membimbing Aina untuk masuk ke tempat tinggalnya yang baru. Jika sebelumnya Aina merasa dibuang dan diasingkan, kini dia justru merasa bersyukur dikirim ke sini karena gadis itu bisa membesarkan anaknya tanpa harus mendengar gosip-gosip tetangga.

"Non Aina mau di kamar yang mana?" tanya Mang Udin. Lelaki itu harus memastikan dulu kamar mana yang akan ditempati majikannya agar tidak salah meletakkan barang-barangnya.

Aina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Ini adalah pertama kalinya Aina datang ke sini karena villa ini memang tergolong masih baru. Namun semua perabot rumah sudah lengkap.

Ia membuka salah satu kamar di dekat tangga. Lalu masuk dan memeriksa semuanya. Beberapa menit kemudian dia kembali keluar.

"Aina ingin kamar yang langsung menghadap ke matahari pagi, Mang."

"Oh, kalau gitu di atas aja, Non. Pas banget ada balkonnya juga. Jadi kalau pagi Non Aina bisa berjemur di balkon sambil menikmati pemandangan gunung yang terlihat dari sana," usul Mang Udin.

Aina tersenyum di balik cadarnya. Lalu mengangguk dan mengikuti langkah Mang Udin dan Bik Esih.

***

"Sudahlah, Mi. Jangan menangis terus, kita do'akan putri kita baik-baik saja. Abi juga sudah membawakan banyak uang cash di dalam koper Aina tanpa sepengetahuannya. Dengan uang tersebut, Aina tak perlu ke kota untuk mengambil uang ke ATM jika butuh belanja." Abi Hanif tahu kalau sang istri masih merasa kehilangan karena putri satu-satunya harus dia ungsikan.

"Tapi bagaimana dia bisa menghadapi masa-masa sulit kehamilannya sendirian, Bi. Ummi nggak tega," lirih Ummi Widuri.

"Kita do'akan saja. Semoga dengan begini putri kita bisa menyadari kesalahannya dan bertaubat pada Allah." Suara Abi Hanif berubah dingin.

Setiap kali mengingat putrinya yang dia percaya hamil di luar nikah, lelaki paruh baya itu ingin sekali melampiaskan amarahnya. Namun melihat kondisi sang istri yang terpuruk, dia harus bisa menahan semuanya.

Beberapa hari kemudian, Ummi Widuri masuk rumah sakit. Terlalu banyak berpikir membuatnya tidak bisa makan dan tidur dengan benar.

Tiba-tiba terdengar suara salam dan pintu terbuka. Spontan pasangan suami istri tersebut langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Pak Karim, Bu Sinta, kok repot-repot," ucap Abi Hanif menyalami Pak Karim lalu menerima buah tangan dari Bu Sinta.

Setelah saling menanyakan kabar, mendadak suasana menjadi hening ketika Pak Karim menanyakan keberadaan Aina.

"Bagaimana kalau pernikahan putra putri kita dimajukan saja, Pak? Niat baik jangan ditunda-tunda," ucap Pak Karim membuat Abi Hanif dan istri gugup.

"Aduh, maaf, Pak Karim. Sebelumnya saya sekeluarga mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tak pantas sebenarnya saya mengatakan hal ini di sini. Tapi ... dengan terpaksa saya harus mengatakannya." Abi Hanif menatap istrinya sekilas lalu kembali menatap tamunya dengan tatapan tak nyaman.

"Loh, emangnya kenapa, Pak Hanif? Kenapa gugup begitu?"

"Sekali lagi mohon maaf, Pak Karim. Tapi putri kami membatalkan perjodohan ini. Dia belum siap menikah," ujar Abi Hanif mencoba tenang.

"Apa? Tidak bisa begitu dong, Pak! Anak kami sudah jauh-jauh pulang dari luar negeri masa dibatalkan? Pokoknya pernikahan tetap harus dilaksanakan!"

