Share

Bab 5

RACUN UNTUK MADUKU

BAB 5

Sandiwara dimulai

Jam menunjukan angka tiga tepat. Aku yang sudah berada di rumah lantas membersihkan rumah seperti biasa. Meskipun tidak aku pungkiri. Ada nyeri di dalam hati ini.  Namun, hidup akan terus berjalan, mengenai luka yang ditoreh Mas Ilham akan aku biarkan dia terus terbuka. Agar aku selalu mengingat, ada hati yang berlubang karena lelaki itu.

Aku membersihkan debu yang ada di lantai dengan vacuum cleaner. Mengelap meja lalu juga jendela. Sesekali aku menghela nafas panjang. Berharap semua yang aku hadapi saat ini hanya mimpi. Namun, lagi-lagi semua nyata. 

Tuling ….

Sebuah pesan masuk, segera aku meletakan kain lap di atas meja.

[Ma, Randy terlambat pulang. Mungkin jam lima baru tiba di rumah. Ada pekerjaan sekolah yang harus diselesaikan bersama.] Satu pesan aku baca, tertera di sana dari Rendy. Anak lelaki satu-satunya yang aku miliki.

[Iya, sayang. Hati-hati. Kabari jika sudah selesai. Mama akan menjemputmu!]

[Siap, Ma.]

Aku kembali meletakan benda pipih itu kedalam saku celana. Lalu fokus pada jendela yang baru saja aku lap. Setelah selesai aku berjalan menuju dapur. Kembali memeriksa ponsel namun tidak ada panggilan dari Mas Ilham. Ya Tuhan, apakah pergulatan panas antara mereka belum juga usai?

Pikiranku terus meracuniku, bayangan menjijikan itu terus saja terlintas di benakku. Seakan masih terekam jelas di memori.

Aku kembali menghela napas panjang  lalu membuangnya perlahan, haruskah aku menghubungi Mas Ilham? Ah, rasanya tidak ingin aku mendengar suara lelaki itu.

Aku segera membuka kulkas, mencari tahu bahan apa saja yang bisa aku masak. Mengeluarkan telur tempe dan juga sayuran. Tidak lupa daging yang sudah aku beli beberapa hari lalu.

Meskipun Mas Ilham sudah bertindak sejauh itu, namun aku masih setia melayani. Karena tugasku sebagai istri hanyalah melayani suami dan juga anak. Terlebih jika dia berkhianat, salahkan lelaki itu bukan aku! Bukan aku yang tidak pandai menjaga hati dan juga tubuh ini. Tapi aku terlalu sibuk mengurus mereka hingga lupa mengurus diriku sendiri. 

Aku menoleh pada jam yang melingkar pada dinding. Jarinya menunjukan angka empat lebih lima belas menit. Cukup jika digunakan untuk memasak.

Tin ….

Suara deru mobil terdengar berhenti di halaman rumah. Aku yang tengah mengaduk masakan tidak sempat melihat siapa yang datang. 

"Assalamualaikum," salam terdengar dari balik pintu.

Ceklek 

"Waalaikumsalam," jawabku, pandanganku seketika menoleh ke arah sumber suara. Rendy yang baru saja tiba berjalan menghampiri, diletakkannya tas pada meja makan. Lalu Rendy menyeret kursi kemudian menjatuhkan bokongnya di sana.

 "Halo Ma. Mama ngapain?"

"Masak sayang, kan papa pulang. Lho kok kamu sudah pulang? Diantar siapa?"

Rendy tidak menjawab, justru ia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Ada apa? Ada masalah?" tanyaku khawatir. Terlihat wajah putraku itu terlihat masam.

"Mama baik-baik saja?" Rendy kembali bertanya. Memastikan aku dalam keadaan baik.

"Iya sayang. Mama oke kok. Kamu tenang saja." Aku menutupi tangisku dengan senyuman. Menutupi lukaku dengan wajah berseri. Jangan sampai Rendy menjadi korban keegoisanku.

