Share

Bab 4

Author: Pena_kinan
last update Huling Na-update: 2022-11-07 20:46:23

RACUN UNTUK MADUKU

Bab 4

Sandiwara.

Aku mencoba menghubungi Mas Ilham. Tentu memastikan apakah jawabannya akan sama atau justru kebalikannya.

Tut … Tut.

Aku menekan dada ini kuat-kuat. Merasakan sesak kala lelaki yang bergelar suami itu berjalan mesra, merangkul pinggang wanita itu masuk ke penginapan. Apa yang akan mereka lakukan? Tentunya akan menikmati surga dunia, tidak mungkin dua orang berlawanan jenis pergi ke penginapan hanya untuk makan siang.

Cukup lama, sambungan telepon tidak juga diangkat oleh suamiku. Aku bertambah yakin jika dia memang bermain gila di belakangku.

Aku menghentikan panggilan telepon lalu melempar benda pipih itu ke kursi penumpang di sampingku. Lantas aku melajukan mobil dengan perlahan menuju tempat parkir. Tentunya jauh dari mobil milik Mas Ilham.

Buk. 

Aku menutup pintu cukup kuat. Lalu kembali membuka pintu lagi untuk mengambil ponsel yang tadi sempat aku lempar. Tidak mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari barang bukti. 

Aku menoleh ke sembarang arah. Memang penginapan ini jauh dari rumah. Tepatnya berada di daerah dimana aku menuju rumah sahabatku. Nita.

Aku melangkah pelan. Mengatur detak jantung dan juga nafasku yang tersengal-sengal, bagaimana tidak. Aku akan mendapati sang suami yang aku anggap setia tidak lebih hanya seorang laki-laki buaya. Dan aku baru tahu. Astaga, kemana saja kamu selama ini Ayu.

"Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya wanita yang ada di resepsionis.

Aku tersenyum lalu. Mengeluarkan sejumlah uang. 

"Beri saya akses ke kamar Bapak Ilham," ucapku sedikit bergetar.

Wanita itu hanya menatapku dengan seksama. Lalu melihat uang yang ada di atas etalase. 

"Kenapa? Kurang?" Aku kembali mengeluarkan lembaran uang membuat wanita itu langsung mengambilnya. Menyodorkan kunci lalu berkata pelan.

"Jangan membuat keributan di sini, Bu!" ucap wanita itu pelan. Namun masih bisa aku dengar.

"Tenang cantik, saya masih waras!" ucapku pelan dengan mengerlingkan sebelah mata.

Tuk … tuk.

Aku melangkah perlahan. Menguatkan hati dan juga mengatur napas berkali-kali. Keringat di tangan terus mengucur, tidak aku pungkiri aku gugup. Bagaimana aku harus bersikap kala melihat suami tengah berpeluh dengan wanita lain. 

Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk menghadapi dan juga melihat semuanya.

Langkahku mulai melambat. Kala nomor kamar yang aku tuju sudah terlihat. Langkah kakiku tidak lagi terdengar. Jantungku kian berpacu. Bayang-bayang menjijikan menguasai pikiranku. 

"Astagfirullahaladzim," ucapku lirih kala melihat pintu kamar yang masih terbuka sedikit belum tertutup sepenuhnya. Apakah nafsu sudah menguasai mereka. Hingga sudah tidak ada malu lagi mereka? Membiarkan pintu tidak terkunci. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Memejamkan mata lalu membukanya. Aku menggenggam ponsel cukup erat. Memandangi pintu sedikit lama.

Kini tangan dan mataku tertuju pada ponsel. Aku mengaktifkan mode bisu. Agar jika ada yang menghubungi tidak terdengar deringnya.

Aku menekan tombol Vidio. Berharap mendapatkan bukti itu hari ini juga.

Perlahan namun pasti aku mendekati pintu, membuka pintu sedikit lalu mengarahkan ponsel ke dalam kamar. Aku mengarahkan pada subyek yang kucari. 

