Share

Bab 4

“Kakek percaya, kamu akan menjadi pemimpin yang hebat!” kata Jhony, memeluk Gibran penuh dengan rasa bangga

Kemudian satu persatu para dewan Direksi perusahaan Moon Light, yang rata-rata semuanya di duduki oleh anak-anak dari Jhony –sekitar tiga orang sisanya di duduki oleh saudara-saudara dari Jhony itu sendiri.

Mereka semua menyalami Gibran satu persatu. Menaruh rasa kepercayaannya pada laki-laki itu.

Gibran sendiri juga bertekad, untuk menjadi pemimpin yang tidak mengecewakan semua karyawannya dan terlebih keluarganya yang sudah memberikan tanggung jawab ini.

Sayangnya, upacara serah terma jabatan hanya di saksikan oleh para petinggi dan pemegang saham. Tidak di tunjukan secara terbuka bagi seluruh karyawan. Akan tetapi, sebagai gantinya. Gibran nanti akan berpidato untuk mengupcakan sepatah kata untuk karyawannya.

Acara serah terima jabatan berakhir setelah Jackson Fransisco memeluk Gibran Emilio Fransisco. Semua orang yang hadir bertepuk tangan untuk memeriahkan suasana.

Banyak dari para hadirin yang memuji kesuksesan yang di dapatkan Gibran. Apalagi visualnya yang tampan menjadi daya tarik utama.

“Aku dengar dia sudah bertunangan,” kata seorang hadirin

“Beruntung sekali wanita itu,” jawab salah satu teman satu mejanya.

Deolinda yang berada tidak jauh dari mereka berdua, dapat mendengar dengan jelas kalimat pujian itu. Namun Deolinda merasa tidak seberuntung yang orang itu katakan. Detik berikutnya, Deolinda bangkit, membawa tas selempang mahalnya dan berjalan keluar aula.

Orang-orang mungkin akan menyebutnya beruntung. Tapi baginya, kehidupannya tidak ada yang perlu disebut beruntung seperti itu.

Deolinda berpikir. Menjadi tunangan Gibran adalah suatu beban, karena sejujurnya dia sangat tidak ingin menjadi tunangan laki-laki itu. Tapi, lagi-lagi karena masalah bisnis.

Saat begitu keluar aula. Tepat di belokan, Deolinda tidak sengaja menambrak seseorang yang membuatnya berhasil meringis. Dan dia terkejut, dengan siapa orang yang bertabrakan dengannya itu

“Kau?!”

“Ternyata, kau karyawan disini?” Tanpa berpikir panjang, Deolinda menarik paksa id card yang mengantung di leher Binar. Membuat sang empunya, mencebik kesal

“Kemarikan!” usaha untuk mengambil kembali id card itu gagal. Deolinda memiliki gerak yang lebih cepat darinya. Deolinda pikir, ini adalah waktu yang sangat tepat untuk membalaskan dendamnya

“Kau mau ini. Ambil jika kau bisa!” segera Deolinda menancapkan kakinya untuk melangkah memasuki lift. Binar yang sial, tidak dapat menjangkau Deolinda. Pintu lift lebih dulu tertutup. Lantas Binar dibuat mengerang, prustasi.

***

Betapa prustasinya, Binar tanpa id card karyawannya. Dia tidak bisa mengakses keluar masuk pintu utama gedung. Hal itu menjadikannya tidak bisa untuk mendapati makan siang bersama teman-teman satu Divisinya di restoran depan gedung perusahaan.

Sebenarnya, bisa untuknya keluar masuk gedung. Tapi Binar harus menggunakan pintu darurat yang kalau ingin mengaksesnya harus bayar. Itu sebagai bentuk, hukuman bagi orang yang meninggalkan id cardnya saat bekerja

Alhasil Binar hanya mengisi perutnya dengan satu bungkus roti yang dia dapati di kantin perusahaan. untuk merileksasikan pikirannya, Binar memilih untuk pergi ke atap. Memakan satu bungkus roti itu, bersama semilir angin.

Sementara itu. Di waktu yang bersamaan, mungkin hanya berselang beberapa menit dari kedatangan Binar ke atap gedung. Gibran datang hanya dengan kemeja putih yang ia lipat bagian lengannya sampai menyentuh sikut.

Kedatangan Gibran ke atap untuk mengisap satu batang rokok. Kebiasaan merokoknya ini sebenarnya adalah salah satu rahasianya. Gibarn nekad untuk merokok hanya dalam waktu mendesak saja. Seperti sedang dalam keadaan sulit saja.

“Kau?!” Binar terkejut mendapati Gibran.

Gibran lebih terkejut lagi. Bertemu dengan Binar di gedung perusahaannya sendiri

“Kenapa?”

“Kau ngapain disini?”

Gibran terkekeh, pertanyaan Binar sangat konyol sekali

“Untuk bekerja. Apa lagi?”

