Share

Bab 3

“Aku mohon, lepaskan aku. Jika kau ingin menculikku benar-benar tidak ada gunanaya. Aku hanya wanita dengan tubuh kurus. Aku mohon,” kata Binar penuh dengan permohonan

“Aku hanya ingin tahu siapa namamu.” Akhirnya Gibran bersuara. Entah kenapa, sejak melihat aksi wanita ini yang tegas membuat dirinya penasaran, tentang wanita ini lebih jauh.

“Omong kosong! Kau pasti laki-laki mesum yang ingin menculiku bukan?” Binar melepaskan cekalan itu dengan paksa

“Laki-laki mesum? Kau mengataiku laki-laki mesum?” Gibran tidak menyangka jika wanita yang menjadi pusat rasa penasarannya itu mengatainya dengan sebutan laki-laki yang tidak ada harganya sama sekali.

Sepanjang hidupnya. Gibran selalu dipenuhi dengan kalimat yang menjungjungnya tinggi. Dan kali ini, ada wanita yang mengatainya dengan sebutan rendahan seperti itu. Hal itu cukup membuatnya kesal.

“Ya. Tampangmu kuat sekali! Dan ... “ Binar memundurkan perlahan tubuhnya itu, menjauh dari jangkauan Gibran “Kau jangan coba-coba mendekatiku lagi.” setelah mengatakan itu, buru-buru Binar berlari sekencang mungkin. Menyelamatkan dirinya dari jangkauan Gibran.

Padahal, maksud Gibran benar-benar hanya ingin mengetahui namanya.

Saat Binar berlari, sesuatu keluar dari dalam tas slempangnya. Gibran melihat jika itu adalah sebuah Id Card para karyawan yang bekerja di Moon Light.

Gibran menjadi mengenali wanita itu. Jika dia adalah salah satu karyawan di perusahaannya yang akan dia pimpin.

***

Disinilah Gibran sekarang. Di toko pakaian milik Deolinda. Gibran sendiri sudah mengenakan setelan jasnya dan dia sangat puas dengan hasilnya.

Di depan cermin, Gibran melihat setiap inci tubunya. Bolehkan dia memuji dirinya sendiri? Jika boleh Gibran akan mengatakan jika dirinya sangat tampan. Apalagi dengan jabatan yang akan dia dapati.

Dalam kesempurnaan kehidupan yang Gibran miliki itu, Gibran merasa semuanya tidak cukup sempurna saat melihat Deolinda yang tampak tidak perduli dengannya. Wanita itu bahkan memilih ponselnya, ketibang dirinya.

Seraya menarik simpul dasinya yang terasa longgar, Gibran bersuara “Kau, akan datang untuk upacaraku besok?”

Gibran melihat Deolinda melepaskan perhatiannya pada ponselnya dari pantulan cermin, dan menatap Gibran yang masih membelakanginya.

“Apa semuanya akan peduli dengan ketidak mauan ku?”

Deolinda merasa, dirinya sangat malas untuk hadir di acara Gibran besok. Tapi keluarganya sangat menentang keras rasa malasnya itu. Sehingga membuat Deolinda mau tidak mau harus pergi ke perusahaan Gibran

“Kalau begitu, aku akan pilihkan busana untukmu.” Gibran sangat percaya diri sekali, dengan apa yang hendak ia lakukan. Padahal sudah jelas, jika Deolinda sering menolak pemberiannya

“Apa perlu?” Deolinda tampak tidak begitu tertarik, dia memilih untuk menarik ponselnya lagi untuk ia perhatikan.

“Ku rasa perlu.”

Deolinda hanya diam, tidak merespon apapun lagi. tapi Gibran mengerti, jika diamnya wanita itu adalah persetujuan baginya. Jadi Gibran, melangkahkan kakinya menuju lemari kaca yang menampilkan beberapa dress mewah

Deolinda melihat Gibran berdiri di depan lemari kacanya, kemudian dia bersuara “Kau ingin aku mengenakan dress itu?”

“Ya. Ku rasa ini sangat cocok untukmu.”

“Baiklah. Aku akan memakainya besok. Tapi ... “ Deolinda sengaja mengantungkan kalimatnya, membuat Gibran menunggu. Wanita itu beranjak dari duduknya, meninggalkan ponselnya di atas meja. Kemudian melangkah mendekat ke arah Gibran. Dan tersenyum. Akan tetapi senyuman itu tidak memiliki kesan manis

“Kau harus membayarnya. Pakaian itu tidak gratis.”

