Setelah mandi dan menggosok bibirnya dengan sikat gigi untuk menghilangkan ingatannya tentang ciuman yang didapatkannya tadi malam, Lyara kembali menggeleng saat melihat pantulan wajahnya di cermin. Sungguh itu bukan ciuman pertamanya. Tapi bayang-bayang bibir hangat itu menyentuh bibirnya membut Lyara merasa putus asa.
Bibirnya yang sudah menganggur lebih dari tujuh tahun itu akhirnya disapa oleh orang tidak dikenal. Iya, Lyara tahu namanya. Tapi hanya itu. Ia tidak tahu apapun tentang Raja. Itu sama saja dengan ia tidak mengenalnya, bukan? Bukan tanpa alasan kenapa ia membiarkan dirinya sendiri selama ini. Tidak punya pacar, tidak ada gebetan. Bukan karena ia sok suci dengan tanpa berpacaran. Hanya saja semua kesibukannya membuatnya tidak memikirkan apapun selain bekerja mencari uang. Untuk biaya kuliahnya yang sebentar lagi akan selesai. untuk uang sekolah adiknya, Leora. Untuk kebutuhan Mama yang selalu ingin lebih. Juga mengumpulkan uang untuk operasi Ayah. Kuliahnya yang harus tertunda karena tidak ada biaya. Membuat Lyara belum lulus di usia yang menginjak dua puluh empat ini. Untunglah, ia sudah selesai menyusun skripsi. Tanggal sidangnya juga sudah ditentukan. Ia akan bisa secepatnya menyelesaikan pekerjaanya menjadi talent Lofou dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Ia ingin memakai bajunya sendiri saat bekerja. Ia ingin mengerjakan hal yang sudah ia pelajari. Ia ingin bekerja di tempat yang lebih baik. Bukan pekerjaan yang membuatnya harus menipu orang-orang. Lyara memang suka akting. Ia masuk kelas akting karena ia menyukainya. Tapi bayangan di kepalanya tentang akting bukanlah yang seperti ini. Bukan seperti yang dilakukannya selama ini. Lyara ingin bekerja memakai pakaian pilihannya sendiri. Ia sudah pernah bekerja dengan memakai seragam. Saat menjadi kurir pengantar makanan, saat menjadi pelayan di toko beauty, saat menjadi pelayan di sebuah gerai minuman boba, bahkan sekarang pun. Saat bekerja untuk Lofou, pakaiannya adalah pilihan Alina. Saat melihat orang-orang yang bekerja lainnya, Lyara senang sekali melihat berbagai style yang dipakai oleh orang-orang itu. Pakaian yang menjadi pilihan mereka hari itu. Pakaian yang memberi kesan siapa pemakainya. Tentu saja Lyara menyukai semua pakaian pilihan Alina. Sebagai penata gaya dan busana di Lofou, Alina adalah orang yang hebat. Lyara tidak pernah salah kostum saat datang ke setiap acara kliennya. Semua diperhitungkan dengan baik dan matang olehnya. Gaunnya, setelannya, tas dan sepatunya, Alina adalah yang terbaik untuk hal itu. Tapi ia juga ingin menjadi dirinya sendiri. Lyara menatap kembali pantulan dirinya di cermin. Kepalanya mengangguk. ini bukan saatnya meratapi nasib. Biar bagaimanapun, semua pekerjaannya baik yang sudah pernah dilakukannya sampai apa yang sedang dijalaninya sekarang. Semuanya sudah membawanya menjadi dirinya yang sekarang. Dan ia menyukai dirinya yang saat ini. Menjadi Lyara yang tidak pernah menyerah pada apapun. Meskipun ada satu atau dua hal yang membuatnya marah, membuatnya menangis, membuatnya sedih dan membuatnya merasa tidak punya harga diri seperti apa yang terjadi tadi malam. Ia selalu bisa bangkit kembali. Yang penting ia mendapatkan uang untuk biaya kuliahnya, untuk Leora, untuk Mama, juga untuk Ayah. Semuanya sudah cukup. “Kak, mau pergi lagi pagi-pagi gini?” Lyara berbalik, adiknya yang cantik dan masih kelas tiga SMA itu, Leora, baru bangun. Duduk di atas tempat tidur yang tadi malam mereka tempati bersama-sama. “Heem, aku ada kerjaan lagi pagi ini,” jawab Lyara. Ia kembali menatap cermin. Hanya tinggal mengoleskan lip tint dan make up-nya untuk hari ini selesai. “Ini hari minggu loh, kak. Kak Yara juga baru datang lewat tengah malem tadi kan?” Leora mengucek matanya sambil menggapai ponselnya dan melihat jam di layarnya, “Baru jam lima