"Tapi, ..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putra Hartawan dari Rahim Perawan   Bab 79

    "Aku nggak nyangka hubungan Kak Bintang sama Azkia bisa mulus dan lancar kaya jalan tol gini," gumam Mentari. Wanita itu cukup terkejut saat mendengar kabar dari Bintang mengenai acara pernikahan Bintang.Bintang tidak ingin menunda pernikahannya terlalu lama. Keluarga Bintang dan keluarga Azkia pun segera menyusun pesta pernikahan sederhana untuk meresmikan hubungan putra-putri mereka."Aku nggak mau buang-buang waktu. Aku takut Azkia berubah pikiran," sahut Bintang."Kak Bintang nggak maksa Azkia buat nerima Kak Bintang, kan?" tuduh Mentari."Kamu jangan sembarangan ngomong! Aku nggak maksa Azkia. Sekalipun Azkia nolak pun aku juga nggak akan marah kok," timpal Bintang.Saat ini Mentari tengah berada di rumah orang tuanya untuk membantu Bintang menyiapkan pernikahan Bintang. Wanita itu sibuk menolong Bintang membungkus barang-barang seserahan yang akan diberikan pada Azkia nanti."Apa acaranya nggak terlalu terburu-buru, Kak? Ada banyak hal yang harus kita siapin, tapi kita nggak pu

  • Putra Hartawan dari Rahim Perawan   Bab 78

    Azkia duduk termenung, memikirkan pertanyaan yang dilontarkan oleh Mentari tempo hari. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Mentari menawarkan kakaknya pada Azkia.Azkia tidak menanggapi serius pertanyaan Mentari. Wanita itu hanya menjawab asal saat dirinya diberi pertanyaan mengenai Bintang.Azkia kira, Mentari hanya bercanda saat Mentari meminta Azkia menikah dengan Bintang. Namun, ternyata perkataan Mentari bukan sekedar gurauan belaka. Mentari bersungguh-sungguh, begitu pula dengan Bintang. Hari ini, Bintang mengajak Azkia bertemu untuk membahas hal ini. Karena Azkia belum memberikan jawaban pasti, Bintang ingin kembali menanyakan kesediaan Azkia untuk menjadi istrinya."Aku datang nggak, ya?" gumam Azkia ragu.Azkia tidak mengenal Bintang. Azkia juga baru beberapa kali berjumpa dengan Bintang.Wajar saja kalau wanita itu merasa ragu. Siapa orang yang ingin menikah dengan pria yang tidak dikenal. Pastinya Azkia tak mau memilih sembarang pria untuk dijadikan suami. Ada banyak ha

  • Putra Hartawan dari Rahim Perawan   Bab 77

    Aina tertawa. Penjelasan Revan membuat wanita itu langsung membuat kesimpulan."Maaf, Ma? Apa ada yang lucu? Kenapa Mama ketawa terus?" tanya Revan.Aina kembali tergelak. Kepolosan putri dan menantunya membuat wanita itu tak bisa berhenti tertawa."Maaf, Revan. Cerita kamu lucu banget. Mama nggak tahan pengen ketawa," sahut Aina."Bagian mana yang lucu?" batin Revan dengan wajah bingung. "Revan, tolong kamu bawa Mentari ke dokter kandungan," ucap Aina kemudian. "Dokter kandungan?""Percaya aja sama Mama. Bawa Mentari ke dokter kandungan, setelah itu kasih kabar ke Mama, ya?"***"Kamu kenapa bawa aku ke sini?" tanya Mentari kesal karena sudah dibohongi oleh Revan. Wajahnya sudah tak bersahabat. Bibir mengerucut dengan tatapan ingin marah. Namun ia tak mungkin mengungkapkan kemarahannya di depan suami karena ia yakin sang suami melakukan ini karena khawatir padanya.Saat ini pasangan suami istri itu tengah berada di rumah sakit dan hendak berjumpa dengan dokter kandungan, sesuai de

