Selanjutnya, Mahesa tertawa pelan. Lantas berkata. "Jangan dianggap. Aku hanya bercanda." Mendengar itu, raut tegang di wajah Riana pun mulai melunak. Wanita itu sempat terkejut saat Mahesa tiba-tiba mengajaknya menikah. "Ya sudah. Aku pulang. Sampai jumpa besok pagi, Riana," ucap Mahesa sembari berdiri dan beranjak keluar dari rumah itu. Seperginya Mahesa, entah mengapa benak Riana malah memikirkan soal ajakan lelaki itu. *** Besoknya, sembari mengantar pesanan ke meja pengunjung, mata Rian seringkali melirik-lirik ke arah pintu masuk restoran. Dirinya teringat akan ucapan Mahesa semalam bersama Kenzie. "Apa Mahesa benar-benar akan membawa Kenzie ke sini?" gumam Riana dalam hati. Hatinya resah. Meski semalam Riana melarang dengan tegas, tapi kini entah mengapa hatinya justru berharap mereka datang. Sialnya, ada hampa yang Riana rasakan saat Mahesa tak datang ke restorannya dan mengganggunya. Sementara itu, di lain tempat, Mahesa justru berada di mobilnya bersama dengan Ne
"Tunggu, Mahesa! Maksudmu, kau akan mengajak Riana ikut makan bersama kita?" Nessie mengerutkan kening. Wajahnya menyiratkan ketidaksetujuan. Rasanya muak sekali jika harus duduk di satu meja dengan Riana. "Kenapa tidak?" dengan enteng, Mahesa mengangkat bahu. Riana segera menggeleng. "Tidak perlu repot-repot mengajakku makan di meja kalian. Aku masih kenyang. Permisi!" Jawaban tegas Riana membuat senyum miring tersungging di bibir Nessie. Sementara Mahesa dan Kenzie menghelakan napas kecewa. Tentu saja Riana menolak. Ia tidak mau menjadi obat nyamuk di meja itu. Meskipun ada Kenzie di sana. "Yah … mama pergi." Kenzie menggembungkan pipi. Tampak kecewa. "Tidak apa-apa, Kenzie. Mamamu memang harus kembali bekerja. Jangan sedih, 'kan ada Tante." Bibir Kenzie masih mengerucut meski Nessie mencoba menghiburnya sembari mengusap punggungnya. Mahesa memperhatikan sikap manis Nessie terhadap Kenzie. "Riana akan segera menikah dengan Aram. Mereka akan secepatnya menempuh hidup baru
"Kenapa masih diam? Apa uangnya kurang? Baiklah, aku akan tambahkan lagi jadi lima ratus juta. Tapi segera bawa pergi anak itu secepatnya!" Diambang batas kesabarannya, Riana mengepalkan tangan dengan kuat. Selanjutnya, ia menepis amplop di tangan Gustav hingga uangnya jatuh dan berhamburan. Gustav terkejut, melemparkan sorot tajamnya pada Riana. "Heh! Perempuan! Maumu apa? Jika memang uangnya kurang, kau tinggal bilang saja padaku!""Anda salah, Tuan. Berapapun nominal yang Anda tawarkan, aku tidak akan pernah angkat kaki dari rumah ini! Kenzie tidak akan pergi ke manapun. Uang Anda tidak bisa mengatur kehidupan seseorang!""Oh, jadi maksudmu kau ingin anak itu tetap di sini dan dekat dengan Mahesa, lalu Mahesa menjadikannya pewaris? Ck! Jangan mimpi, Riana!""Aku tidak pernah bermimpi, Tuan. Bahkan tidak ada sedikitpun keinginan dalam hatiku untuk menjadikan Kenzie sebagai pewaris keluarga Anda," tekan Riana membalas ucapan Gustav. Namun, Gustav malah mendengus tak percaya. "H
Memegangi dadanya sendiri, Gustav seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan Mahesa. "Anak itu akan kau jadikan pewaris? Di mana akal sehatmu, Mahesa?""Aku sehat dan normal. Aku mengatakan ini dengan sungguh-sungguh. Papa tidak bisa ikut campur dengan keputusanku karena semua kekayaan yang akan kuwariskan pada Kenzie adalah milikku, tak ada sepeser pun milik Papa!" Mahesa menekan kembali ucapannya. "Papa harap kau berubah pikiran. Ketika menikah dan memiliki anak dengan Nessie, kau pun bisa mendapat pewaris dari wanita yang jelas asal-usulnya. Bukan seperti anak haram itu.""Sekali lagi Papa menyebut Kenzie anak haram, aku akan membatalkan pertunanganku dengan Nessie!" Ancaman yang keluar dari mulut Mahesa seketika berhasil membungkam Gustav. Gustav terdiam dengan dada yang naik-turun karena emosinya. "Ini yang terakhir kali. Aku tidak mau lagi mendengar Papa menjelek-jelekkan Kenzie. Terserah jika Papa tidak mau mengakui Kenzie sebagai cucu, tapi aku tidak akan membiarkan sia
