Share

Bab 3

last update Last Updated: 2022-12-05 22:31:58

Bab 3

Kuseret langkah kaki yang terasa berat lalu mengetuk pintu pelan.

Malam sudah semakin larut, ditambah suasana hujan menambah kenyamanan untuk tidur.

Mungkin orang-orang di dalam juga, sampai aku mengetuk berkali-kali, pintu itu belum

terbuka.

" Mungkin sudah nasib kita, Nduk! Tidur di luar begini."

Aku terkekeh menertawakan nasibku sendiri.

Tapi takdir tidak selamanya buruk, lewat beberapa menit, terdengar suara langkah kaki mendekat.

Krek....

"Waalaikumsalam."

Kini satu wajah muncul dari balik pintu sambil menjawab salam.

Kulihat anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun menatapku dengan aneh.

Mungkin dia bingung bagaimana ada seorang perempuan datang malam-malam, sudah hujan membawa tas pula.

"Cari siapa, ya?" tanyanya kemudian.

Sepertinya dia penghuni baru di panti, saat aku meninggalkan tempat ini tiga tahun lalu, dia belum ada.

Aku mengusap pelan rambutnya.

"Namamu siapa? Kamu anak baru ya, di sini?"

Dia tersenyum, pandangannya beralih pada Aruna yang menggeliat di gendongan.

"Adek bayi? Lucu sekali."

Bukannya menjawab, bocah kecil itu berjinjit melongokkan kepalanya.

" Iya, namanya Aruna. Kalau namaku Melati, Ibu Ratmi mana?"

Aku menyebut nama ibu panti yang mengurus kami selama ini.

" Mawar, melati semuanya indah."

Bibirnya bersenandung lagu kanak-kanak yang sudah ada dari jaman aku kecil.

Aku tersenyum lalu melangkah ke dalam tanpa mengharap jawaban lagi.

Rumah panti ini tidak banyak berubah, masih sama seperti waktu aku meninggalkannya tiga tahun silam. Saat Mas Agung menikahiku dan memboyongku ke rumah Ibu mertua.

Ah, baru juga berapa jam? aku sudah memikirkannya lagi.

Tinggal bertahun-tahun di sini, membuatku hapal setiap sudutnya hanya dengan menutup mata.

Dari pintu depan kita akan menemui ruangan dengan meja dan empat kursi yang di tata rapi. Ruang ini biasa digunakan untuk menerima donatur atau tamu yang datang.

Kursi dari anyaman rotan yang keras masih menghiasinya. Kadang Mas Agung menunggu di sana sambil mengobrol dengan ibu panti.

Mas Agung lagi....

Melewati ruang tamu, akan ada sebuah lorong yang menghubungkan ruang tamu dengan kamar anak-anak di sebelah kiri dan kanan.

Tak terdengar riuh ramai anak-anak saat aku menyusuri lorong itu. Mungkin saja mereka sudah tidur.

Dulu aku sering berlarian berkejaran dengan teman-teman melewati lorong ini. Lalu Bu Ratmi akan mulai mengomel melihat kami berlarian di dalam rumah.

Sebenarnya, bangunan ini adalah sebuah rumah biasa. Tidak ada plang bertuliskan panti di halaman depan.

Ibu Ratmi lebih suka menyebutnya rumah singgah.

Wanita paruh baya itu menggunakan lebih dari separuh umurnya untuk mengasuh kami.

Anak-anak yang tidak diharapkan, begitu kata orang.

Ada yang terang-terangan menitipkan anaknya di sini dengan dalih tidak ada biaya.

Ada pula yang hanya ditaruh begitu saja, aku contohnya.

Bu Ratmi menemukanku menangis di depan rumah waktu subuh, berbalut kain tipis dan selembar foto laki-laki. Mungkin dia ayahku, entahlah.

Yang pasti foto itu tidak pernah lupa kubawa kemanapun aku pergi.

Persis saat ini, aku datang tengah malam dengan membawa Aruna, tapi aku tidak seperti orangtuaku yang tega meninggalkan anaknya di depan sana.