atuh, Kakak,” katanya kembali protes. Dengan senyum mengembang Lyara berdiri dan menghampiri Leora yang kembali bergelung di selimutnya. “Kamu yang harusnya cepet bangun. Udah siang,” jawabnya sambil menepuk pelan pipi adiknya itu. “Aku mau tidur sampai siang,” jawab Leora. “Anak gadis gak boleh gitu, Yora,” Lyara tersenyum jahil sebelum menarik selimut yang dipakai Leora. “Kakak!” Leora menggeram dan beringsut meraih selimutnya. “No! No! Bangun, Putri Tidur,” Lyara menggulung selimut dan menjauhkannya dari tempat tidur. “Aku Anna bukan Aurora,” erang Leora. Ia sekarang membuka matanya. Lyara tergelak, bisa-bisanya Leora protes dengan panggilan putri tidurnya. “Baiklah, Anna, meskipun hari ini bukan my coronation day, tapi kamu harus bangun. Jangan sampe ketemu Hans,” katanya sambil lalu. Ia beranjak dari tempat tidur dan meraih sisir di meja rias. “Aku harus ketemu Hans dulu sebelum terpesona sama Kristoff, Kak,” Leora masih menjawabnya. Melihat Lyara yang melepaskan selimutnya, Leora tersenyum dan kembali membentangkan selimut. “Jadi, aku harus kesiangan,” lanjutnya sambil mencebikkan bibirnya. Lyara menggeleng menatap adiknya yang sudah kembali menutup matanya. Tangannya sekarang merapikan rambutnya dan membuat gelungan. Selesai merapikan rambutnya, Lyara sudah siap untuk kembali pada pekerjaannya. Pagi ini, ia punya jadwal untuk kembali menemani kliennya. Ucapannya pada Raja tadi malam bukan bualan. Jadwalnya memang padat. Tapi bukan hanya tentang pekerjaannya sebagai pacar bayaran. Ia juga punya kehidupan lain. Lyara juga baru selesai dalam menyusun skripsinya. Sebetulnya ia baru kembali menerima banyak klien setelah menyelesaikan tugas akhirnya itu. Waktunya banyak tersita, karena itu ia sempat libur beberapa waktu sebelum kembali menyanggupi pekerjaannya. Jika bukan karena uang yang dikumpulkannya untuk operasi Ayah dipakai Mama untuk membeli satu tas itu, Lyara berniat untuk menunda pekerjaan sampai sidang minggu depan. Tapi Mama memang tidak bisa terlepas dari hidup mewahnya dulu. Meskipun ia sudah memintanya berulang kali selama enam tahun ini. Setelah menutup kembali pintu kamar Leora, ia mengetuk pintu kamar Ayah. Terdengar suara Ayah dari dalam dan Lyara membuka pintunya. “Selamat pagi Ayah ganteng,” sapanya dengan ceria. Di dalam kamar itu ada dua kasur singel size. Satu milik Mama, satu lagi milik Ayah. Mama bilang tidak mau tidur bareng ayah lagi sejak pindah kemari. Meskipun begitu, Mama masih mau mengurus Ayah. Dengan janji bahwa Lyara akan memenuhi keinginan Mama. Itulah sebabnya ia bekerja apa saja yang bisa dikerjakannya. Karena Mama yang bersedia mengurus Ayah. “Sttt, Mamamu masih tidur,” ucap Ayah dengan bisikan saat Lyara masuk. Lyara melihat Mama yang masih bergelung dalam selimutnya. Ia tidak bisa menyalahkan mama dalam situasi seperti ini. Meski dengan susah payah, ia juga bisa memahami Mama. Saat masih gadis, Mama adalah anak dari seorang juragan tembakau. Menikah dengan Ayah dalam masa keemasan Ayah. Hidupnya selalu dalam kemewahan. Tapi saat Ayah terlibat dalam sebuah kecelakaan, perusahaannya yang dipegang temannya kolaps, dan bangkrut menyisakan banyak hutang. Kehidupan Mama berubah dalam sekejap. Lyara mengangguk dan duduk di samping tempat tidur Ayah. “Aku udah bikin sarapan. Minum dan sarapan ayah udah aku simpan di kursi ayah. Oke?” katanya dalam bisikan. Ayah mengangguk, “Kamu mau pergi lagi?” “Heem, aku ada kerjaan lagi pagi ini, Yah,” jawab Lyara. “Maafkan ayah karena membuat kamu kesulitan, Yara,” Ayah berkata kembali dalam bisikannya. Tidak mau membuat Mama terbangun. Lyara menggeleng. Setelah menjalaninya selama enam tahun ini, ia sudah terbiasa dengan semuanya. Saat pulang ke rumah, ia harus membereskan semua hal. Mulai dengan mencuci piring, mencuci baju, membereskan baju yang sudah kering, memasak, dan menyapu juga membereskan