Raka menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang berkilau di sore hari.
Aluna melongok keluar jendela. “Ini– rumah?” “Turun,” jawab Raka singkat, tanpa menjawab sindiran. Mereka masuk lift pribadi. Suara musik lembut mengisi ruang sempit itu, tapi hawa di antara mereka tegang. Aluna menatap angka lantai yang terus naik. “Ini mau kemana sih atau lo—” Raka meliriknya dingin. “Gue nggak punya waktu buat pikiran kotor lo.” “Ck, semua juga kayak gitu.” “Diam.” Nada Raka memotong cepat. Pintu lift terbuka di lantai teratas. Penthouse itu luas, mewah, dan penuh kaca yang menampilkan panorama kota. “Ini kamar lo.” Raka membuka pintu di sisi kiri. Aluna melangkah masuk. Ruangannya nyaris setara presidential suite hotel bintang lima. Tempat tidur king-size, balkon pribadi, kamar mandi marmer dengan bathtub besar. “Serius?” “Ya.” jawab Raka datar. Aluna menoleh dan tersenyum tipis. “Makasih ya… walau gue masih curiga lo modus.” Raka menghela napas. Aluna berjalan ke arahnya, tapi ujung sepatunya tersangkut karpet tebal. “Aduh—!” Refleks, Raka menariknya. Tubuh mereka bertubrukan, dan tanpa sengaja bibir keduanya bersentuhan. Aluna membeku sejenak, lalu cepat-cepat mundur. “GILA!” sungut Aluna sambil berkaca pinggang. “Itu kecelakaan!” Wajah Raka tetap datar, tapi tatapannya menusuk. “Yakin kecelakaan? Atau lo emang mau mesum?” Aluna memicingkan mata penuh curiga. Raka menahan diri untuk tidak mendengus. “Kalau gue mau, gue nggak butuh ‘kecelakaan’. Ngerti?!” Matanya menatap tajam kearah Aluna. Perempuan itu terperangah, “Awas aja kalau lo berani.. Gue putusin!” Dia membalas tatapan Raka. Laki-laki itu tak lagi menggubris, dia berusaha mengalihkan fokus dari kejadian barusan. “Nomor ponsel lo.” Aluna mengerutkan kening. “Buat apa? Kan udah disini..” Raka menatapnya tajam. “Buat gampang ngelacak lo.” Aluna mendengus, merogoh tas belanja mencari ponselnya yang baru. “Nih, catet..” Aluna mengulurkan ponselnya, tapi tanpa sengaja, paper bag di tangannya robek. Semua isinya jatuh berantakan di lantai. “Aduuhh..” Aluna jongkok cepat, bersamaan dengan Raka yang juga meraih ponsel itu. Kepala mereka nyaris bertabrakan, jarak wajah tinggal beberapa senti. Aluna refleks menatap mata Raka dengan tajam, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuatnya tercekat. “Eh… Lo ngapain liatin gue gitu? Jangan bilang lo mau—” “Gue cuma mau ambil ponsel lo,” potong Raka datar, tapi ujung bibirnya nyaris terangkat. Aluna mundur, tapi malah terpeleset tas belanjanya di lantai, membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat ke arah Raka. Kali ini tubuh mereka menempel rapat, dada bertemu dada. Deg. Raka menahan bahu Aluna, matanya terkunci di wajah perempuan itu. “Lo tuh modus ya?!” Aluna menatap tajam, mencoba menutupi degupnya sendiri. “Geer!” Raka melepasnya perlahan, tapi tatapannya tetap menusuk. “Nomor lo, sekarang. Jangan bikin gue ulang dua kali..” Aluna menyerahkan ponsel sambil manyun. “Nih.. Tapi kalau lo spam chat atau telepon nggak penting, gue blok.” Raka mengetik cepat lalu menyimpan kontak itu. “Gak penting.” “Dasar jutek, mesum, menyebalkan” gumam Aluna pelan. Raka hanya berjalan keluar kamar tanpa menoleh. “Besok kita mulai latihan jadi pacar kontrak. Lo siapin diri.. Sekarang gua tunggu di bawah, makan malam. Gak pake lama..!” Aluna terdiam, antara kesal dan penasaran dengan kata-kata Raka. “Hhhh.. Ada-ada aja pakai latihan jadi pacar kontrak.. Mending buat cari kerja atau datang wawancara..” gumam Aluna. ** Aluna terbangun karena suara ketukan pintu. Dia mengerang pelan, meraih bantal untuk menutup wajah. “Aluna bangun..!” Suara berat Raka terdengar dari balik pintu. “Apaan sih… pagi-pagi udah kayak satpam kontrakan,” gumamnya kesal. Tapi akhirnya dia turun dari tempat tidur. Pintu terbuka begitu saja. Raka masuk dengan setelan jas abu-abu rapi, aroma parfum maskulinnya langsung memenuhi ruangan. “Latihan mulai sekarang..” suaranya datar tapi cukup serius. Aluna memicingkan