Share

Bab 5

Author: Pena_kinan
last update Last Updated: 2022-11-07 20:48:23

RACUN UNTUK MADUKU

BAB 5

Sandiwara dimulai

Jam menunjukan angka tiga tepat. Aku yang sudah berada di rumah lantas membersihkan rumah seperti biasa. Meskipun tidak aku pungkiri. Ada nyeri di dalam hati ini.  Namun, hidup akan terus berjalan, mengenai luka yang ditoreh Mas Ilham akan aku biarkan dia terus terbuka. Agar aku selalu mengingat, ada hati yang berlubang karena lelaki itu.

Aku membersihkan debu yang ada di lantai dengan vacuum cleaner. Mengelap meja lalu juga jendela. Sesekali aku menghela nafas panjang. Berharap semua yang aku hadapi saat ini hanya mimpi. Namun, lagi-lagi semua nyata. 

Tuling ….

Sebuah pesan masuk, segera aku meletakan kain lap di atas meja.

[Ma, Randy terlambat pulang. Mungkin jam lima baru tiba di rumah. Ada pekerjaan sekolah yang harus diselesaikan bersama.] Satu pesan aku baca, tertera di sana dari Rendy. Anak lelaki satu-satunya yang aku miliki.

[Iya, sayang. Hati-hati. Kabari jika sudah selesai. Mama akan menjemputmu!]

[Siap, Ma.]

Aku kembali meletakan benda pipih itu kedalam saku celana. Lalu fokus pada jendela yang baru saja aku lap. Setelah selesai aku berjalan menuju dapur. Kembali memeriksa ponsel namun tidak ada panggilan dari Mas Ilham. Ya Tuhan, apakah pergulatan panas antara mereka belum juga usai?

Pikiranku terus meracuniku, bayangan menjijikan itu terus saja terlintas di benakku. Seakan masih terekam jelas di memori.

Aku kembali menghela napas panjang  lalu membuangnya perlahan, haruskah aku menghubungi Mas Ilham? Ah, rasanya tidak ingin aku mendengar suara lelaki itu.

Aku segera membuka kulkas, mencari tahu bahan apa saja yang bisa aku masak. Mengeluarkan telur tempe dan juga sayuran. Tidak lupa daging yang sudah aku beli beberapa hari lalu.

Meskipun Mas Ilham sudah bertindak sejauh itu, namun aku masih setia melayani. Karena tugasku sebagai istri hanyalah melayani suami dan juga anak. Terlebih jika dia berkhianat, salahkan lelaki itu bukan aku! Bukan aku yang tidak pandai menjaga hati dan juga tubuh ini. Tapi aku terlalu sibuk mengurus mereka hingga lupa mengurus diriku sendiri. 

Aku menoleh pada jam yang melingkar pada dinding. Jarinya menunjukan angka empat lebih lima belas menit. Cukup jika digunakan untuk memasak.

Tin ….

Suara deru mobil terdengar berhenti di halaman rumah. Aku yang tengah mengaduk masakan tidak sempat melihat siapa yang datang. 

"Assalamualaikum," salam terdengar dari balik pintu.

Ceklek 

"Waalaikumsalam," jawabku, pandanganku seketika menoleh ke arah sumber suara. Rendy yang baru saja tiba berjalan menghampiri, diletakkannya tas pada meja makan. Lalu Rendy menyeret kursi kemudian menjatuhkan bokongnya di sana.

 "Halo Ma. Mama ngapain?"

"Masak sayang, kan papa pulang. Lho kok kamu sudah pulang? Diantar siapa?"

Rendy tidak menjawab, justru ia menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Ada apa? Ada masalah?" tanyaku khawatir. Terlihat wajah putraku itu terlihat masam.

"Mama baik-baik saja?" Rendy kembali bertanya. Memastikan aku dalam keadaan baik.

"Iya sayang. Mama oke kok. Kamu tenang saja." Aku menutupi tangisku dengan senyuman. Menutupi lukaku dengan wajah berseri. Jangan sampai Rendy menjadi korban keegoisanku.