"Om Mahesa papa aku?" ulang Kenzie. Mahesa mengangguk. Mengusap puncak kepala Kenzie. "Iya, sayang. Selama ini, Om belum berani mengatakannya. Dan sekarang, Om tidak bisa merahasiakannya lagi." Terkejut, mata Kenzie melebar menatap Mahesa. "Mulai sekarang, tolong jangan panggil Om Mahesa lagi. Panggil Papa saja. Papa sayang menyayangimu, Kenzie." Mahesa tersenyum, hendak memeluk Kenzie. Namun Mahesa terkejut saat Kenzie menolak pelukannya dengan mendorong dadanya. "Kenzie? Ada apa?""Kalau benar Om adalah Papaku, lalu kenapa Papa baru datang sekarang? Papa ke mana saja? Kenapa Papa tega tinggalkan aku dan Mama?"Mendadak Mahesa bingung ketika bocah itu memberondongnya dengan pertanyaan yang sulit untuk ia jawab. "Maaf, Papa … ""Papa jahat! Aku benci Papa! Papa tidak pernah sayang aku!" "Kenzie, tolong jangan marah! Papa bisa jelaskan."Terlambat, Kenzie lebih dulu membuka pintu dan turun dari mobil. Kaki kecilnya berlari menyusuri gang luas yang mengarah ke rumahnya. Helaan
"Tapi Mama minta maaf. Mama tidak bisa beritahukan apa alasannya," kata Riana yang masih menggenggam erat tangan Kenzie. "Menurut Mama, apa aku harus maafkan Om Mahesa?" Kenzie bertanya, mengangkat pandangannya pada Riana. "Itu tergantung padamu. Mama yakin kau sudah tahu apa pilihan yang tepat. Mama cuman mau bilang, coba kau ingat-ingat lagi, apa yang selama ini berusaha Om Mahesa lakukan padamu? Bagaimana dia memperlakukanmu. Dan coba tanyakan pada hatimu sendiri, apa yang harus kau putuskan." Setelah mengatakan itu, Riana mengusap kepala Kenzie, kemudian hendak bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pergi. "Tunggu, Ma!" Namun, Kenzie segera menahan tangan Riana. Membuat Riana menoleh. "Iya, sayang? Kenapa?""Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan memaafkannya," ujar Kenzie. Selarik senyum yang sangat tipia pun tersungging di bibir Riana demi mendengar itu. *** Langkah Mahesa terasa berat saat berayun menuju kamar. Baru saja ia tiba di rumah setelah menganta
Saat berjalan menuju ruang tengah, Riana dikejutkan dengan keberadaan Mahesa yang sudah duduk di seberang Aram. "Mahesa? Sejak kapan dia datang?" gumam batin Riana. "Hai, Riana!" Mahesa melempar senyum. "Apa itu kopi untukku?" tanya Mahesa sambil melirik ke arah secangkir kopi di tangan Riana. "Enak saja. Itu kopi punyaku. Riana sengaja membuatkannya untuk calon suaminya. Benar 'kan, sayang?" Aram langsung menyela. Menerbitkan senyum yang amat manis pada Riana. "Emh … iya," jawab Riana, kemudian menaruh kopi itu di depan Aram. "Kau mau kopi juga?" kini matanya melirik pada Mahesa. "Tidak usah buatkan kopi! Dia lebih suka air kobokan," celetuk Aram. Mahesa mendelik sinis. "Air kobokan? Bukankah itu minuman favoritmu.""Tolong, hari ini saja jangan berdebat hanya karena secangkir kopi. Tunggu sebentar, aku akan buatkan satu lagi untuk Mahesa." Riana membalikan badan, hendak pergi ke dapur. "Tidak perlu, Riana. Aku sudah tidak berselera minum kopi. Lagipula aku sudah minum sebel
"Pertanyaanmu sangat konyol," cetus Mahesa. Membuang wajahnya dari Nessie. "Kau tidak bisa menjawabnya, 'kan? Oh, aku tahu. Jika Riana yang memelukmu, tentu saja kau tidak akan melepaskan tanganmu dan akan membiarkannya." "Nessie, jangan memancing emosiku! Aku sedang tidak ingin ribut." Mahesa mengacungkan satu telunjuknya di depan wajah Nessie. Namun, Nessie tidak merasa takut sama sekali dengan sorot tajam yang terpancar dari kedua bola mata Mahesa. "Kenapa kau selalu terlihat panik setiap kali aku membahas tentang Riana? Apa kau mencintainya?" tanya Nessie sambil berpangku tangan. Mengangkat dagunya di depan lelaki bertubuh jangkung itu. Mahesa terdiam sebentar, hanya mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, sebelum akhirnya membuang napas kasar dan melempar stick billiard ke meja. "Terserah kau saja," ketus Mahesa, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu. Nessie melebarkan mata. Wajahnya memerah karena tahu kalau Mahesa memiliki perasaan terhadap Riana. "Kau tidak