rumah. Setelah berkutat dengan pekerjaan berisik di luar, setidaknya membereskan rumah dalam keheningan malam membuat kepalanya diam. Mama memang berjanji mengurus ayah, tapi tidak dengan mengurus rumah dan semuanya. Leora sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Jadi ia tidak mencemaskan adiknya. Hanya Ayah yang masih harus ia cemaskan. Dan Mama santai mengurus dirinya sendiri. “Aku harus melakukannya, Ayah. Aku anak paling tua. Aku harus bertanggung jawab pada keluarga,” jawab Lyara. Masih dengan bisikan yang sama. “Ayah berhutang banyak kepadamu, Nak,” jawab Ayah. “Tidak, Ayah. Selama delapan belas tahun ayah sudah memberikan semua yang aku mau. Aku bekerja bahkan belum ada setengah dari semua waktu yang ayah berikan sama aku,” Lyara menepuk pelan punggung tangan Ayah. Ayah menggenggam tangan putrinya itu dengan erat. Ponsel Lyara bergetar dalam tasnya. Ia membukanya dan melihat nama Rakha. Keningnya berkerut, jarang sekali lelaki itu menghbunginya pagi-pagi seperti ini. Apakah ia sudah membaca laporannya? Bagus sekali! Lyara mengulurkan tangan dan mencium tangan Ayah, “Aku harus berangkat, Yah. Aku pamit, ya,” katanya sambil menekan ikon berwarna merah. “Berisik ih, kalian gak bisa gak sih gak ngobrol dulu pagi-pagi kayak gini?!” suara serak Mama terdengar. Lyara saling berpandangan dengan Ayah lalu tersenyum, “Maaf, Mah. Lyara pergi sekarang,” katanya meminta maaf. Ayah mengangguk saat Lyara berjalan ke pintu dan melambaikan tangan padanya. Setelah menutup lagi pintu, Lyara kembali melihat ponselnya yang berkedip, pesan dari Rakha. [Rakha : Ra, lo tau udah dapet peringatan, kan? Kok masih barbar banget?] Lyara menatap ponselnya dengan marah. -o0o-Mata Raja melirik ke sekitar saat tidak melihat Lyara di tempatnya berdiri tadi. Lalu ia menemukannya, Lyara yang sedang duduk di meja yang sama dengan dimana Dinda berada. Sudut bibirnya kembali tertarik dan mengangguk, ia kembali menoleh pada lelaki tua di depannya dan dengan lebih lega menjawab basa-basi yang akan menguntungkannya ini.Lyara juga bisa melihatnya, Raja yang menoleh kembali pada lawan bicaranya di sana. Ia tersenyum dan kembali menatap seorang perempuan yang lebih tua darinya. Maira adalah orang yang punya Kukupu Atire, kebaya pernikahan Lyara dibuat olehnya. Ia juga adalah istri dari pemilik The Palace, mall tempat Lyara bertemu dengan Raja saat face painting dulu. Raja dan Dharma, suami Maira, adalah saudara sepupu.“Kak Raja itu kakak sepupu suamiku, Ra, kita pernah ketemu waktu kalian menikah,” ucapnya dengan suara yang lembut, seperti yang di katakannya, mereka memang pernah bertemu saat acara di Bali ataupun acara resepsi.Kepala Lyara mengangguk, “Iya, aku ing
Pikirannya kembali mengingat saat Leora bertanya tadi pagi selagi ia menutup mata membiarkan dirinya dirias. Pertanyaan Leora yang tepat sasaran membuat Lyara terpingkal sendirian. Ia tidak bisa berkata lantang, “Ya! Benar sekali!” tapi malah tertawa sampai air matanya merembes dari ujung mata.“Yang bener aja, Yora! Kamu kebanyakan nonton dracin, ah,” jawab Lyara akhirnya.Tapi ternyata adiknya benar-benar menantikan jawabannya. Melihat itu, Lyara berdeham lalu menatap Leora tak kalah serius, “Kalau itu yang melintas di kepala kamu, coba sebutkan keuntungan apa yang Mas Raja dapatkan dari aku? Dari keluarga kita?”Leora mengedip.“Gak ada. Bisnis ayah bangkrut, aku cuma pecundang yang gak bisa membantu apa-apa untuk ayah. Untuk menyelamatkan perusahaan, menyelamatkan pabrik. Aku gak semenguntungkan itu untuk Mas Raja, Yora. Aku gak bisa membuat diriku berguna seperti Dinda mantannya itu,” jelas Lyara dengan lembut. Dirinya benar-benar merasa sangat rendah.Tangan Leora melingkar meme