"Ma …."

Aku mengangguk, memberi isyarat bahwa aku bisa menjalani semuanya. Aku tahu Rendy sudah beranjak remaja. Dia tahu apa artinya patah hati dan terluka. Wajar jika menanyakan keadaanku saat ini. Terlebih kemarin dia melihat tangisku.

Deru mobil milik Mas Ilham terdengar memasuki pekarangan rumah. Aku yang tengah mengaduk masakan akhirnya mematikan kompor. Mengecilkan api yang menyala di lubang kompor yang lain.

"Rendy mandi dulu, Ma."

"Iya, sayang. Nanti setelah sholat magrib kita makan malam bersama ya!" pintaku pada Rendy. Hanya dibalas dengan anggukan olehnya.

Aku melepas celemek yang menempel pada tubuh bagian depan. Meletakkannya di atas meja makan lalu berjalan menuju pintu utama. 

Ceklek.

Aku membuka pintu, wajah dengan rahang  tegas dengan juga jambang tipis itu terlihat berdiri dibalik pintu. Tersenyum sembari tangan membawa buket bunga. Ya Tuhan, apakah dia benar-benar melakukan ini semua demi cinta? Atau hanya menutupi kesalahannya?

"Assalamualaikum, Sayang." Tangan lelaki itu tangannya terbuka lebar. Biasanya aku langsung menghamburkan pelukan padanya. Namun kali ini berbeda. Aku hanya tersenyum lalu mencium tangannya dengan takzim. Meskipun aku melihat Mas Ilham juga terkejut dengan perubahanku. Namun ya sudahlah, tidak aku pungkiri bersikap biasa saja. Dan berpura-pura tidak tahu apa-apa itu begitu sulit. 

"Waalaikumsalam, Mas. Kok sudah tiba dirumah? Katanya habis magrib?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku menerima buket bunga itu lalu mencium aromanya. Buket bunga mawar berwarna merah itu begitu cantik. 

"Iya, nggak papa. Sengaja, habis aku sudah kangen sama istriku tercinta ini," ucap lelaki yang bergelar suami itu. Tangannya lantas merangkul pinggangku dan membawa tubuhku jatuh pada pelukannya. Biasanya aku akan menghadiahinya dengan kecupan hangat pada bibir. Namun tidak untuk saat ini. Aku mencoba menghindari sentuhan lelaki itu.

"Kalau begitu, kamu mandi dulu ya, Mas. Aku siapin air hangat dulu. Habis itu kita makan malam bersama."

Terlihat wajah Mas Ilham berubah. Dia mengangguk lantas mengikutiku berjalan di belakang.

Aku berjalan lebih dulu menuju dapur. Meletakan buket bunga diatas meja lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang tadi. 

Setelah itu aku menyiapkan air hangat untuk Mas Ilham mandi. Tentu saja dia harus mandi. 

"Makasih, sayang." Lagi-lagi aku hanya tersenyum tanpa berniat menjawab. 

Makan malam sudah siap. Di meja tertata rapi beberapa menu. Ada SOP daging hingga tempe mendoan. Mas Ilham turun dari tangga sedangkan Rendy keluar dari kamarnya. Tatapan anak dan juga ayah itu bertemu. Membuat Rendy terkejut bukan main.

"Papa …." Rendy menghamburkan pelukannya pada lelaki yang bergelar Ayah itu.

"Apa kabar kamu, Rendy?"   tanya Mas Ilham membuat Rendy tersenyum.

"Baik, Pa." 

"Papa nggak lihat kamu beberapa hari sepertinya kamu kurusan?" sapa Ilham sembari memperhatikan tubuh Rendy dari atas hingga bawah. 

"Apa Mama nggak pernah masak?" Ilham terkekeh. Membuat Rendy melirik ke arahku. Aku pun hanya tersenyum kecut.

"Rendy sengaja hanya makan sedikit, Pa."

