Share

8. Mulai Terkuak

"Kenapa terkejut seperti itu, San? Apakah permintaan Tante terlalu berat untukmu?" 

Irsan menelan ludah, tersenyum kecut ketika tatapan Kamila dirasa terlalu menakutkan.

Lalu, lelaki yang masih betah menjomblo di antara ketiga sahabatnya itu menganggukkan kepala. "Boleh, Tan. Silakan saja jik ingin melihat rekaman CCTV."

"Bisa kamu tunjukkan rekaman di jam sembilan," pinta Kamila dengan wajah serius.

"Bisa, Tan." Irsan mulai menghidupkan layar rekaman CCTV di komputer yang ada di mejanya.

Kamila mendekat dan mengamati setiap gerakan yang terekam oleh CCTV. Mata awas melihat semua adegan di dalamnya. Namun, tak satu pun yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya.

"Putar lebih awal bisa, San. Rekaman sebelum jam yang Tante sebutkan tadi."

Irsan kembali mematuhi permintaan Kamila. Dia memutar sejak gerbang sekolah dibuka oleh Satpam. Kamila menatap layar monitor lebih saksama. Beberapa orang tua berdatangan mengantarkan anak mereka untuk mendaftar. Senyum perempuan paruh baya itu terbit.

Dia mengingat momen Membahagiakan ketika mendaftarkan Yusuf pertama kali ke sekolah. Tatapannya terus mengarah pada layar monitor hingga terlihat sosok yang dia kenal.

"Tolong stop," perintah Kamila pada Irsan.

Gerakan tangan Irsan dengan sangat cepat menghentikan rekaman selanjutnya. "Begini, Tan?"

"Ulang beberapa menit, San. Tante sepertinya tidak asing dengan perempuan yang naik motor matic itu, tapi lupa siapa dia."

Irsan mengikuti arah telunjuk Mama sahabatnya. Matanya sedikit terbuka, menggigit bibir bawah supaya rasa terkejutnya hilang. Dia harus tampak bisa jika tidak ingin mendapat intimidasi dari Kamila.

"Memangnya kenapa sama perempuan itu, Tan?"

"Entahlah. Tante merasa sangat mengenalnya, tapi di mana. Anak yang dibawanya itu, Tante merasa tidak asing dengan wajahnya," ucap Kamila. Memejamkan mata, mencoba menggali ingatan tentang perempuan yang terekam itu. Lalu, Kamila meminta Irsan untuk melanjutkan rekaman.

"Tante nyari apa sebenarnya? Bisakah menceritakan pada saya?"

Tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, Kamila berjalan ke arah sofa dan menyandarkan punggungnya. "Tante mencari seseorang yang menggunakan uang sahabatmu dalam jumlah yang cukup banyak. Dari sebuah informasi, seseorang itu melakukan transaksi pada mesin EDC di sekolahmu ini."

"Lalu?"

"Tante cuma merasa ada yang aneh, San. Sudahlah, lupakan. Ekspektasi Tante sepertinya terlalu berlebihan." Kamila berdiri dan berpamitan pada sahabat putranya.

"Sebentar, Tan. Ekspektasi bagaimana yang ada di pikiran Tante?"

"Mungkin, karena terlalu banyak membaca novel. Tante berimajinasi bahwa Yusuf punya perempuan lain selain Adisti. Tante berharap bahwa perempuan lain itulah yang menggunakan uang Yusuf untuk membayar biaya sekolah anaknya," terang Kamila. Raut mukanya kini berubah begitu lucu di mata Irsan.

"Tante, bolehkah saya tertawa?" Irsan sudah tak lagi bisa menyembunyikan tawa.

"Ish, jangan ngejek, ya. Tertawa saja, tapi setelah Tante pergi. Terima kasih atas bantuannya. Salam buat mamamu." Kamila berbalik arah.

"Akan saya sampaikan salamnya pada Mama, Tan." Lelaki itu melambaikan tangan sebagai balasan perpisahan pada orang tua sahabatnya.

"Rumit sekali hidupmu, Suf," ucap Irsan sepeninggal Kamila.

*****

Merebahkan tubuh pada sofa. Yusuf berusaha memejamkan mata kembali. Bayangan perempuan itu semakin nyata. Perempuan yang selalu hadir dalam mimpinya. Ratusan hari, perempuan itu menemani mimpi-mimpinya. Yusuf tidak pernah bisa mengingat apa yang terjadi di masa lalu dengan si perempuan.

Namun, jantung dan matanya seakan melompat keluar ketika bertemu pertama kali dengan perempuan yang selalu hadir dalam mimpinya itu. Terkejut, bahagia, bingung melihat Bunga pertama kali di butik langganan sang istri. Yusuf selalu menanamkan dalam hati bahwa perempuan itu tidak pernah nyata.