"Ma …."

Aku mengangguk, memberi isyarat bahwa aku bisa menjalani semuanya. Aku tahu Rendy sudah beranjak remaja. Dia tahu apa artinya patah hati dan terluka. Wajar jika menanyakan keadaanku saat ini. Terlebih kemarin dia melihat tangisku.

Deru mobil milik Mas Ilham terdengar memasuki pekarangan rumah. Aku yang tengah mengaduk masakan akhirnya mematikan kompor. Mengecilkan api yang menyala di lubang kompor yang lain.

"Rendy mandi dulu, Ma."

"Iya, sayang. Nanti setelah sholat magrib kita makan malam bersama ya!" pintaku pada Rendy. Hanya dibalas dengan anggukan olehnya.

Aku melepas celemek yang menempel pada tubuh bagian depan. Meletakkannya di atas meja makan lalu berjalan menuju pintu utama. 

Ceklek.

Aku membuka pintu, wajah dengan rahang  tegas dengan juga jambang tipis itu terlihat berdiri dibalik pintu. Tersenyum sembari tangan membawa buket bunga. Ya Tuhan, apakah dia benar-benar melakukan ini semua demi cinta? Atau hanya menutupi kesalahannya?

"Assalamualaikum, Sayang." Tangan lelaki itu tangannya terbuka lebar. Biasanya aku langsung menghamburkan pelukan padanya. Namun kali ini berbeda. Aku hanya tersenyum lalu mencium tangannya dengan takzim. Meskipun aku melihat Mas Ilham juga terkejut dengan perubahanku. Namun ya sudahlah, tidak aku pungkiri bersikap biasa saja. Dan berpura-pura tidak tahu apa-apa itu begitu sulit. 

"Waalaikumsalam, Mas. Kok sudah tiba dirumah? Katanya habis magrib?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku menerima buket bunga itu lalu mencium aromanya. Buket bunga mawar berwarna merah itu begitu cantik. 

"Iya, nggak papa. Sengaja, habis aku sudah kangen sama istriku tercinta ini," ucap lelaki yang bergelar suami itu. Tangannya lantas merangkul pinggangku dan membawa tubuhku jatuh pada pelukannya. Biasanya aku akan menghadiahinya dengan kecupan hangat pada bibir. Namun tidak untuk saat ini. Aku mencoba menghindari sentuhan lelaki itu.

"Kalau begitu, kamu mandi dulu ya, Mas. Aku siapin air hangat dulu. Habis itu kita makan malam bersama."

Terlihat wajah Mas Ilham berubah. Dia mengangguk lantas mengikutiku berjalan di belakang.

Aku berjalan lebih dulu menuju dapur. Meletakan buket bunga diatas meja lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang tadi. 

Setelah itu aku menyiapkan air hangat untuk Mas Ilham mandi. Tentu saja dia harus mandi. 

"Makasih, sayang." Lagi-lagi aku hanya tersenyum tanpa berniat menjawab. 

Makan malam sudah siap. Di meja tertata rapi beberapa menu. Ada SOP daging hingga tempe mendoan. Mas Ilham turun dari tangga sedangkan Rendy keluar dari kamarnya. Tatapan anak dan juga ayah itu bertemu. Membuat Rendy terkejut bukan main.

"Papa …." Rendy menghamburkan pelukannya pada lelaki yang bergelar Ayah itu.

"Apa kabar kamu, Rendy?"   tanya Mas Ilham membuat Rendy tersenyum.

"Baik, Pa." 

"Papa nggak lihat kamu beberapa hari sepertinya kamu kurusan?" sapa Ilham sembari memperhatikan tubuh Rendy dari atas hingga bawah. 

"Apa Mama nggak pernah masak?" Ilham terkekeh. Membuat Rendy melirik ke arahku. Aku pun hanya tersenyum kecut.

"Rendy sengaja hanya makan sedikit, Pa."