"Gimana sekolah kamu?" tanya Mas Ilham. Aku lantas menyiapkan nasi diatas piring lelaki itu. Mengambilkan beberapa lauk diatasnya. Lalu beralih pada Rendy.

"Cukup, Ma," pinta Rendy ketika melihat aku menuangkan nasi diatas piring untuknya.

"Baik Pa, lancar. Kerjaan papa gimana?" Kini giliran Rendy yang bertanya. Mas Ilham memasukan sendok ke dalam mulut sebelum menjawabnya. 

"Semuanya lancar, kalau kamu gimana Ma? Setelah papa pergi Mama ngapain saja di rumah?"

"Ha?" tanyaku spontan. Karena jujur aku tidak memperhatikan.

"Mama di rumah Pa, seperti biasa. Mengurus Rendy, membersihkan rumah. Apalagi? Mama selalu demikian." Rendy yang menjawab pertanyaan papanya.

Aku tersenyum, benar apa yang dikatakan Rendy. Aku tidak melakukan kegiatan yang lain selain membersihkan rumah. 

"Pa, kamu nginep di hotel mana?" tanyaku sengaja. Ingin tahu apa reaksi lelaki itu.

Uhuk … uhuk.

Benar saja, lelaki itu gelagapan. Dia panik menjawab apa. Hingga asal saja berbicara.

"Hotel? Ow, penginapan. Biasalah, Ma. Diurus sama kantor." Mas Ilham terlihat lebih tenang. 

Aku mengangguk lantas kembali melanjutkan makan malamku seperti biasa. 

Setelah selesai makan malam Rendy masuk kedalam kamarnya. Lalu aku membereskan meja. Tentu ditemani Mas Ilham. Namun nampaknya dia tengah fokus pada ponselnya. Hingga tidak menyadari bahwa aku memperhatikannya sedari tadi. Sesekali lelaki itu tersenyum menatap layar yang menyala. Aku yakin dia tengah berbalas pesan dengan gundiknya.

Brak.

Aku sengaja meletakan piring sedikit kasar. Agar lelaki itu menyadarinya. Benar saja Mas Ilham meletakan ponselnya lalu mendekatiku. Memelukku dari belakang. Nafasnya terasa hangat ditelingaku.

"Ma, kamu cantik sekali malam ini."

"Maaf, Mas. Aku lagi berhalangan." Aku melepas tangan Mas Ilham yang tengah memelukku. Terlihat jelas wajah Mas Ilham menunjukan kekecewaan. Maaf, Mas. Namun untuk melayanimu diatas ranjang. Sepertinya aku belum siap. 

****

Rendy keluar dari kamarnya, tentunya dengan pakaian seragam seperti biasa. Dia berjalan perlahan menuju aku yang tengah sibuk menyiapkan bekal. 

"Pagi, Ma, Pa."

"Pagi, Ren."

"Ma, ini kan hari Sabtu. Rendy mau nginep dirumah teman. Boleh?"

"Siapa?" tanya Mas Ilham. 

"Biasa, Pa. Bian."

"Oh …." Mas Ilham menjawab. Sembari tangannya mengambil secangkir kopi.

"Iya, boleh. Tapi ingat, jangan malam-malam tidurnya, oke!"

"Siap Ma."

Rendy berjalan lebih dulu menuju mobil, sedangkan aku masih berada di meja makan memperhatikan Mas Ilham.

"Papa nggak mau antar Rendy ke sekolah?" tanyaku.

"Nggak ah, Ma. Papa capek. Mama saja."

"Capek kerja malam terus ya?" tanyaku sembari berlalu.

"Maksud Mama apa?" Mas Ilham menatapku. Netra laki-laki itu terus mengawasi.

"Aku antar Rendy dulu, Pa. Assalamualaikum," ucapku sembari menyelipkan rambut di belakang telinga. 

Tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
umur mu lebih tua dari suami tapi gaya mu kayak anak kecil. udah basi gaya sampah mu dg drama murahan mu. pantas kamu diselingkuhi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 49

    Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 48

    Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 47

    Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 46

    [Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 45

    Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 44

    Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status