Aluna melangkah keluar dari taksi, menatap megahnya pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Tangannya menggenggam erat kartu hitam pemberian Raka.
"Hhhh… semalam di rumah sakit rasanya udah pengap banget. Sekarang waktunya melanjutkan hidup," gumamnya sambil mengangkat dagu, berusaha menepis rasa sesak didalam hatinya. Aluna langsung menuju toko ponsel. Setelah memilih iPhone terbaru, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan buat gaya-gayaan… ini investasi kerja,” bisiknya pada diri sendiri. Laptop canggih jadi target berikutnya, untuk melamar kerja dan, katanya untuk mulai hidup normal. Beberapa jam kemudian, tangannya sudah penuh dengan paper bag berisi ponsel, laptop, dan beberapa set pakaian. Bukan barang mewah, tapi cukup untuk membuatnya percaya diri. ‘Ini barang pinjaman,’ batinnya mantap, meski bayangan tatapan tajam Raka masih mengganggu pikirannya. ** Di kantor, Raka duduk di kursi CEO-nya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar komputer. Radit duduk di seberang meja, memantau suasana. “Dia pulang sendiri..” suara Raka terdengar dingin. Radit mengangguk pelan. “Iya. Gue juga gak nyangka dia—” Tiba-tiba suara notifikasi dari ponsel Raka memotong pembicaraan. Raka menurunkan pandangan ke layar. Satu, dua, tiga… notifikasi transaksi muncul berturut-turut. Pembelian ponsel – Rp 25.000.000 Pembelian laptop – Rp 18.000.000 Pakaian – Rp 7.500.000 Radit melirik. “Waduh… kayaknya kartu lo kepake, Ka.” “Gue tau,” jawab Raka datar, tapi matanya menyala penuh perhitungan. Dia menutup laptopnya dengan suara keras dengan sikap dingin. “Gue udah nemuin dia.” Radit mengangkat alis. “Lo yakin mau nyamperin? Si cewek itu kayaknya—” “Dia pikir bisa kabur setelah ambil duit gue?” potong Raka. “Bukan masalah nominalnya, Dit. Dia gak ngerti… sekali gue bilang deal, itu berarti dia setuju dengan peraturan gue! Dan sekarang cewek itu harus ketemu, jangan sampai dia coba kabur dari gue Radit tersenyum miring. “Oke, bos. Jadi, kita ke mall?” Raka berdiri, meraih jasnya. “Bukan cuma mall. Kita ke semua tempat yang ada di daftar transaksinya. Dia gak akan jauh dan harus ketemu.” ** Aluna baru saja keluar dari butik terakhir, langkahnya ringan meski tangannya dipenuhi paper bag belanjaannya. Dia berhenti sebentar di dekat kafe, berniat istirahat sambil minum kopi. Namun, langkahnya terhenti saat merasakan hawa dingin di belakang punggungnya. Perlahan, dia menoleh. Raka berdiri tak jauh, setelan jasnya rapi, kedua tangannya dimasukkan ke saku. Tatapannya tajam, tenang, tapi penuh tekanan yang membuat jantung Aluna berdetak dua kali lebih cepat. Radit berdiri sedikit di belakang, memandang situasi itu dengan ekspresi, ‘seru ini’. “Belanjaan lo udah banyak,” suara Raka terdengar datar, tapi entah kenapa Aluna merasa seperti baru saja ketahuan mencuri di depan polisi. “Lo mau nguras isi kartu, lalu mencoba menghilang..?!” tatapan Raka menajam memperhatikan paper bag di tangan Aluna, sebelum matanya menusuk ke arah perempuan itu. Aluna mengangkat dagu, mencoba terlihat santai. “Cuma pinjem. Nanti dibalikin kalau udah kerja.” Raka melangkah mendekat. “Gak butuh lo balikin uangnya. Gue butuh lo ngerti… kalau lo udah sepakat dan terikat sama gue, lo gak bisa kemana-mana tanpa izin gue. Paham?!” Aluna terdiam. Untuk pertama kalinya, nada dingin itu membuatnya merasa… bukan hanya terpojok, tapi juga ditekan.. Tatapan Raka tidak lepas dari wajah Aluna. Dinginnya menembus, seperti hendak membongkar semua isi pikirannya. “Kenapa lo pergi diam-diam dari rumah sakit? Lo nyoba kabur, hah?” suaranya rendah tapi mengandung tekanan yang membuat Aluna refleks menggenggam erat paper bag di tangannya. “Bukan…,” jawabnya cepat. Nafasnya sedikit tercekat, tapi dia berusaha terdengar santai. “Gua cuma… nggak tahu harus hubungin siapa waktu suster bilang gua boleh