Pendahuluan.
Di tengah panasnya musim kering yang merayapi seluruh wilayah Austin, angin dari selatan membawakan kesunyian yang menyesakkan dada. Ladang-ladang tandus dan tanah yang merekah menjadi saksi bisu kegagalan panen yang telah melumpuhkan banyak keluarga. Kelaparan mulai menghantui setiap rumah, sedikit demi sedikit mengikis harapan yang tersisa.
Sebuah kereta kuda melaju menuju Austin Grange dengan kecepatan yang tak biasa. Di dalamnya, Duke Adam Dorian merenung dalam keheningan. Tawaran bantuan pangan yang baru saja ia berikan kepada Marquess William Austin bukan hanya soal kemanusiaan, melainkan tanda persahabatan yang telah terjalin lebih dari jumlah tahun yang bisa dihitung jari. Mereka memulai kisah persahabatan ini ketika berdiri tak gentar di medan perang, bersama-sama membela tanah air mereka dari invasi musuh.
"Duke Adam," suara Marquess William Austin terdengar lemah tetapi penuh tekad, "Bukan hanya nyawa saya yang Anda selamatkan. Anda juga menyelamatkan banyak nyawa penduduk Austin. Hari ini, saya tidak hanya menganggap Anda sebagai kawan, tapi sebagai tuan yang layak saya abdikan seluruh hidup saya."
Adam menatap sahabat lamanya, memahami setitik beban yang baru saja diucapkan. Persahabatan itu kini berubah menjadi janji setia, membawa perubahan besar pada hubungan mereka. Sebuah perubahan yang tak disadari akan menjadi awal dari banyak intrik dan kesetiaan yang diuji di masa depan.
…..
Ditemani putra semata wayangnya, Duke Adam Dorian mengawasi kinerja para bawahan yang sibuk memindahkan ratusan karung bantuan gandum dan bahan pangan lain dari kereta barang ke gudang penyimpanan Austin Grange. Ketelatenan mereka, ikut turun tangan langsung membantu rakyat membuat hati Marquess William tersentuh.
“Duke Adam, izinkan saya menjamu Anda dan putra Anda. Di rumah, istri saya sudah memasakkan beberapa sajian lezat untuk makan siang kita,” ajak Marquess William kepada Duke Adam.
Pemimpin Dorian Dukedom sekaligus pemilik pelabuhan terbesar di Benua Utama itu mengernyitkan dahinya sejenak, mempertimbangan ajakan beristirahat yang ditawarkan sang tuan rumah. “Kemurahan hatimu patut dipuji, William. Tentu saja aku mengizinkanmu menjamu kami. Sebuah kehormatan bisa menikmati masakan Marchioness.”
Senyuman lega mewarnai wajah lelah Marquess William. Setelah semua bantuan besar yang diterimanya dari sang sahabat, makan siang dengan menu terlezat adalah sebuah kesederhanaan yang nilainya tak seberapa. Sebagai pihak yang dibantu, setidaknya mereka harus sadar diri untuk membalas budi.
“Sander, kemarilah Nak!” panggil Duke Adam kepada putranya.
Dengan peluh yang bercucuran di dahi, Sander menyerahkan catatan pembukuan kepada asisten sebelum berlari menghampiri Duke Adam. “Anda memanggil saya?”
“Marquess William mengajak kita makan siang. Bersihkan dirimu dan segera bergabung bersama kami.”
“Saya mengerti.”
…..
Demi mengurangi hawa panas musim panas dan kemarau panjang tahun ini, Madam Anne memerintahkan para pelayan untuk membuka semua jendela rumah. Wanita itu berdoa supaya angin sejuk perbukitan segera datang, membebaskan mereka dari kegerahan yang menyiksa ini. Membayangkan tamu-tamunya duduk gelisah di meja makan membuatnya ikutan gelisah. Nama baiknya sebagai nyonya rumah sedang dipertaruhkan.
“Yang di tengah meja itu kalkun panggang?” tanya Duke Adam setibanya di ruang makan. Wajah antusiasnya menyenangkan hati Marquess William dan istrinya. “Sudah lama aku tidak makan kalkun panggang. Betulkan, Nak?”
Sander mengambil langkah maju, berdiri menyejajari Duke Adam. “Olahan kalkun jarang ditemui di Dorian, kecuali pada musim gugur.”
Pipi Madam Anne sontak merona mengetahui masakannya disambut baik. Ia merasa usaha kerasnya—ikut membantu juru masak di dapur—terbayarkan lunas meski tidak lazim bagi wanita bangsawan sepertinya melakukan sendiri pekerjaan rumah tangga.