Aku tidak sampai hati.

Dari lorong, kaki ini berbelok ke kiri, dimana ada  sebuah kamar cukup luas dengan tiga tempat tidur susun.

Dapat kuhirup udara beraromakan masa lalu di sini.

Tempat aku menghabiskan sebagian besar waktu  di salah satu sudutnya.

Kamar anak perempuan yang dulu ramai dengan celotehku dan teman-teman.

Saat kami diam-diam menghias wajah dengan tepung, atau berebut boneka yang sudah dekil. Semua berputar kembali dalam kepalaku.

Tapi sekarang, kamar ini sunyi, sesunyi hati Bu Ratmi yang duduk di tepi tempat tidur. Sebelah tangannya mengelus dua anak perempuan yang tidur bersisihan.

" Siapa yang datang, Ren?"

Mungkin dia memanggil nama anak laki-laki yang membukakan pintu tadi.

Letak tempat tidur itu di sebelah kanan pintu dan Bu Ratmi duduk membelakanginya.

Wanita bermata teduh itu tidak melihat kedatanganku.

Tahu-tahu, anak laki-laki tadi sudah melewatiku yang berdiri mematung.

Ia lalu duduk di samping Bu Ratmi.

" Tu, Bu! Nggak tahu siapa, dateng-dateng langsung masuk."

Telunjuknya mengarah padaku.

Aku tersenyum sambil pura-pura melotot.

Bu Ratmi mengikuti arah telunjuk itu sampai mata bersitatap.

Tangan yang sudah tua itu mengusap-usap matanya, mungkin tidak percaya dengan pandangannya.

" Ibu ... aku pulang!" Rasanya tangis ini tak terbendung lagi.

Segera aku duduk bersimpuh di hadapannya.

Wanita yang sudah merawatku sejak kecil, mencurahkan kasih sayangnya sepenuh hati.

Tak pernah kudapati ia marah selain untuk kebaikanku.

Darinya aku merasakan kehadiran Ibu, sosok yang tidak pernah kuketahui rupanya.

Walau  Bu Ratmi bukan wanita yang menghadirkanku ke dunia ini tapi dialah ibuku yang sesungguhnya.

Bu Ratmi membelai kepalaku yang kini sudah kuletakkan di pangkuannya.

" Ya Allah, Nduk. Benar ini kamu? Melati anakku?"

Aku tergugu dan mengangguk. Bu Ratmi yang selalu menyebut dengan panggilan anakku.

Mendengarku menangis, Aruna dalam gendongan juga ikut menangis.

" Cup ... cup... sini ikut Kakak!"

Anak laki-laki itu mengambil Aruna dari gendonganku.

Tangannya menepuk-nepuk pelan pantat bayi itu.

Sebagai anak-anak, dia cukup pintar menggendong.

Aku mencium tangan itu dengan takzim.

"Aku pulang, Bu. Maaf aku dulu tidak menuruti nasehatmu. Benar kata Ibu, laki-laki itu tidak baik, Bu."

Setelah tiga menikah, baru kali ini aku datang. Ibu mertua selalu melarangku untuk berkunjung sementara Mas Agung selalu beralasan sibuk.

Tangan itu, tangan yang menyentuhku pertama kali dengan penuh cinta, kini keriput di makan usia. Dibingkainya wajah ini dengan lembut.

Kelembutan yang tidak pernah kudapat di keluarga itu. Ibu mertua yang kuharapkan bisa menjadi penyambung ibu, ternyata tidak lebih dari seorang monster.

Jangankan kelembutan, kata-kata manispun tidak pernah terucap dari bibirnya.

" Nduk, kamu tidak perlu minta maaf! Kamu tidak salah, ini semua sudah takdir Gusti Allah."

Airmata ini semakin mengalir deras saat pandangan kami bertemu. Netranya berkabut sama seperti ketika melepas aku pergi.

" Yang penting kamu sehat, bisa kembali ke rumah ini, ib sudah senang. Kamu tidak pernah datang setelah menikah. Ibu sampai merindukanmu. Siang malam ibu berdoa agar bisa bertemu denganmu lagi sebelum ibu pulang."