Berkali-kali aku beristighfar dalam hati, membekap mulut ini agar tidak berteriak. Menyaksikan lelaki yang bergelar suami itu tengah diliputi nafsu setan yang menjijikan.

Mereka bercumbu. Bermain panas di sisi ranjang. Hatiku tercabik-cabik, melihat adegan tidak senonoh itu.

Hingga akhirnya aku memilih meninggalkan mereka. Berjalan dengan membekap mulut dengan lelehan air mata yang tidak bisa aku bendung. Aku terus berjalan, hingga sedikit berlari. 

Aku lantas masuk kedalam mobil. Menangis sejadi-jadinya disana. Memukul setir yang melingkar di hadapanku.

"Agh … tega kamu, Mas," ucapku pelan sembari air mata terus tumpah. 

Setelah aku puas menumpahkan kekesalan, kekecewaan dan juga kesedihan akhirnya aku menghapus jejak air mata itu dengan kasar. 

Diraihnya ponsel yang aku letakan sembarang tempat. 

Ternyata aku belum mematikan video tadi, sehingga tangisku pasti terekam jelas di sana. Aku menghela napas pelan lalu membuangnya perlahan. Kini aku melajukan mobilku menuju rumah Nita.

"Kamu kenapa, Yu? Kok kusut begitu? Kamu habis nangis?" tanya Nita. Aku yang baru saja keluar dari mobil langsung disambutnya. Sahabatku satu ini memang baik hatinya.

"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Nita kembali. Lagi-lagi aku hanya diam, berjalan ke dalam rumah lalu menjatuhkan bokongku di sofa.

"Kenapa? Kamu bicara dong, Yu! Jangan seperti ini! Jangan bikin aku khawatir." Nita terus menggoyangkan kedua bahuku. Tanpa dikomando airmataku kembali tumpah. Tangisku pecah, Nita langsung memelukku. Mencoba menenangkanku, meskipun dia tidak tahu sebenarnya apa yang telah terjadi padaku.

"Kenapa, Yu? Cerita sama aku!" Nita kembali bertanya.

Aku masih diam. Namun, tanganku bergerak mengambil ponsel. Memberikannya pada Nita. Membiarkan wanita yang bergelar sahabat itu melihatnya.

"Apa ini?" tanya Nita. Tangannya terus saja mencari apa yang aku beri. Memutar video dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat dan mendengar video itu diputar.

Wajahnya terlihat tidak percaya tangannya menutup mulut. Sembari mata terus saja melotot.

"Suamimu ini, Yu?" tanya Nita. Aku mengangguk.

"Brengsek sekali Ilham. Kamu sendiri yang merekamnya?" tanya Nita.

Aku mengangguk.

"Ya Allah, Yu." Dia kembali memelukku. Aku yakin dia tidak percaya aku akan sekuat itu melihat adegan panas suami sendiri.

Pelukan kami terurai. Bersamaan aku mengusap jejak air mata dengan tisu yang diberikan Nita.

"Tenang, bicara pelan-pelan. Sejak kapan?" tanya Nita.

Aku menggeleng.

"Terus apa yang akan kamu lakukan dengan Vidio ini?"

Aku kembali menggeleng.

Layar ponsel berkedip, dilihatnya sekilas oleh Nita.

"Suamimu telepon. Kamu angkat tidak?"

Aku menerima benda pipih itu lantas. Menghela panas panjang. 

"Halo, Waalaikumsalam." Aku menjawab salam yang diucapkan Mas Ilham.

"Ada apa, Sayang? Tadi kamu telepon. Maaf, Mas ketiduran. Jadi nggak denger."

"Tidur dimana, Mas? Di hotel?" tanyaku membuat Lelaki itu gelagapan.

"Ya-ya enggaklah sayang, aku tidur di mobil abis isi bensin. Kenapa? Kenapa kamu telepon?"

"Nggak papa, Mas. Mau nanya aja kira-kira kamu tiba di rumah jam berapa? Soale aku lagi ada di rumah Nita. Takutnya kamu pulang aku nggak ada."