“Duke Adam, mari kita nikmati makanan lezat ini selagi masih hangat,” seru Marquess William penuh semangat.
Jamuan makan siang di Austin Grange dimulai begitu Marquess William mempersilakan semua orang untuk duduk. Meja makan panjang berlapiskan taplak brokat berwarna gading dipenuhi banyak makanan yang ditata rapi, mulai dari kalkun panggang, kentang tumbuk, sayuran segar dengan saus, dan roti gandum buatan rumah. Di sudut meja, anggur merah terbaik yang disimpan khusus dari kebun anggur keluarga siap dituangkan ke gelas-gelas kristal.
Duke Adam menarik kursinya dengan anggun, dan Sander mengikuti di sebelahnya. Pembawaannya yang menawan menunjukkan kepatuhan seorang anak bangsawan yang diajarkan adab dan etiket sejak kecil. Marquess William dan Madam Anne duduk di sisi yang berlawanan. Para pelayan yang telah diinstruksikan dengan detail oleh nyonya rumah bergerak dengan cepat dan tanpa suara, memastikan setiap tamu mendapatkan porsi yang sesuai.
Suasana terasa tenang dan hangat, diselingi percakapan ringan di sela dentingan peralatan makan perak yang bersentuhan piring porselen. Angin sejuk diam-diam menyelinap dari jendela rumah yang terbuka, membawakan mereka aroma segar dari luar.
“Dagingnya lembut,” puji Duke Adam saat memotong hati-hati daging kalkun bagiannya. “Rasa bumbu rempahnya merata dan meresap sampai ke tulang. Keterampilan memasak Madam Anne sungguh luar biasa.”
Sander tampak mengamini pujian sang ayah. Untuk urusan kuliner, wilayah Austin memang yang nomor satu, kendati sebenarnya spesialisasi mereka di bidang pertanian. Banyak sekali rumah bangsawan Elinor yang mempekerjakan juru masak dari wilayah ini.
“Salah seorang kenalan saya di Akademi Kerajaan memberitahu bahwa juru masak di asrama adalah orang asli Austin. Pantas saja kantin asrama selalu ramai di jam makan. Anak-anak sering menyanjung masakannya.”
“Ngomong-ngomong tentang Akademi Kerajaan, aku dengar putrimu alumni sekolah itu, Marquess?” tanya Duke Adam kepada Marquess William.
“Benar, Duke. Putri saya, Cleo, telah lulus pendidikan tingkat tiga sekitar lima tahun yang lalu.”
“Di manakah dia sekarang? Sejak kedatanganku kemari, aku belum sekalipun melihat sosok putrimu.”
Marquess William bertukar pandang singkat dengan Madam Anne. “Maaf, Duke. Wajar jika Anda tidak melihat putri saya karena saat ini Cleo sedang berada di Ibu Kota.”
“Ah begitu rupanya.” Duke Adam mengambil kain serbet di pangkuan, menggunakan benda itu untuk mengelap bibir. Setelah selesai, ia meletakkannya di sisi kiri piring. “Bolehkan aku bertanya sesuatu tentang putrimu, William?”
Marquess William meminta para pelayan untuk mulai mengisi gelas-gelas mereka dengan anggur. “Silakan, Duke.”
“Lady Austin, apakah dia sudah bertunangan, atau mungkin, memiliki kekasih?” tanya Duke Adam lugas tanpa keraguan, yang mana sikapnya tersebut sukses mengejutkan semua orang di meja makan siang itu.
Madam Anne tersentak halus di kursinya, sedangkan Marquess William berusaha mengatur napasnya sebaik mungkin— demi mempertahankan ketenangan dan wibawanya di hadapan Duke Adam. “Untuk saat ini, Cleo belum bertunangan, Duke. Dan sepanjang pengetahuan saya, saya yakin putri saya masih lajang,” jawab Marquess William dengan jantung yang berdegup kencang. “Maaf jika saya kedengaran lancang, tetapi kenapa Anda tiba-tiba menanyakan status putri saya?”
Menyesap nikmat anggur yang telah disajikan pelayan, Duke Adam berdeham lirih, lalu menjelaskan maksud dari pertanyaan itu. “William, aku berniat menjodohkan putrimu dengan putraku, Sander. Sebentar lagi Sander lulus sekolah, dan aku ingin mencarikan pasangan yang pantas untuknya.”
Binar kemenangan terpancar dari mata Madam Anne saat menyadari keluarganya baru saja kejatuhan durian runtuh—putrinya mendapatkan lamaran dari keluarga paling terpandang di Elinor. Kedudukan Keluarga Dorian yang tinggi di kasta kebangsawanan dan kekayaan melipah yang tak akan habis hingga tujuh turunan, Madam Anne yakin hidup putrinya dipastikan makmur dan bahagia jika menikah dengan Lord Sander.