Kata-katanya membuat hatiku tersayat. Aku bersyukur masih ada yang menyayangiku dengan tulus.

Inilah tempatku, di mana aku merasa berharga.

" Maaf, Bu! Dulu Mas Agung tidak pernah mengijinkanku pergi, tapi sekarang dia malah mengusirku, Bu."

Bu Ratmi nampak terkejut, dibawanya tubuh ini ke dalam pelukannya.

" Jangan khawatir, ini rumahmu! Pulanglah Nduk, ini tetap menjadi rumahmu!"

Aku menghirup dalam-dalam aroma tubuh Ibu yang selalu kurindukan. Dekap hangat itu menenangkanku.

Meluruhkan sakit yang bersemayam dalam hati.

" Terima kasih, Bu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   bab 16

    Apa itu Aruna? Aruna Kinanti?Agung memarkirkan mobil di depan toko yang nampak ramai itu.Jam makan siang baru saja berakhir, tapi masih nampak beberapa orang asyik memilih kue yang dipajang di etalase.Salah seorang pegawai menghampirinya."Mari, Pak. Silahkan mau beli kue apa?" sapanya ramah.Aku tersenyum lalu menerima nampan yang ia berikan.Toko kue berkonsep minimalis ini menyajikan beragam kue yang cukup lengkap.Ada juga kue tradisional yang bersanding manis dengan cake dari luar negeri.Barisan toples berisi kue kering juga berjajar rapi.Sesaat ingatan Agung melayang, istrinya itu juga gemar membuat kue dengan seperti itu."Ini, Mas! Cobain deh nastar yang aku buat!" Wanita yang masih memakai celemek itu menyodorkan sepotong kue nastar ke mulutnya."Gimana enak, nggak?" matanya mengerjap penuh harap."Rencananya aku mau buat kue itu untuk dibawa ke rumah ibu pas lebaran nanti!" Agung masih tekun mengunyah, dicomotnya lagi beberapa biji dari loyang yang masih panas."Iihhh

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 15

    "Ahhh...." Kurasakan nyeri di tangan kiri bekas kecelakaan dulu saat aku menggunakannya untuk bertumpu di meja.Peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku itu, aku masih bergidik saat membayangkan detik-detik truk itu nyaris menabrak mobilku."Siapa ya, orang yang sudah mendonorkan darahnya padaku?" batinku sambil melihat keadaan toko dari dalam kantorku.Sampai sekarang, aku masih belum tahu orang baik hati itu.Ibu selalu saja menghindar setiap kali kutanya."Sudah! Masalah siapa yang mendonorkan darahmu itu, tidak perlu kau pikirkan! Dia juga tidak ingin namanya identitasnya di ungkap!" Kata ibu tempo hari.Tetap saja aku penasaran, siapa orang yang sudah menyelamatkanku di hari naas itu.Hari yang tidak akan pernah kulupakan.Bagaimana aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, perselingkuhan Melati.Tadinya aku ingin mempercayai kata-katanya saat di rumah sakit.Namun, fakta yang diungkap Anwar membuat darahku mendidih seketika.Wanita yang selama ini kuperjuangkan, tak lebih da

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 14 Rumahku rata dengan tanah

    "Berhenti!" teriak Melati lantang, suaranya berusaha mengalahkan kebisingan alat berat yang menggerus halaman rumahnya.Di hadapannya, sebagian halaman sudah rata dengan tanah, sementara tanaman dan pot bunga yang selalu dirawat ibunya kini lenyap tanpa jejak."Apa-apaan ini?" Melati bertanya pada Diki, suami Lastri, namun pertanyaannya seolah tidak didengar. Diki lebih tertarik berbicara dengan seorang laki-laki bertopi safety, yang di topinya terpampang logo perusahaan properti terkenal di kota."Aku bilang berhenti!"Melati berlari, merentangkan tangan di depan alat berat yang bergerak maju."Woi ... minggir, Mbak!" teriak operator alat berat, melongok dari dalam kabin sambil mengibaskan tangannya."Tidak akan, sebelum kalian menghentikan alat ini!" Melati bersikeras, meskipun dia tahu alat itu bisa saja melindaskannya.Diki, yang sejak tadi berpura-pura sibuk, tiba-tiba menoleh ke arah keributan itu. Dia melongo sejenak sebelum berlari ke arah Melati."Apa-apaan kau ini?" Dia menc