  • Putra Hartawan dari Rahim Perawan   Bab 76

    "Gimana? Kalian dapat kerak telurnya?" tanya Revan cemas."Maaf, Mister. Semua penjual kerak telur sudah tutup."Mentari mengomel begitu mendengar jawaban Revan. Mentari tak mau mendengar alasan apa pun. "Pokoknya aku mau kerak telur sekarang! Kalau Huby nggak bisa dapetin kerak telur, mendingan Huby tidur di luar aja!" omel Mentari."T-tapi, Huny ...."Brak! Mentari menutup pintu kamar dengan kencang setelah mengusir suaminya keluar dari kamar. Gara-gara kerak telur, Mentari marah pada Revan hingga Mentari tak mau tidur dengan Revan."Kerak telur sialan!" umpat Revan dongkol bukan main. "Cari kerak telur lagi sampai ketemu!" teriak Revan pada anak buahnya.***"Hoam!" Pagi-pagi sekali, Revan membuka mata setelah mendengar suara adzan subuh. Pria dengan kantung mata hitam itu perlahan bangkit dari sofa empuk yang menjadi alas tidurnya. Selama semalaman, Revan tidur di sofa ruang tengah usai dirinya diusir oleh Mentari.Tragedi kerak telur sudah menghancurkan istirahat Revan. Pria itu

  • Putra Hartawan dari Rahim Perawan   Bab 75

    "Tidur aja, Huny."Revan mengusap-usap kepala Mentari hingga akhirnya wanita itu terlelap. "Cepat sembuh ya, Huny. Kamu nggak boleh sakit," gumam Revan.Revan membenarkan selimut sang istri, kemudian beranjak meninggalkan kamar. Mau tak mau, Revan harus membawa seluruh pekerjaannya ke rumah. Meskipun tak bisa pergi ke kantor, tapi Revan tetap harus bertanggungjawab pada pekerjaannya."Aldo, hari ini saya kerja dari rumah. Tolong kasih saya update laporan setiap dua jam, ya?" perintah Revan pada sang sekretaris melalui sambungan telepon."Baik, Mister."***"Gimana keadaan kamu, Huny? Masih mual nggak?" tanya Revan pada Mentari.Gurat kekhawatiran tercetak jelas di wajah tampan Revan. Lelaki itu benar-benar spot jantung kala melihat sang istri bolak-balik ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya. Belum lagi wajah pucat sang istri membuat lelaki itu tak tega.Wajah Mentari masih pucat. Mual dan muntah yang dialami oleh wanita itu juga masih terasa. Mentari sudah meminum oba

  • Putra Hartawan dari Rahim Perawan   Bab 74

    Mentari merasa usahanya akan sia-sia jika pertemuan ini sampai gagal. Terpaksa, Mentari harus mengambil langkah besar demi masa depan kakak dan juga temannya."Azkia, boleh aku tanya sesuatu?" ucap Mentari."Tanya aja?""Gimana pendapat kamu tentang Kak Bintang? Apa menurut kamu Kak Bintang bisa jadi suami yang baik?" tanya Mentari pada Azkia.Wajah Azkia langsung memerah begitu ia mendapatkan pertanyaan yang cukup mengejutkan dari sang teman. "Tuan Bintang cukup mapan dan tampan. Pasti ada banyak perempuan yang mau dijadiin istri sama Tuan Bintang," sahut Azkia."Kalau kamu? Apa kamu mau jadi istrinya Kak Bintang?" tanya Mentari pada Azkia.***Pagi-pagi sekali, Mentari sudah bangun dari ranjang, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Wajah wanita itu terlihat pucat dan tubuh Mentari juga agak lemas. Perutnya seperti diaduk-aduk dan ada yang berdesakan untuk minta dikeluarkan. Karena sudah tak bisa lagi menahan, ia sampai melompati suaminya hingga membuat lelaki itu kaget dan terban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status