Merogoh ponselnya, Yusuf menghubungi seseorang. "Cari tahu siapa perempuan yang bekerja di butik Shaqina. Dia salah satu desainer di sana. Satu jam lagi, aku tunggu info darimu," perintahnya pada seseorang.

"Aku harus tahu, siapa dirimu sebenarnya. Tidak mungkin, jangan sampai Papa atau Mama menemukanmu terlebih dahulu."

Mengingat wajah perempuan berjilbab dan bocah yang terekam di CCTV tadi, senyum Yusuf mengembang. Membayangkan sesuatu yang selama ini sangat dia harapkan. Makin lama, senyumannya makin lebar hingga dia teringat wajah bocah kecil itu.

"Sepertinya, aku pernah bertemu dengan anak itu. Wajahnya sangat familiar." Yusuf kembali tersenyum lebar ketika ingatannya dengan mudah berkompromi. "Ternyata dia anak itu."

"Anak siapa yang kamu maksud?" tanya Purnama yang tiba-tiba saja sudah berada di depan Yusuf.

"Papa?"

"Iya, Papa. Dari mana saja kamu?" Purnama menatap Yusuf penuh selidik.

"Menemui salah satu rekanan perusahaan. Ada apa, Pa?" Yusuf segera menegakkan tubuh. Mulai bersikap serius ketika tatapan Purnama seolah mengatakan protes.

"Bagaimana program kehamilan istrimu? Sudah sangat lama sejak kalian melakukannya." Duduk di sebelah putranya, Purnama teringat pada perkataan Jafar di rumah tadi.

"Yusuf sudah berusaha sebaik mungkin, Pa. Jika Allah belum menitipkan amanah itu, apa aku harus mendesaknya," ucap putra semata wayang Purnama, "Pa, cobalah untuk mengikhlaskan semua. Andai harta Eyang dan perusahaan ini bukan ditakdirkan untuk kita miliki, ya, sudah. Masih ada usaha atas namaku sendiri. Kita bisa hidup dari laba yang dihasilkan di sana."

"Bukannya Papa tidak rela harta itu dimiliki sepupumu. Papa tidak ingin, Yudhistira makin sombong dan foya-foya dengan segala hal yang dimilikinya. Kamu tahu sendiri bagaimana sayangnya eyangmu."

"Pa, Yusuf cuma ingin hidup tenang dan damai bersama keluarga kita. Cukup Papa, Mama, aku dan keluarga kecilku nantinya." Senyum Yusuf terbit membayangkan semua itu.

"Maksud keluarga kecilmu Adhisti dan anak-anak kalian nantinya, kan?" Purnama menatap Yusuf penuh selidik.

Berdeham untuk meredakan keterkejutan, Yusuf menganggukkan kepala. "Apa Papa tidak ingin menua bersama seorang cucu?"

Purnama menerbitkan senyuman. Lalu, menepuk bahu putranya. "Segeralah wujudkan semua impian itu agar papamu ini bisa tenang menikmati masa tua nantinya."

"Pasti, Pa. Semoga impian itu akan segera terwujud."

Purnama berdiri dan meninggalkan Yusuf setelah memberikan beberapa berkas untuk diperiksa putranya. Mencapai pintu, lelaki paruh baya itu berbalik. "Makan siang nanti, kamu harus mengecek gedung untuk pesta pernikahan kalian. Sekalian pastikan rasa makanan, jangan sampai mengecewakan tamu-tamu kita."

"Siap, Pa."

Sepeninggal papanya, Yusuf menelepon kembali seseorang yang disuruhnya tadi. "Bagaimana hasilnya? Apa kamu sudah mendapatkan seluruh informasi tentang perempuan itu?"

"Susah, Pak. Sebentar lagi, akan saya kirim lewat email."

"Baik, aku tunggu secepatnya." Menutup ponselnya. Yusuf menyalakan laptop. Tak sampai lima menit, sebuah email masuk dari orang yang diteleponnya tadi.

Perlahan membaca seluruh informasi yang diberikan, Yusuf menemukan kejanggalan dalam informasi tersebut. "Siapa sebenarnya dirimu, Bunga? Mengapa naluriku ingin melindungimu?"

Yusuf memegang kepalanya yang mulai berdenyut.

Sebelum kesadarannya hilang, bayangan wajah seorang perempuan yang mirip dengan Bunga terlintas.

Perempuan itu, begitu dekat dengan Yusuf, bahkan ada adegan mesra yang mereka lakukan di atas ranjang, seolah suami istri.

"Ya Allah, tunjukkan siapa dia?" Kedua mata Yusuf tertutup sempurna, "mengapa aku terus terbayang dirinya?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
for you
kakek gila ga tau mana menantu baik dan yang ga baik apa janganĀ² adisti selingkuhanya si kakek gila
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status