“Apa? Kau, laki-laki mesum bekerja disini. Apa tidak salah?” dan Binar tidak sengaja melihat rokok ditangan Gibran. Hal itu membuat Binar semakin berpikir buruk

“Kau juga merokok. Jangan-jangan kau juga pengguna narkoba.”

“Tutup mulutmu. Kau akan habis, jika tidak menjaga sikapmu,” peringat Gibran. Akan tetapi Binar masih menyepelekan

“Memangnya kau siapa? Kenapa aku harus menjaga sikapku?”

Gibran terkekeh, seraya duduk di kursi yang sama Binar duduki itu. Dengan refleks Binar menjauhkan tubuhnya.

“Aku orang yang akan membuatmu menyesal, karena telah bersikap kasar kepadaku.”

“Bukannya kau yang bersikap kasar kepadaku.”

“Apa?”

“Kemarin.” Binar menatap Gibran dengan tatapan yang penuh dengan  makna menikam “Kemarin, kau mencekal tanganku begitu saja.”

“Aku hanya ingi tahu siapa namamu.”

“Pembohong!”

“Siapa namamu?” Gibran teringat, jika semua karyawan disini pasti memiliki id card. Jadi untuk apa dia bertanya, jika dia bisa melihatnya dari id card itu. Tapi saat begitu dia melihatnya. Dalam dada wanita itu tidak ada id card karyawan yang mengantung

“Kemana id cardmu?” Gibran bertanya

Dengan santainya, Binar menjawab “Kau juga tidak memakai id cardmu.”

“Aku tidak butuh itu.”

Perkataan itu mampu membuat Binar menoleh cepat dan melemparkan tatapan penuh intimidasinya

“Semua karyawan pasti membutuhkan itu. Apa kau penyelusup?”

Gibran terkekeh pelan. Tidak habis pikir dengan apa yang wanita itu katakan. Gibran menjadi bertanya-tanya. Apakah penampilannya tidak cukup menjawab siapa sebenarnya seorang Gibran ini.

“Bagaimana denganmu? Apa kau juga seorang penyelusup?”

“Tidak mungkin.”

“Lalu kemana?”

“Apa aku harus memberitahumu?”

“Ya. Untuk membuat aku tidak berpikir jika kau adalah seorang penyelusup.”

Binar mendesis geram. Dia merasa kalah telak.

“Deolinda mengambilnya.”

Mendengar itu. Gibran terkejut. Lalu dia teringat dengan kejadian kemarin. Gibran bisa menyimpulkan jika hal ini erat kaitannya dengan kejadian kemarin

Detik setelahnya. Binar meringis prustasi “Bagaimana ini? Akan seberapa sulitnya. Aku bertahan hidup disini tanpa id card itu.”

“Aku bisa membantumu, mendapatkan id card itu.”

Binar terkejut, dia mentap Gibran dengan pandangan tidak percaya.

“Jangan konyol.”

“Jika aku mengatakan. Deolinda adalah teman dekatku, kau akan percaya jika aku akan bisa membantumu?”

“Semua laki-laki akan mengatakan, perempuan cantik adalah teman dekatnya.” Binar masih sangat tidak percaya.

“Bagaimana, jika aku mengatakan. Bahwa Deolinda adalah tunanganku.”

Binar malah tertawa. Sungguh apa yang dikatakan Gibran adalah konyol

Deolinda adalah orang yang sangat terkenal. Keluarganya juga tergolong keluarga konglomerat. Jadi, Binar rasa Gibran sangat mengada-ngada mengakui jika Deolinda adalah tunangannya. Memangnya dia siapa? Pikir Binar, Gibran adalah laki-laki biasa, sama sepertinya.

“Kau sangat tidak percaya rupanya.” Gibran mengeluarkan ponselnya, kemudian diberikannya kepada Binar “Tulis nomor ponselmu. Akan ku hubungi kau, jika aku berhasil mendapatkan id card itu.”

Binar tertawa “Kau sangat percaya diri sekali rupanya. Baiklah aku akan memberikan nomor ponselku. Jika kau berhasil mendapatkannya dalam waktu satu malam. Aku akan percaya, jika kau adalah tunangannya.”

Binar memberikan ponsel Gibran kembali, setelah sederet angka selesai ia tulis. Detik berikutnya, Binar memilih untuk pergi. Meninggalkan sesuatu pada hati Gibran

Setelah kepergian Binar. Gibran menyambungkan telponnya. Menelpon Deolinda. Untuk mendapati id card itu. Rasanya menggebu-gebu sekali, untuk bisa mendapatkan pembuktian itu. Sesungguhnya bukan karena ingin Binar percaya jika dirinya betulan tungangannya Deolinda. Melainkan dia ingin bertemu dengan wanita itu lagi.

Entah kenapa rasanya menyenangkan sekali. Gibran merasa sesuatu yang disebut sempurna itu, dapat ia rasakan. Dan, dia sangat ingin memilikinya. Mendekapnya dalam waktu yang sangat lama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status