pulang. Lo tau kan, gua gak bawa apapun. Ponsel juga gua gak bawa..” “Kan udah gue bilang, lo tunggu Radit jemput! Kenapa justru lo kabur?!” Raka masih tidak Terima dengan jawaban Aluna. “Ck, Gua gak tau Radit datang jemput jam berapa. Karena gak lama lo pergi, dokter periksa dan boleh langsung pulang..” Aluna menjelaskan dengan nada serius, seakan meyakinkan Raka. Raka masih menatap tajam, seolah menimbang kebohongan di setiap kata. “Harusnya lo tetep tungguin! Jangan main kabur dan ngabisin isi kartu doang.” Aluna mengangkat bahu, matanya menatap lurus. “Sengaja, biar lo notice. Biar dicariin.” Dia menghela napas, lalu menambahkan, “Bukan buat manfaatin lo, cuma… pengen lo nemuin gua. Gak ngilang begitu aja.” Alis Raka sedikit terangkat, tapi wajahnya tetap datar. “Dan barang-barang ini?” “Katanya boleh pake?” Hening beberapa detik. Raka menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak. Lalu, tanpa sepatah kata, dia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar mall. “Ayo, ikut!” Suara Raka singkat dan tegas seperti perintah yang tak bisa dibantah. “Eh, tunggu! Ikut kemana?” seru Aluna sambil setengah berlari menyusulnya. Raka berhenti, menoleh setengah. Sorot matanya dingin tapi tajam, seperti mengingatkan sesuatu yang tidak boleh dilupakan. “Kesepakatan kita, Aluna. Lo itu pacar kontrak gue. Lo ikut gue… kemana pun gue mau.” Seketika, dada Aluna terasa sesak. Bukan karena takut… tapi karena entah kenapa, tatapan itu membuatnya sulit berpaling. “Lo mau minta.. Tinggal bareng? tanya Aluna ragu. “Hmm.. Sesuai kesepakatan!” “Tapi—” “Gausah membantah.” melirik tajam ke arah Aluna. ‘Ah.. Sial.. Apa gua masuk kandang macan ya..?!’ gumam Aluna dalam hati, ada rasa menyesal dan juga was-was saat ini. ***Raka menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang berkilau di sore hari.Aluna melongok keluar jendela. “Ini– rumah?”“Turun,” jawab Raka singkat, tanpa menjawab sindiran.Mereka masuk lift pribadi. Suara musik lembut mengisi ruang sempit itu, tapi hawa di antara mereka tegang.Aluna menatap angka lantai yang terus naik. “Ini mau kemana sih atau lo—”Raka meliriknya dingin. “Gue nggak punya waktu buat pikiran kotor lo.”“Ck, semua juga kayak gitu.”“Diam.” Nada Raka memotong cepat.Pintu lift terbuka di lantai teratas. Penthouse itu luas, mewah, dan penuh kaca yang menampilkan panorama kota.“Ini kamar lo.” Raka membuka pintu di sisi kiri.Aluna melangkah masuk. Ruangannya nyaris setara presidential suite hotel bintang lima. Tempat tidur king-size, balkon pribadi, kamar mandi marmer dengan bathtub besar.“Serius?”“Ya.” jawab Raka datar.Aluna menoleh dan tersenyum tipis. “Makasih ya… walau gue masih curiga lo modus.”Raka menghela napas. Aluna
Aluna melangkah keluar dari taksi, menatap megahnya pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Tangannya menggenggam erat kartu hitam pemberian Raka."Hhhh… semalam di rumah sakit rasanya udah pengap banget. Sekarang waktunya melanjutkan hidup," gumamnya sambil mengangkat dagu, berusaha menepis rasa sesak didalam hatinya. Aluna langsung menuju toko ponsel. Setelah memilih iPhone terbaru, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan buat gaya-gayaan… ini investasi kerja,” bisiknya pada diri sendiri. Laptop canggih jadi target berikutnya, untuk melamar kerja dan, katanya untuk mulai hidup normal.Beberapa jam kemudian, tangannya sudah penuh dengan paper bag berisi ponsel, laptop, dan beberapa set pakaian. Bukan barang mewah, tapi cukup untuk membuatnya percaya diri.‘Ini barang pinjaman,’ batinnya mantap, meski bayangan tatapan tajam Raka masih mengganggu pikirannya.**Di kantor, Raka duduk di kursi CEO-nya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar komputer. Radit duduk di sebera