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 13

    Bab 13pov authorMelati terbelalak mendapati tumpukan tas di lantai."Mbak Mel, kita mau pergi kemana?Hu...hu...hu!" tangis Lisa dan Rima bersamaan.Kedua anak perempuan itu menarik-narik baju yang dipakainya."Gimana donornya, Nduk? Sudah selesai? Agung sudah sadar?" Rentetan pertanyaan keluar dari bibir Ratmi yang bergetar."Nanti Mbak pikirin dulu, ya! Sekarang kalian diem dulu, ya! Tuh, Aruna aja nggak nangis!"Melati mengusap kepala adik asuhnya itu lalu berjalan mendekati Ratmi yang duduk memangku Aruna."Aruna sayang, anak ibu. Pinter nggak nangis ya!" diangkatnya bayi itu dari pangkuan Ratmi.Lalu menciumi pipi gembulnya dengan gemas.Aruna sampai tertawa kegelian."Mas Agung sudah sadar, Bu! Keadaannya sudah jauh lebih baik."Ratmi mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Alhamdulillah, terima kasih ya Allah!"Melati tertegun, ia tidak mungkin menceritakan kejadian di rumah sakit tadi pada ibunya.'Maafkan Melati, Bu! Bukannya aku mau berbohong, tapi aku tidak mau menambah be

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 12

    Bab 12Aku harus bisa meyakinkan Mas Agung. Beruntung Anwar masih dengan sabar menemaniku di rumah sakit.Kami bisa menjelaskan kesalahpahaman ini langsung di depan suamiku."Baik! Ayo, kita buktikan sekarang!" Ibu mertuaku melangkah dengan tergesa ke dalam ruangan.Sementara aku dan Anwar mengikutinya dari belakang."Tolong jelaskan pada Mas Agung, ya War!" pintaku sesaat sebelum masuk ke ruang tempat Mas Agung di rawat.Laki-laki yang berjalan beriringan denganku itu, hanya tersenyum simpul."Gung, kamu sudah sadar?"Ibu menghampiri Mas Agung yang sudah membuka mata.Lelaki halalku itu tersenyum lemah, netranya menyipit saat melihatku."Mas, kamu sudah sadar?" Kuusap airmata yang jatuh lalu bergerak untuk mendekatinya.Mas Agung diam saja ketika aku menyentuh tangannya membantunya.Kutata bantal di belakangnya agar lebih nyaman untuk bersandar."Gimana, Mas? Sudah enakan?" tanyaku kemudian.Laki-laki itu hanya mengangguk lalu menoleh pada Anwar.Ibu mertua seakan tidak mau memberi

  • Putrimu Membalaskan Dendamku   Bab 11

    pov author"Tapi Bu-" sahut Melati cepat.Biar bagaimana panti ini milik Ratmi, tidak sedikitpun ada haknya maupun Lastri disini.Ratmi tersenyum."Kalian siapkan saja apa syaratnya!" Netra tuanya berkabut."Tapi ingat! Kalian harus pergi ke rumah saki sekarang juga!"Melati mengenggam tangan ibunya yang gemetar."Ibu tidak perlu melakukan ini! Melati pasti bisa dapat donor darah yang lain!""Jangan, Mel. Jangan buat Agung menunggu terlalu lama." Diusapnya tangan Melati.Lasti dan Diki saling melirik, dengan menahan senyum.Sebentar lagi, mereka akan jadi orang kaya.Terbayang berapa banyak uang yang akan mereka terima dari Affandi, bos besar pengusaha properti itu."Ibu, tinggal tanda tangan saja di sini!" Diki menyodorkan surat berisi persetujuan penjualan tanah beserta pant

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status