"Gimana sekolah kamu?" tanya Mas Ilham. Aku lantas menyiapkan nasi diatas piring lelaki itu. Mengambilkan beberapa lauk diatasnya. Lalu beralih pada Rendy.

"Cukup, Ma," pinta Rendy ketika melihat aku menuangkan nasi diatas piring untuknya.

"Baik Pa, lancar. Kerjaan papa gimana?" Kini giliran Rendy yang bertanya. Mas Ilham memasukan sendok ke dalam mulut sebelum menjawabnya. 

"Semuanya lancar, kalau kamu gimana Ma? Setelah papa pergi Mama ngapain saja di rumah?"

"Ha?" tanyaku spontan. Karena jujur aku tidak memperhatikan.

"Mama di rumah Pa, seperti biasa. Mengurus Rendy, membersihkan rumah. Apalagi? Mama selalu demikian." Rendy yang menjawab pertanyaan papanya.

Aku tersenyum, benar apa yang dikatakan Rendy. Aku tidak melakukan kegiatan yang lain selain membersihkan rumah. 

"Pa, kamu nginep di hotel mana?" tanyaku sengaja. Ingin tahu apa reaksi lelaki itu.

Uhuk … uhuk.

Benar saja, lelaki itu gelagapan. Dia panik menjawab apa. Hingga asal saja berbicara.

"Hotel? Ow, penginapan. Biasalah, Ma. Diurus sama kantor." Mas Ilham terlihat lebih tenang. 

Aku mengangguk lantas kembali melanjutkan makan malamku seperti biasa. 

Setelah selesai makan malam Rendy masuk kedalam kamarnya. Lalu aku membereskan meja. Tentu ditemani Mas Ilham. Namun nampaknya dia tengah fokus pada ponselnya. Hingga tidak menyadari bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Sesekali lelaki itu tersenyum menatap layar yang menyala. Aku yakin dia tengah berbalas pesan dengan gundiknya.

Brak.

Aku sengaja meletakan piring sedikit kasar. Agar lelaki itu menyadarinya. Benar saja Mas Ilham meletakan ponselnya lalu mendekatiku. Memelukku dari belakang. Nafasnya terasa hangat ditelingaku.

"Ma, kamu cantik sekali malam ini."

"Maaf, Mas. Aku lagi berhalangan." Aku melepas tangan Mas Ilham yang tengah memelukku. Terlihat jelas wajah Mas Ilham menunjukan kekecewaan. Maaf, Mas. Namun untuk melayanimu diatas ranjang. Sepertinya aku belum siap. 

****

Rendy keluar dari kamarnya, tentunya dengan pakaian seragam seperti biasa. Dia berjalan perlahan menuju aku yang tengah sibuk menyiapkan bekal. 

"Pagi, Ma, Pa."

"Pagi, Ren."

"Ma, ini kan hari Sabtu. Rendy mau nginep dirumah teman. Boleh?"

"Siapa?" tanya Mas Ilham. 

"Biasa, Pa. Bian."

"Oh …." Mas Ilham menjawab. Sembari tangannya mengambil secangkir kopi.

"Iya, boleh. Tapi ingat, jangan malam-malam tidurnya, oke!"

"Siap Ma."

Rendy berjalan lebih dulu menuju mobil, sedangkan aku masih berada di meja makan memperhatikan Mas Ilham.

"Papa nggak mau antar Rendy ke sekolah?" tanyaku.

"Nggak ah, Ma. Papa capek. Mama saja."

"Capek kerja malam terus ya?" tanyaku sembari berlalu.

"Maksud Mama apa?" Mas Ilham menatapku. Netra laki-laki itu terus mengawasi.

"Aku antar Rendy dulu, Pa. Assalamualaikum," ucapku sembari menyelipkan rambut di belakang telinga. 

Tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
umur mu lebih tua dari suami tapi gaya mu kayak anak kecil. udah basi gaya sampah mu dg drama murahan mu. pantas kamu diselingkuhi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status