Lagi-lagi. Lyara tidak bisa tidur. Padahal ia sudah mengabari Leora dan Mama bahwa mereka bisa pergi jalan-jalan hari minggu nanti. Ia juga sudah berbaikan dengan Raja tadi pagi. Ia juga tidak melupakan apapun dan tidak melakukan kesalahan apa-apa hari ini. Tapi kepalanya berisik. Ia tidak bisa tidur jika kepalanya terus berisik seperti itu.Sekali lagi, Lyara menutup matanya dan menarik napas dengan tenang. Tapi tetap saja. Ia tidak bisa. Ia—“Yara?”Tubuh Lyara tersentak saat tangan Raja menyentuh pundaknya. Saat Raja memanggil namanya. Seperti reaksinya yang sudah-sudah, Lyara akan langsung bangun duduk, mengepalkan tangan dan menahannya menjadi pelindung di depan dadanya. Jantungnya beredebar, ketakutan menguasainya lagi. Matanya mengerjap. Itu Raja. Itu lelakinya. Itu suaminya. Bukan siapa-siapa. Bukan orang kurang ajar yang sudah menyentuhnya.Kepala Lyara mengangguk saat suara di kepalanya menyadarkannya kembali.Pandangannya kembali fokus dan ia bisa melihat bagaimana Raja me
Benar saja. Sampai alarm berbunyi pukul empat, Lyara membuka mata yang tidak bisa terlelap. Sedangkan Raja yang baru tiga jam lalu masuk ke kamar dan berbaring di sampingnya terdengar tidur dengan pulas. Bangun tidurnya kali ini bertambah berat, karena lagi-lagi hari ini ia tidak punya kegiatan apa-apa. Hari ini ia sudah tidak bertemu dengan Kamara. Juga dengan Raja yang marah padanya, rasanya melelahkan.Lyara menghela napas, ia baru akan melepaskan selimut saat tangan Raja melingkar di perutnya dan menariknya dengan mudah ke dalam pelukan lelaki itu. Lyara tidak berdaya menolak, karena selain kaget dengan aksi tiba-tiba itu, tangan kekar Raja benar-benar kuat dan tidak bisa ditolak dengan tubuh mungilnya.“Karena kamu aku gak bisa tidur,” kata lelaki itu dengan suara serak.Lyara mengerjap, “Mas pulas, kok,” sanggahnya,“Aku hanya berusaha bernapas dengan tenang,” jawab Raja, “Kamu yang cemas semalaman,” lanjutnya.Tidak bisa membantah, karena memang itu nyatanya, Lyara menutup mulu
Tangan Raja mengulur pada Lyara yang masih duduk di sampingnya dan disambut Lyara dengan riang. Keduanya kembali berjalan sambil bergandengan tangan. Setelah magrib tadi, Raja menawarkan jalan-jalan malam dengannya. Tanpa ragu, Lyara segera mengiyakan ajakan itu. Sekarang, setelah makan malam bersama di salah satu omakase favorit Rania yang direkomendasikan pada mereka, mereka berjalan bersama mengelilingi taman di rooftop mall. “Apakah Dinda yang melakukannya?” Lyara mencoba mencari tahu. “Apa?” Tanya Raja sambil menoleh pada Lyara. “Yang Mas bicarakan dengan Kakek tadi sore,” jawab Lyara. Raja mengangguk setelah mencari maksud pertanyaan Lyara, “Kami terlibat beberapa proyek bersama. Tapi karena pernikahan itu gagal, Dinda membalasnya dengan sangat baik,” jawab Raja. “Bukankah Dinda yang selingkuh?” “Tidak peduli siapa yang lebih dulu, Dinda tetap dendam karena kita menikah,” jawab Raja.“Mas yakin aku tidak perlu melakukan apapun untuk bisa membantu? Aku mungkin bisa minta to
“Ada Kamara,” ucap Lyara pelan, melerai kedua lelaki dewasa yang sekarang sedang saling serang itu. Tangan Lyara terulur, meminta Kamara, “Karena udah ada Mas Raja, Kak Satria juga masuk dulu, yuk?” ajaknya sambil menggendong Kamara yang menurut.“Aku masih ada jadwal lain dengan Kamara, Ra,” tolak Satria pelan.Lyara manyun dan menatap Kamara di gendongannya. “Gak ada waktu tambahan main, Amara.”“Anti kita bisa main agi, Tate Yaya,” jawab Kamara dengan tangan menepuk-nepuk pundak Lyara.Sambil tertawa dengan jawaban Kamara, Lyara membawanya ke dalam pelukannya sekali lagi. “Kalau gitu, sampai ketemu lagi nanti ya?”Kamara mengangguk.Satria mengulurkan tangan dan meraih tubuh mungil Kamara, Lyara sekali lagi mengusap kepala Kamara. Raja melihat Lyara dengan senyuman kecil. Satria menoleh pada Raja dan berpamitan, “Gue pamit,” katanya, ia menambahkan sebelum berbalik ke mobilnya, “Kayaknya nanti Kamara yang akan lebih sering kesini.”Anggukan Lyara menjawab Satria, “Aku akan nunggu Ka