"Oh, itu. Mungkin abis magrib."

"Ya sudah kalau begitu."

"Aku kangen banget sama kamu sayang, nanti dandan yang cantik ya. Aku pengen." Kata-kata Mas Ilham terdengar menjijikan di telinga. Meskipun dulu jika Mas Ilham menggoda aku menanggapi dengan cinta. Tapi berbeda saat aku tahu dia telah mendua.

"Ya sudah, sampai bertemu, Mas!" 

Tut ….

Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Tanpa menunggu jawaban darinya. 

"Pintar sekali suamimu itu bersandiwara. Menjijikan!" sungut Nita. Dia ikut kecewa pada Mas Ilham.

"Aku juga akan bersandiwara, tentunya tidak kalah pintar dengan lelaki bren*sek itu."

"Sandiwara? Maksud kamu apa Ayu?"

Bersambung 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sok2an hebat akhirnya menangis kayak orang gila.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 49

    Hari sudah mulai terik. Matahari yang panas mulai menyengat kulit. Bian menatap ke arah orang-orang yang perlahan memasukan Maura kedalam lubang kubur. Tangis Bian memang sudah tidak ada, namun hatinya terluka begitu dalam. Ditatapnya satu persatu orang-orang yang meninggalkannya di gundukan tanah yang masih basah itu. Bian tak melihat satu orang pun keluarga Rendy datang melihat. Namun ada satu orang laki-laki yang berdiri di sela-sela tetangganya. Bian tidak mengenalnya namun dia terlihat tersenyum kala Bian menatap ke arahnya. Tangis Bian pecah saat semua orang meninggalkannya. Banyak penyesalan yang kini merajai hatinya. Andai saja Bian tak mengenalkan Ilham pada Maura mungkin kejadian tragis ini bukanlah akhir dari segalanya. Bian menangis sendirian.Semua perbuatan akan ada pembalasan. Entah itu perbuatan baik atau sebaliknya. Akhir dari sebuah hidup adalah suatu keputusan. Dia akan menjalani sisa hidupnya dengan jalan benar atau justru masih dalam Limbangan dosa. Karena umur

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 48

    Tut … Tut.Tanpa menunggu persetujuan Rendy. Ayu sudah menutup teleponnya. Ayu pun lantas masuk kedalam ruangan setelah memanggil perawat tentunya. Disana sudah ada Nadia dan juga Ibu mertua yang mendekat pada Ilham.****Nita mengirimkan beberapa video dan juga foto Maura bersama seorang laki-laki kepada Ayu. Ayu yang tengah duduk di meja kerjanya seolah berpikir keras. Bagaimana mengatakan kepada suaminya akan hal ini. Apakah dia akan diam saja membiarkan semuanya atau justru mengatakannya agar Ilham meninggalkannya sendiri. Namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Lalu dia kembali menatap layar laptopnya.[Terima kasih banyak, Nita.]Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan untuk Nita.[Sama-sama. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan meminta kepadaku!][Ya.]Ayu menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahanIa lantas menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia pulang ke rumah. Di saat Ayu tengah memanaskan kuah bakso. Berniat makan bersama Ilham dan juga Rendy. Karena akhi

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 47

    Sesampainya di rumah sakit. Maura dan juga Ilham segera mendapatkan pertolongan. Ada beberapa dokter dan juga perawat yang langsung bertindak sesuai tugasnya.Bian berinisiatif menghubungi Rendy. Namun lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi. Bian lupa, bahwa nomornya sudah di blok oleh mantan temannya yang kini menyandang status saudara tiri.Setelah Maura mendapatkan pertolongan, begitu juga Ilham. Mereka akhirnya dipindahkan ke ruangan terpisah. Ilham yang sudah membaik meskipun belum sadar sudah bisa di tempatkan di ruang rawat. Sedangkan Maura masih berada di ruang ICU. Bian duduk di kursi tunggu. Entah sejak kapan anak remaja itu belum makan. Entah karena tidak merasa lapar atau memang dia enggan untuk mengisi perut.Bian menjaga Maura sendirian. Dia terus memegang tangan Ibunya kala waktu kunjung tiba. Berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk sang Ibu untuk menikmati udara di bumi. Kali ini anak laki-laki itu tengah duduk di kursi tunggu. Lantas wanita tua yang ia kenal ter