Gibran terkekeh pelan “Berapa harganya? Akan ku bayar saat ini juga.”

Deolinda merubah raut wajahnya menjadi lebih manis. Dia juga mengukur senyumannya yang apik. Akan tetapi kesan dinginnya masih saja terasa mencuat, kemudian bersuara “Kau memang laki-laki sempurna. Aku jadi tidak tega menyia-nyiakanmu.” Setelah mengatakan kalimat yang membuat Gibran terkejut, Deolinda langsung meranjakan kakinya. Kini hanya terdengar suara heals-nya saja yang bergemelatuk dengan marmer. Meski begitu, Gibran tetap tidak menyembunyikan senyumannya.

***

Tidak ada jadwal khusu yang harus Gibran lakukan. Untuk itu, dia memilih pulang dan akan merebahkan tubuhnya saja di atas ranjang miliknya.

Begitu dia masuk ke dalam rumahnya yang megah. Gibran sudah di sambut dengan pelayan rumahnya. Wanita yang mengenakan seragam khusus pelayan itu bersuara, meski begitu Gibran tetap berjalan dengan gaya cool-nya.

“Tuan muda. Nyonya mencari anda. Saya diperintahkan untuk menyampaikan pesan, jika anda harus segera menemuinya.”

“Dimana ibu sekarang?” tanya Gibran, yang kakinya baru saja menginjak anak tangga.

Gibran tetap berjalan, dan pelayan itu juga tetap mengikutinya.

“Biar saya panggilkan untuk anda, tuan muda.”

Sang tuan muda memasuki kamarnya, dan sang pelayan berjalan menjalankan tugasnya.

Di dalam kamarnya, setelah berganti pakaian dan membasuh muka dan kakinya. Gibran sama sekali tidak berselera untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur. Alhasil dia berdiri di depan rak buku besar. Dan mengambil buku secara acak, kemudian membaca halaman pertama

Suara ketuka pintu terdengar, yang Gibran yakini itu adalah ibunya. Makan dari itu Gibran langsung saja menyuruhnya masuk. Karena pintu juga sengaja tidak ia kunci.

Asmita Batari Fransisco. Wanita cantik, yang selalu mengedepankan kecantikan fisik itu masuk secara perlahan ke dalam kamar putranya.

Gibran tidak membalikan badannya, dia sudah terlanjr fokus membaca buku yang di peganggnya. Sehingga membuat Asmita, memeluknya dari belakang.

“Astaga! Putra ibu rupanya sudah besar,ya. Dia bahkan akan menjadi seorang Direktur Utama menggantikan ayahnya.”

Mendengar itu Gibran terkekeh, kemudian tangannya terulur menyimpan kembali bukunya secara berdiri ke tempatnya semula.

“Apa ibu senang dengan kabar bahagia ini?”

“Tentu saja, ibu senang.” Sang ibu kemudian menepuk pundak Gibran sedikit keras. Bukan apa-apa. Asmita hanya dibuat geregetan saja “Kenapa kau sangat hebat, hah? Ibu sungguh bangga memiliki kamu, nak!”

Asmita benar-benar bangga. Gibran akhirnya mendulang pucak tertinggi dalam kehidupannya. Yaitu menjadi pewaris untuk perusahaan keluarganya. Asmita sendiri tidak pernah mengira, jika hari dimana Gibran akan sukses akan datang secepat ini. Tepat di usia Gibran yang menginjak usia 28 tahun.

“Syukurlah, jika ini membuat ibu bahagia. Katakan saja, apa yang ingin ibu rasakan lagi. Aku akan memberikannya.”

“Tentu saja, ibu ingin melihat kau dan Deolinda menikah. Setelah itu, ibu benar-benar menjadi manusia yang paling bahagia di bumi ini.”

Mendengar harapan dari sang ibu, Gibran hanya tersenyum kemudian memeluk tubuh sang ibu erat. Gibran sendiri sangat tidak yakin dengan pernikahannya bersama Deolinda akan terjadi dalam waktu cepat. Seperti yang di ketahui jika keduanya sama-sama tidak memiliki rasa cinta satu sama lain. Jadi menurutnya, itu akan berproses dalam waktu yang lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status