Duke Adam menaruh gelas anggurnya ke atas meja, menatap Marquess William dan Madam Anne bergantian. “Aku harap kalian bersedia mempertimbangkan usulanku ini. Tentu, aku tidak akan memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan oleh keluargamu. Namun, aku merasa ini adalah kesempatan yang baik untuk menguatkan hubungan antara keluarga kita.”
Marquess William mengangguk takzim. “Duke Adam, kami sangat tersanjung pada tawaran mulia ini. Keluarga Dorian adalah keluarga terhormat yang berpangaruh di Elinor, bahkan di Benua Utama. Namun, dengan segala kerendahan hati, kami harus mendiskusikan masalah ini bersama putri kami, Cleo. Sebagai orang tua, kami percaya, penting baginya untuk membuat keputusan hidupnya sendiri.”
Madam Anne, meskipun sudah sangat tergoda pada lamaran tersebut, sekuat tenaga menahan diri supaya tidak mempermalukan keluarganya. “Benar, Duke Adam. Cleo anak yang cerdas dan mandiri. Kami tidak ingin menerima sesuatu tanpa mendapatkan persetujuannya. Kami akan berbicara dengannya terlebih dahulu sebelum memberikan Anda jawaban.”
Sander, yang duduk tenang di samping ayahnya, memandang lurus ke depan dengan sikap santun. Anak itu memang tidak berkomentar banyak, tetapi mata rubinya menampilkan rasa ingin tahu yang besar. Terdidik dalam tata krama dan adat bangsawan, Sander akui jika bercakapan ini tak luput dari perhatiannya.
Duke Adam mengangguk paham, kemudian berkata dengan santai, “Tentu saja, aku menghormati keputusan keluargamu. Yang terpenting adalah kebahagiaan anak-anak kita. Aku percaya, jika Lady Austin memiliki kepribadian yang sama seperti yang kalian gambarkan, dia pasti membuat keputusan yang bijak.”
…..
…..Pagi berikutnya, Dorian Manor berdenyut dengan kesibukan yang khas bagi rumah bangsawan di musim sosial. Lorong-lorong penuh suara langkah para pelayan yang bergerak cepat dalam keheningan—sebuah keterampilan yang dilatih sejak hari pertama bekerja. Di antara mereka, kepala pelayan memeriksa daftar tugas, memastikan setiap vas bunga diganti sesuai jadwal, setiap peralatan perak dipoles, dan setiap kain pelapis kursi dibetulkan lipatannya. Di rumah bangsawan seperti ini, pagi hari bukan hanya awal hari, melainkan awal penampilan. Sebab setiap kunjungan tamu—bahkan yang tidak diundang—bisa menjadi ajang penilaian diam-diam terhadap tuan rumah.Di tengah arus kesigapan itu, Abby justru melangkah lebih lambat. Langkah gadis itu ringan, sikap tubuhnya tegak, dan matanya terus mengamati pergerakan Cleo Austin. Perintah Zelda Adler masih segar di kepalanya: Dekatilah Cleo. Aku ingin semua yang dia pikirkan sampai ke telingaku. Dan Abby, yang paham betul risiko menolak Zelda, tak punya pi
…..Selepas rapat mingguan terakhir bulan ini, Cleo Austin izin undur diri lebih awal dan menjadi orang pertama yang meninggalkan kantor badan amal. Ia menuruni satu per satu anak tangga bangunan plaza dengan langkah ringan. Topi musim semi yang dikenakannya tampak condong ke satu sisi, dihiasi pita kecil berwarna merah muda. Di tangan wanita itu, tampak sekotak beragam kue manis dari patisserie terbaik Dorian yang tadi dibelinya ketika istirahat siang .Cuaca sore itu sungguh bersahabat. Langit berwarna biru pucat tanpa dikotori segumpal awan. Begitu tiba di pelataran plaza, Cleo dibuat bingung oleh kehadiran sosok pria jangkung yang bersandar di sisi kereta. Pria itu mengenakan mantel abu-abu muda familiar, dan tak butuh waktu lama bagi Cleo untuk mengenalinya.“Lord Sander?” serunya pelan, setengah terkejut, setengah tersipu.Sander Dorian mengulurkan tangan, seulas senyum menggantung di bibirnya. “Tiba-tiba saja aku membayangkanmu mampir ke toko kue. Rupanya aku benar.”Cleo mener
