Ledakan formasi yang menghancurkan langit-langit ruang bawah tanah menggetarkan seluruh vila. Debu dan serpihan batu beterbangan saat sosok Tian Fan melesat turun dengan aura yang menggetarkan jiwa. Di hadapan Bai Yin Ping yang masih memeluk Guan Xing yang sekarat, sosok Tian Fan berdiri tegak. Bajunya berkibar pelan, mata tajamnya menatap lurus ke arah Fan Mo Jun. “Fan Mo Jun,” suara Tian Fan berat, dingin, dan penuh tekanan. “Semua sudah cukup.” Fan Mo Jun menyeringai, wajahnya sedikit berlumur debu akibat ledakan, namun tatapannya tetap congkak. “Akhirnya kau datang juga, Tian Fan. Sudah tak sabar ingin mati rupanya.” Tian Fan mengayunkan tangannya. Formasi perlindungan berbentuk kubah segera menutup seluruh keluarga Bai, melindungi mereka dari pertarungan yang akan pecah. “Aku datang bukan untuk berbicara,” ucap Tian Fan dingin. Fan Mo Jun tertawa keras. “Bagus! Sudah lama aku ingin menguji kekuatanmu tanpa gangguan siapa pun.” ... Mereka berdua bergerak bersamaan. Tubuh m
Hari keempat dimulai dengan ketegangan yang nyaris tak tertahankan. Aroma darah tipis masih terasa sejak malam sebelumnya. Di ruang bawah tanah, keluarga Bai semakin terpuruk, tapi tekad mereka belum sepenuhnya padam. Bai Yu Kwan duduk lemah, namun matanya tetap tegar. Bai Guan Ping menggenggam tangan ibunya, menyalurkan semangat. Bai Yin Ping masih menopang istrinya yang pucat namun mencoba bertahan. “Dia akan kembali hari ini,” bisik Bai Guan Ping. “Dia ingin memecah ketahanan kita,” balas Bai Yin Ping. “Tapi selama Tian Fan belum bertindak, berarti waktunya belum tepat.” Lu Gian Yi mencoba menguatkan diri. “Aku... aku sanggup. Jangan pikirkan aku.” ... Di lantai atas, Fan Mo Jun duduk tenang di kursi besar, menyesap tehnya perlahan. Di sampingnya, Ming Lan menatap dengan mata berbinar. “Hari ini dia akan menyerah, bukan?” tanya Ming Lan. Fan Mo Jun menyeringai. “Kalau tidak, aku akan membunuh satu per satu.” Ming Lan mendekat, berbisik genit. “Mulailah dengan yang paling t
Hari ketiga menjadi mimpi buruk yang semakin kelam. Tekanan mental mulai merobek ketahanan keluarga Bai. Ruang bawah tanah terasa kian pengap, seolah dinding batu perlahan menekan dada mereka. Bai Guan Ping duduk dengan wajah menegang, sementara Bai Yin Ping tetap menopang istrinya yang mulai gemetar. Bai Yu Kwan memandangi cucunya dengan sorot mata lembut namun getir. “Kita tak bisa terus begini,” bisik Bai Guan Ping lirih. “Fan Mo Jun mulai hilang kendali.” Bai Yin Ping mengangguk. “Dia mempermainkan batas kesabaran kita.” Bai Yu Kwan meremas jemarinya kuat. “Selama Tian Fan belum bergerak, kita harus bertahan. Sekuat apapun.” ... Di lantai atas, Fan Mo Jun berjalan bolak-balik di ruang utama, sorot matanya mulai menunjukkan kegilaan. Ming Lan mengikutinya dengan senyum manis namun menakutkan. “Sepertinya kau mulai tak sabar, Mo Jun,” bisik Ming Lan genit. Fan Mo Jun menyeringai. “Aku bosan menunggu. Sudah saatnya mereka merasakan penderitaan sebenarnya.” Ia mengayunkan tan