Suasana restoran siang itu cukup tenang. Aroma makanan lezat mulai menyebar, menambah kenyamanan suasana pertemuan penting antara dua keluarga. “Akhirnya kita bisa bertemu lagi, Pak Ardian, Bu Tania..” ujar Pak Dirga dengan senyum hangat, tangannya terulur menyambut kedatangan teman lamanya. Ada nada penuh memori di suaranya, seperti menyingkap persahabatan lama yang kembali tersambung. “Terima kasih, Pak Dirga, Bu Lestari. Kami senang kita bisa bertemu siang ini.. Maaf ya sudah menunggu kami.. Dan terima kasih undangan makan siangnya..” balas Pak Ardian sambil menjabat tangan mereka bergantian, terlihat akrab dan sopan. Bu Tania yang elegan tersenyum sopan, sementara Kayla berdiri di belakang mereka dengan senyum tak sabar yang ditahan-tahan. Raka, yang sejak tadi hanya sibuk menunduk menatap ponselnya, akhirnya mendongak juga. Tanpa banyak ekspresi, ia ikut bersalaman sekadarnya. Tak ada antusiasme di sorot matanya, bahkan bisa dibilang dingin. Tapi senyum manis Kayla langsung
Aluna mengerjapkan mata beberapa kali, pandangannya masih buram dan samar. Ia mengernyit, merasa terusik oleh suara langkah dan gerakan yang tidak dikenalnya. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. “Hei..! Apa yang lo lakukan..?! Lo tadi sentuh gua, ya..?!” serunya, suara serak namun penuh kecurigaan dan amarah, matanya menatap nyalang. Raka tak langsung menjawab. Pandangannya hanya melirik sekilas, lalu kembali ke tangannya yang merapikan selimut di ujung ranjang. Gerakannya tenang, terukur, seolah semua yang ia lakukan memang harus rapi dan presisi. “Selimut lo berantakan,” ucapnya datar, tanpa menoleh. “Sebentar lagi perawat datang. Jam sembilan dokter periksa. Kalau hasilnya baik, lo bisa pulang.” Dia menyilangkan tangannya di dada, menatap tajam kearah Aluna. “Memangnya jam berapa sekarang?!” tanya Aluna sambil menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan jam dinding. Jam tujuh,” jawab Raka tetap t
Lampu redup di kamar VIP itu membuat bayangan jatuh di wajah pucat Aluna. Nafasnya mulai teratur, meski tatapan matanya masih waspada. “Namamu siapa?” Aluna menjawab seraya membuka mata perlahan. “Al–una.” “Oh… Aluna,” Radit memecah keheningan, suaranya lega. “Maaf ya, tadi temenku nggak sengaja nabrak kamu.” Dia melirik sekilas ke Raka, lalu kembali fokus. “Sekarang gimana? Masih sakit di bagian kepala?” Aluna menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Pusing,” jawabnya singkat. “Oke, aku panggil dokter dulu,” ucap Radit sambil menekan tombol panggil perawat di sisi ranjang. Hening kembali menyelimuti ruangan. Raka, yang sejak tadi bersandar di sofa, mengalihkan pandangan ke jendela. Tapi matanya sesekali melirik Aluna, menelusuri wajah itu seperti mencari potongan memori yang hilang. ‘Kenapa mata itu nggak asing…? Siapa sebenarnya perempuan ini?’ pikirnya. Aluna bisa merasakan tatapan itu. Dingin, tajam, tapi juga seakan menuntut jawaban. Tatapan yang membuatnya ter
“Tega sekali kamu menipu kami! Bisa-bisanya mengaku sebagai anak kami?! Mengarang cerita dan membuat kami percaya?!”Tamparan itu telak menampar hidup Aluna. Sudah beberapa hari kedua orang tuanya, Pak Ardian dan Bu Tania, pergi ke luar kota. Dan hari ini... mereka kembali. Namun, bukan pelukan hangat atau senyuman rindu yang menyambutnya. Justru suara dingin dan tajam itu yang lebih dulu membelah udara.Dadanya berdegup kencang, wajahnya menegang. Ia melihat Mamanya berdiri di ruang tamu, matanya merah, namun sorotnya tidak lagi lembut seperti dulu.“A... Apa maksud Mama?” suara Aluna bergetar, nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Wanita yang selama ini ia panggil ‘Mama’ itu menatapnya seolah Aluna adalah parasit, penipu yang menjijikkan. Tak lama, Pak Ardian muncul dari arah belakang. Wajahnya tegas dan penuh kekecewaan.Suara itu... suara yang dulu selalu menjadi tempatnya berlindung, kini menghantamnya hati Aluna yang seketika itu hancur. “Aku gak ngerti... Aku gak ngerti m