…..Pemandangan salah satu taman di manor tampak meriah pagi ini. Deretan panjang meja dan kursi berenda tertata rapi di bawah naungan tenda. Pesta teh yang digelar oleh Keluarga Dorian tiap awal musim sosial selalu menjadi agenda bergengsi di kalangan bangsawan wilayah selatan. Kaum wanita mengenakan topi berbunga dan gaun terbaik mereka, sementara kaum pria mengganti jas suram mereka dengan warna cerah.Musim ini, Cleo-lah yang menjadi nyonya rumah, menggantikan peran mendiang ibu mertuanya, Duchess Victoria, untuk menyambut para tamu. Ia berdiri tenang, mengawasi jalannya acara sambil menyesap teh dari cangkir porselen. Mata para undangan, khususnya para wanita muda, tak henti memperhatikan sosoknya dari jauh.Gaun bergaya empire waist silhouette dari bahan sutra membalut tubuh Cleo dengan anggun. Mode pakaian wanita ini tengah populer selama beberapa musim terakhir di kalangan bangsawan. Garis pinggang yang tinggi—tepat di bawah payudara—memberikan kesan ringan dan feminin. Rambut
…..Cleo menggeram pelan seraya menggeliat ketika sentuhan ringan menyapu punggungnya. Ujung jemari Sander meluncur seperti angin di kulitnya yang terbuka sebagian, menelusuri lekuk tulang belikat hingga ke pinggang. Selimut linen berwarna gading yang membalut mereka hampir terjatuh ke lantai karena gerakan itu.“Sander…” desis Cleo setengah malas, setengah manja. “Saya butuh tidur. Kita baru saja sampai sore tadi.”Namun suaminya hanya terkekeh, tak mengindahkan peringatan halus itu. Dengan gerakan lembut penuh minat, ia menunduk dan mengecup bahu Cleo—sekilas, lalu sekali lagi, lebih lama. Napasnya hangat menyapu kulit istrinya, membuat Cleo menggigil pelan, tak sepenuhnya marah meski berusaha terlihat kesal.“Aku tidak bisa tidur,” bisik Sander. Suaranya serak dan berat.Cleo membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya yang masih setengah mengantuk kepada pria itu. Rambutnya yang terurai menempel lembut di pipi, dan sorot matanya mengabur oleh sisa kantuk. “Lord Sander, Anda belum
…..Ratu Shopie telah menetapkan jadwal ketat selama masa kehamilannya. Zelda tidak diperbolehkan menghadiri pesta dansa dan tidak diizinkan keluar tanpa pendamping resmi yang ditunjuk langsung oleh istana. Kebebasannya dirampas, dan kini, satu-satunya hiburan Zelda adalah menyapa para tamu lansia yang datang atas undangan sang ratu, mengajaknya bermain kartu, atau mengenang masa muda yang tidak pernah relevan dengannya.Sepanjang hari, Zelda hanya bisa tersenyum palsu sembari membelai perutnya yang mulai membuncit. Alden bahkan tidak tidur sekamar lagi dengannya. Sibuk. Terlalu banyak urusan parlemen, pertemuan diplomatik, dan persiapan kunjungan kenegaraan ke Anzoria untuk menjemput selir baru.Zelda gigit bibir, menahan rasa getir yang sudah berbulan-bulan mengendap. Seharusnya masa kehamilan seorang wanita menjadi momen paling berharga dalam hidupnya. Seharusnya ia dipuja, dimanjakan, dan dimuliakan. Bukankah ia sedang mengandung pewaris masa depan tahta Elinor?Sekarang, istana
…..Cleo Dorian duduk bersila di atas permadani, dikelilingi lautan kain satin, renda-renda tua, dan beberapa kotak penyimpanan yang dibuka setengah hati. Di depannya, tergelar beberapa potong gaun malam warna pastel yang sudah tidak ia pakai lebih dari dua musim. Gaun-gaun itu masih cantik, tetapi sebagian besar sudah ketinggalan tren.“Sudah waktunya kalian mendapatkan pemilik baru.”Kewalahan dengan banyaknya gaun yang terlantar, Cleo memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia terlihat membaca katalog kain dan busana yang didapatkannya dari rumah mode terkenal yang biasa menjadi langganan bangsawan. Mendadak, Cleo merasa tergoda untuk memborong beberapa karya mereka setelah melihat koleksi dari sketsa gaun musim dingin.Ketika asyik membolak-balikan halaman katalog, mata Cleo tak sengaja menangkap bayangan seorang gadis di ambang pintu.Abby.Pelayan muda itu mengenakan celemek abu pucat. Begitu menyadari Cleo sedang memandanginya, Abby yang sempat gelagapan akhirnya melangkah maju.