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 46

    [Mami dimana?] tanya Bian pada pesan singkat yang ia kirim kepada Maura. Tidak berapa lama wanita yang berstatus Ibu kandung itu membalasnya.[Mami pulang ke rumah. Maaf, kemarin Mami nggak sempat menghubungi kamu, sayang. Mama di rumah sakit.][Di rumah sakit? Mami sakit? Sama siapa? Apa Papa Ilham bersama Mami?] Bian khawatir dengan kondisi Maura. Bagaimanapun juga Ilham harus berada di sisi Maura. Karena janin yang tengah dikandungnya adalah benih dari laki-laki itu. Itu semua adalah pemikiran Bian.[Ada, Mami sama Papa Ilham kok kamu tenang saja. Ini perjalanan pulang.][Mami belum jawab pertanyaan Bian. Mami kenapa dirumah sakit?] Lagi-lagi Bian menanyakan keadaan Maura. Bagaimanapun Maura adalah Ibu kandung Bian. Dan Bian begitu menyayanginya.[Kandungan Mami nggak bisa dipertahankan sayang, maaf. Kamu nggak jadi punya adik.][Apakah ini ada hubungannya dengan obat yang Bian temukan di meja rias Mami?] tanya Bian. Tangannya memegang sesuatu. Tidak berapa lama anak remaja itu pe

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 45

    Amelia dan juga Ayu duduk berpegangan tangan. Sesekali mereka mengusap air matanya yang terus saja mengalir tiada henti. Isak tangis mereka tak terdengar. Hanya tatapan penuh kesedihan yang tergambar jelas."Yu, sabar ya. Mama yakin kamu dan juga Rendy bisa melalui ini semua."Ayu mengangguk. Karena memang tidak ada kata-kata yang bisa dikeluarkan. Hanya ada Isak tangis menandakan kesedihan. "Ini semua sudah jalan takdirmu. Mama harap kamu ikhlas menerimanya. " Ayu mengangguk permintaan Amelia tidaklah berat namun sulit untuk diterima hati dan juga pikiran.Ayu menatap kearah Ilham yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa alat medis tertempel pada tubuhnya. TulingSatu pesan diterima. Ayu diam tidak menghiraukan pesan tersebut. Entah berapa ratus pesan maupun berapa puluh kali telepon masuk ke nomornya. Tidak sekalipun dia terima maupun dibacanya.Amelia mengusap tangisnya dengan ujung jilbab yang ia kenakan. Lalu beranjak dari tempat duduknya. Merogoh ponsel yang ada d

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 44

    Nita mengendarai motor maticnya menjemput anak sulungnya yang kebetulan bersekolah tidak jauh dari rumah. Rumah Nita yang terletak dua ratusan meter dengan jalan utama. Membuatnya mudah untuk bepergian. "Bunda kita makan dulu ya?" celetuk anak laki-laki itu."Iya, sayang. Tapi dibungkus aja ya. Nanti adik keburu nangis kalau kita nggak pulang-pulang.""Kan ada si Mbak?""Iya, sayang. Kita bungkus saja ya makannya lalu dibawa pulang. Habis itu kita makan sama-sama di rumah? Gimana?""Ya sudah kalau begitu." Akhirnya Nita membawa putranya menuju sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolahan. Mereka memesan ayam geprek untuk dibawa pulang. "Mbak minumannya satu ya mbak. Es lemon tea.""Baik, Ibu." Pelayan itu akhirnya pergi setelah mencatat pesanan Nita. Kini Nita sibuk dengan putranya yang tengah berusaha membuka tas yang dibawanya."Bunda lihat, aku tadi dikasih buku sama ibu guru.""Wah, buat mewarnai ya? Bagus.""Nanti kita kerjain bareng-bareng ya?""Siap sayangku. Anak Sholehnya Bu