mata, kembali duduk di tempat tidur dengan piyama longgar. “Latihan apaan?” “Gue nggak pernah bercanda soal kesepakatan.” Raka menatapnya dari kepala sampai kaki. “Ganti baju. Gue tunggu lima menit.” Aluna berdiri dengan malas, berjalan ke lemari. “Lima menit? Hhhh.. Kayak mau perang aja..” “Kalau gue bilang tiga menit, lo bisa?” balas Raka datar. Sepuluh menit kemudian, Aluna keluar dengan gaun sederhana tapi pas badan. Rambutnya dibiarkan terurai, tapi matanya masih setengah malas. “Gue udah siap.. Terus, apa nih latihannya?” Raka menatap jam tangannya. “Pertama, kita sarapan bareng, ayo.. Lo duduk di sebelah gue, bukan depan.” Aluna menaikkan satu alis. “Lo takut keliatan jomblo, ya?” “Gue cuma nggak mau lo keliatan kayak orang asing di sebelah gue.. Lo harus profesional, mirip pacar beneran di depan orang tua gue..” Raka berjalan lebih mendahului Aluna kearah ruang makan, perempuan itu mengikutinya sambil mendengus pelan. Saat sampai di depan meja makan Raka menarik kursi untuk Aluna. Aluna menatapnya curiga. Raka menarik kursi tanpa banyak kata. “Latihan bagian satu, lo senyum. Bukan menyeringai sinis kayak gitu.. Dan jangan banyak protes.” Saat sarapan, Raka mengambilkan roti untuknya. Aluna justru menggeser piring itu kembali ke Raka. “Lo makan aja. Gue nggak mau roti. Gue maunya omelet.” Raka mengembalikan piring itu kembali ke Aluna, “Jangan pilih makanan! Makan yang ada aja!” Suara dingin khas Raka terdengar naik satu oktaf. “Lo maksa?” Aluna mengangkat alisnya dengan tatapan tajam. Aluna mengerucutkan bibirnya, terpaksa memakan roti di depannya. Sesekali matanya melirik ke arah Raka, laki-laki itu gak melepaskan pandangan dari wajahnya. “Jangan ngeliatin gue seperti itu.. Nanti lo beneran jatuh cinta ke gue..!” celetuk Aluna tanpa menoleh kearah Raka. Raka senyum tipis yang hampir lolos. “Gue nggak semudah itu.” Tapi, tiba-tiba saja jantung Raka berdebar lebih keras saat matanya menatap bibir Aluna. ***Raka menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan sebuah gedung pencakar langit yang berkilau di sore hari.Aluna melongok keluar jendela. “Ini– rumah?”“Turun,” jawab Raka singkat, tanpa menjawab sindiran.Mereka masuk lift pribadi. Suara musik lembut mengisi ruang sempit itu, tapi hawa di antara mereka tegang.Aluna menatap angka lantai yang terus naik. “Ini mau kemana sih atau lo—”Raka meliriknya dingin. “Gue nggak punya waktu buat pikiran kotor lo.”“Ck, semua juga kayak gitu.”“Diam.” Nada Raka memotong cepat.Pintu lift terbuka di lantai teratas. Penthouse itu luas, mewah, dan penuh kaca yang menampilkan panorama kota.“Ini kamar lo.” Raka membuka pintu di sisi kiri.Aluna melangkah masuk. Ruangannya nyaris setara presidential suite hotel bintang lima. Tempat tidur king-size, balkon pribadi, kamar mandi marmer dengan bathtub besar.“Serius?”“Ya.” jawab Raka datar.Aluna menoleh dan tersenyum tipis. “Makasih ya… walau gue masih curiga lo modus.”Raka menghela napas. Aluna
Aluna melangkah keluar dari taksi, menatap megahnya pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Tangannya menggenggam erat kartu hitam pemberian Raka."Hhhh… semalam di rumah sakit rasanya udah pengap banget. Sekarang waktunya melanjutkan hidup," gumamnya sambil mengangkat dagu, berusaha menepis rasa sesak didalam hatinya. Aluna langsung menuju toko ponsel. Setelah memilih iPhone terbaru, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Bukan buat gaya-gayaan… ini investasi kerja,” bisiknya pada diri sendiri. Laptop canggih jadi target berikutnya, untuk melamar kerja dan, katanya untuk mulai hidup normal.Beberapa jam kemudian, tangannya sudah penuh dengan paper bag berisi ponsel, laptop, dan beberapa set pakaian. Bukan barang mewah, tapi cukup untuk membuatnya percaya diri.‘Ini barang pinjaman,’ batinnya mantap, meski bayangan tatapan tajam Raka masih mengganggu pikirannya.**Di kantor, Raka duduk di kursi CEO-nya. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar komputer. Radit duduk di sebera