Hari kedua di ruang bawah tanah terasa lebih mencekik. Aroma lembab batu tua bercampur udara dingin menyelimuti mereka yang masih terkurung tanpa harapan. Wajah-wajah tegang keluarga Bai mulai menunjukkan lelah mental. Bai Guan Ping menunduk dalam diam, sementara Bai Yin Ping tetap berdiri tegak, menjaga ketenangan untuk istrinya, Lu Gian Yi, yang mulai pucat pasi. Bai Yu Kwan mengamati mereka dengan sorot mata kuat, menahan gejolak amarahnya. “Fan Mo Jun... semakin gila,” desis Bai Guan Ping lirih. “Dia bermain dengan waktu.” Bai Yu Kwan mengepalkan jemarinya. “Dia menunggu kita hancur secara perlahan. Licik sekali.” Bai Yin Ping berbisik pada istrinya, “Jangan takut. Tian Fan pasti sudah merencanakan sesuatu.” Lu Gian Yi mencoba tersenyum lemah. “Aku percaya padamu...” Namun, setiap detik di ruangan itu seperti pisau perlahan mengiris ketahanan mereka. ... Di lantai atas vila, Fan Mo Jun bersandar santai di sofa panjang, sementara Ming Lan duduk anggun di sampingnya. Wajahny
Hari pertama didalam kurungan, ruang bawah tanah kediaman utama keluarga Bai berubah menjadi penjara mewah yang mencekam. Dinding batu kokoh berukir kuno menjadi saksi bisu pengkhianatan. Suasana tegang tak terelakkan. Bai Yu Kwan, sang nyonya besar, duduk tegak di kursi kayu tua, sorot matanya tajam walau keriput mengukir wajah tuanya. Bai Guan Ping mondar-mandir gelisah, sesekali memijat kening. Bai Yin Ping berusaha menenangkan istrinya, Lu Gian Yi, yang menggenggam lengannya erat-erat. “Sudah sehari penuh... mereka sungguh berani mempermainkan kita di rumah kita sendiri,” gumam Bai Guan Ping penuh amarah. Bai Yu Kwan menghela napas panjang. “Pengkhianatan Ming Lan benar-benar di luar dugaan. Menantu yang kita rawat, ternyata memiliki nafsu dan ambisi sekeji ini.” Bai Yin Ping mengepalkan tangan. “Semua ini rekayasa Fan Mo Jun. Ming Lan hanya pion.” Lu Gian Yi menunduk ketakutan. “Apa kita bisa keluar dari sini, Suamiku? Fan Mo Jun... kejam sekali.” Bai Yin Ping menepuk lembu
Setelah beberapa hari mengurus perizinan pada orang tuanya, Lin Mixue akhirnya kembali ke vila Tian Fan. Malam itu, seluruh istri berkumpul menyambutnya dengan sukacita. "Adik Mixue, akhirnya resmi bergabung juga ya," ucap Qi Jian sambil menggandeng tangannya. "Aku senang kalian menerimaku," jawab Lin Mixue dengan wajah sedikit malu-malu. Mei Ling, Xiao Yu, bahkan peri kecil Lu Qian sudah menyiapkan pesta kecil sederhana untuk menyambut kedatangan istri kedelapan ini. Namun, suasana paling berbeda justru terjadi setelah pesta sederhana itu usai. Semua istri secara perlahan memberi isyarat kepada Mixue dan Tian Fan untuk saling berduaan malam ini. "Kakak tampan… giliranmu membimbing adik Mixue secara khusus, ya," bisik Lu Qian sambil tersenyum nakal. Tian Fan mengangguk dan menggandeng Lin Mixue ke kamar yang sudah disiapkan. Begitu pintu tertutup, suasana menjadi sangat berbeda. Lin Mixue menunduk, wajahnya merah padam. "Aku... gugup, kakak." Tian Fan mengelus pipiny