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 43

    "Nggak perlu, Ma. Ayu sudah kenyang!' padahal Ayu belum makan sesuatu sama sekali. Dia baru saja pulang dari kantor lantas pergi ke rumah sakit mengantar Maura. Entah mengapa rasa lapar yang tadi terasa kini sudah menguar begitu saja."Dimana Ilham?" tanya Amelia melihat ke arah belakang. "Di rumah sakit, Ma. Nemenin Maura.""Oh …."Tap … tapSuara langkah Rendy yang mendekati Amelia dan juga Ayu terdengar jelas ditelinga."Mama udah pulang?""Iya sayang." Ayu tersenyum lalu ia kembali menatap kunci mobil yang berada di atas meja."Ini buat Rendy. Sambal sama kecapnya ambil sendiri sesuai selera kamu. Dan ini buat kamu Ayu. Apapun yang terjadi kamu harus tetap makan. Jangan sampai sakit." Wanita yang bergelar mertua itu tersenyum sembari tangan kembali meracik bakso. Sedangkan Ayu hanya menerima mangkok itu dengan senyuman. Satu persatu bakso yang ada di hadapan Rendy di santap ya dengan nikmat.*****Ilham menatap Maura yang selalu menatap layar ponselnya. Entah apa yang ada di dala

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 42

    "Terima kasih.""Bagaimana keadaan Maura?" tanya Ayu hati-hati."Maura akan dikuret. Janin yang dikandung tidak bisa lagi diselamatkan.""Innalillahi wa innailaihi roji'un."****Amelia turun dari mobilnya, kali ini dia diantar oleh supir Nadia. Karena Nadia dan juga suaminya ada acara mendadak. Sehingga tidak bisa mengantar Ibunya pulang ke rumah Ayu dan juga Ilham."Assalamualaikum." Salam yang diucapkan Amelia tidak dijawab. Wanita tua itu lantas berjalan masuk kedalam rumah. Namun alangkah terkejutnya kala melihat ada beberapa darah tercecer di teras. "Astagfirullahaladzim, ini darah apa?" tanya Amelia pada dirinya sendiri. Lantas tangannya memegang dada."Oma?" Rendy akhirnya keluar dari dalam rumah. Menatap sang Nenek dengan wajah yang … entah."Ini darah apa?""Nggak tahu Oma. Tadi Rendy sempet lihat ada Tante Maura dan juga Mama.""Astagfirullahaladzim." Amelia lantas merogoh ponsel yang ada di dalam tasnya Lantas menekan nomor yang bertuliskan Ayu. "Kamu dimana Ayu? Darah

  • RACUN UNTUK MADUKU   Bab 41

    Wajah Maura pucat pasi. Entah apa yang ia rasa saat ini, suaranya yang tadi melengking kini tak terdengar. Ilham panik, dia terus saja memanggil istri sirinya. Sedangkan Ayu yang tengah mengemudi sesekali melihat kondisi Maura melalui kaca spion yang ada di atasnya. Seakan alam mengetahui semua. Bahwa ada manusia yang saat ini tengah membutuhkan pertolongan. Jalanan lengang membuat Ayu bisa cepat sampai di rumah sakit yang dituju. Mobil itu berhenti tepat di IGD rumah sakit. Dengan sigap dan cepat beberapa perawat sudah berlari membawa tempat tidur dorong. Menyambut Maura yang sudah diangkat oleh Ilham. "Kamu tenang ya, semuanya akan baik-baik saja." Maura menangis, menggenggam erat tangan Ilham yang dipaksa dilepas oleh salah satu perawat."Bapak tunggu disini dulu. Biar Ibu bisa ditangani dokter lebih cepat." Ilham berhenti mengikuti Maura, tangannya menyugar rambutnya kebelakang. Entah mengapa ada banyak kegundahan dan juga khawatir saat ini. Bagaimana keadaan calon bayi yang ki

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status