Suasana restoran siang itu cukup tenang. Aroma makanan lezat mulai menyebar, menambah kenyamanan suasana pertemuan penting antara dua keluarga. “Akhirnya kita bisa bertemu lagi, Pak Ardian, Bu Tania..” ujar Pak Dirga dengan senyum hangat, tangannya terulur menyambut kedatangan teman lamanya. Ada nada penuh memori di suaranya, seperti menyingkap persahabatan lama yang kembali tersambung. “Terima kasih, Pak Dirga, Bu Lestari. Kami senang kita bisa bertemu siang ini.. Maaf ya sudah menunggu kami.. Dan terima kasih undangan makan siangnya..” balas Pak Ardian sambil menjabat tangan mereka bergantian, terlihat akrab dan sopan. Bu Tania yang elegan tersenyum sopan, sementara Kayla berdiri di belakang mereka dengan senyum tak sabar yang ditahan-tahan. Raka, yang sejak tadi hanya sibuk menunduk menatap ponselnya, akhirnya mendongak juga. Tanpa banyak ekspresi, ia ikut bersalaman sekadarnya. Tak ada antusiasme di sorot matanya, bahkan bisa dibilang dingin. Tapi senyum manis Kayla langsung
Aluna mengerjapkan mata beberapa kali, pandangannya masih buram dan samar. Ia mengernyit, merasa terusik oleh suara langkah dan gerakan yang tidak dikenalnya. Ketika kesadarannya pulih sepenuhnya, matanya langsung menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. “Hei..! Apa yang lo lakukan..?! Lo tadi sentuh gua, ya..?!” serunya, suara serak namun penuh kecurigaan dan amarah, matanya menatap nyalang. Raka tak langsung menjawab. Pandangannya hanya melirik sekilas, lalu kembali ke tangannya yang merapikan selimut di ujung ranjang. Gerakannya tenang, terukur, seolah semua yang ia lakukan memang harus rapi dan presisi. “Selimut lo berantakan,” ucapnya datar, tanpa menoleh. “Sebentar lagi perawat datang. Jam sembilan dokter periksa. Kalau hasilnya baik, lo bisa pulang.” Dia menyilangkan tangannya di dada, menatap tajam kearah Aluna. “Memangnya jam berapa sekarang?!” tanya Aluna sambil menoleh ke kanan kiri, mencari keberadaan jam dinding. Jam tujuh,” jawab Raka tetap t
Lampu redup di kamar VIP itu membuat bayangan jatuh di wajah pucat Aluna. Nafasnya mulai teratur, meski tatapan matanya masih waspada. “Namamu siapa?” Aluna menjawab seraya membuka mata perlahan. “Al–una.” “Oh… Aluna,” Radit memecah keheningan, suaranya lega. “Maaf ya, tadi temenku nggak sengaja nabrak kamu.” Dia melirik sekilas ke Raka, lalu kembali fokus. “Sekarang gimana? Masih sakit di bagian kepala?” Aluna menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Pusing,” jawabnya singkat. “Oke, aku panggil dokter dulu,” ucap Radit sambil menekan tombol panggil perawat di sisi ranjang. Hening kembali menyelimuti ruangan. Raka, yang sejak tadi bersandar di sofa, mengalihkan pandangan ke jendela. Tapi matanya sesekali melirik Aluna, menelusuri wajah itu seperti mencari potongan memori yang hilang. ‘Kenapa mata itu nggak asing…? Siapa sebenarnya perempuan ini?’ pikirnya. Aluna bisa merasakan tatapan itu. Dingin, tajam, tapi juga seakan menuntut jawaban. Tatapan yang membuatnya ter
“Tega sekali kamu menipu kami! Bisa-bisanya mengaku sebagai anak kami?! Mengarang cerita dan membuat kami percaya?!”Tamparan itu telak menampar hidup Aluna. Sudah beberapa hari kedua orang tuanya, Pak Ardian dan Bu Tania, pergi ke luar kota. Dan hari ini... mereka kembali. Namun, bukan pelukan hangat atau senyuman rindu yang menyambutnya. Justru suara dingin dan tajam itu yang lebih dulu membelah udara.Dadanya berdegup kencang, wajahnya menegang. Ia melihat Mamanya berdiri di ruang tamu, matanya merah, namun sorotnya tidak lagi lembut seperti dulu.“A... Apa maksud Mama?” suara Aluna bergetar, nyaris tidak keluar dari tenggorokannya.Wanita yang selama ini ia panggil ‘Mama’ itu menatapnya seolah Aluna adalah parasit, penipu yang menjijikkan. Tak lama, Pak Ardian muncul dari arah belakang. Wajahnya tegas dan penuh kekecewaan.Suara itu... suara yang dulu selalu menjadi tempatnya berlindung, kini menghantamnya hati Aluna yang seketika itu hancur. “Aku gak ngerti... Aku gak ngerti m