Share

Bab 4

RACUN UNTUK MADUKU

Bab 4

Sandiwara.

Aku mencoba menghubungi Mas Ilham. Tentu memastikan apakah jawabannya akan sama atau justru kebalikannya.

Tut … Tut.

Aku menekan dada ini kuat-kuat. Merasakan sesak kala lelaki yang bergelar suami itu berjalan mesra, merangkul pinggang wanita itu masuk ke penginapan. Apa yang akan mereka lakukan? Tentunya akan menikmati surga dunia, tidak mungkin dua orang berlawanan jenis pergi ke penginapan hanya untuk makan siang.

Cukup lama, sambungan telepon tidak juga diangkat oleh suamiku. Aku bertambah yakin jika dia memang bermain gila di belakangku.

Aku menghentikan panggilan telepon lalu melempar benda pipih itu ke kursi penumpang di sampingku. Lantas aku melajukan mobil dengan perlahan menuju tempat parkir. Tentunya jauh dari mobil milik Mas Ilham.

Buk. 

Aku menutup pintu cukup kuat. Lalu kembali membuka pintu lagi untuk mengambil ponsel yang tadi sempat aku lempar. Tidak mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan untuk mencari barang bukti. 

Aku menoleh ke sembarang arah. Memang penginapan ini jauh dari rumah. Tepatnya berada di daerah dimana aku menuju rumah sahabatku. Nita.

Aku melangkah pelan. Mengatur detak jantung dan juga nafasku yang tersengal-sengal, bagaimana tidak. Aku akan mendapati sang suami yang aku anggap setia tidak lebih hanya seorang laki-laki buaya. Dan aku baru tahu. Astaga, kemana saja kamu selama ini Ayu.

"Selamat pagi, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya wanita yang ada di resepsionis.

Aku tersenyum lalu. Mengeluarkan sejumlah uang. 

"Beri saya akses ke kamar Bapak Ilham," ucapku sedikit bergetar.

Wanita itu hanya menatapku dengan seksama. Lalu melihat uang yang ada di atas etalase. 

"Kenapa? Kurang?" Aku kembali mengeluarkan lembaran uang membuat wanita itu langsung mengambilnya. Menyodorkan kunci lalu berkata pelan.

"Jangan membuat keributan di sini, Bu!" ucap wanita itu pelan. Namun masih bisa aku dengar.

"Tenang cantik, saya masih waras!" ucapku pelan dengan mengerlingkan sebelah mata.

Tuk … tuk.

Aku melangkah perlahan. Menguatkan hati dan juga mengatur napas berkali-kali. Keringat di tangan terus mengucur, tidak aku pungkiri aku gugup. Bagaimana aku harus bersikap kala melihat suami tengah berpeluh dengan wanita lain. 

Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk menghadapi dan juga melihat semuanya.

Langkahku mulai melambat. Kala nomor kamar yang aku tuju sudah terlihat. Langkah kakiku tidak lagi terdengar. Jantungku kian berpacu. Bayang-bayang menjijikan menguasai pikiranku. 

"Astagfirullahaladzim," ucapku lirih kala melihat pintu kamar yang masih terbuka sedikit belum tertutup sepenuhnya. Apakah nafsu sudah menguasai mereka. Hingga sudah tidak ada malu lagi mereka? Membiarkan pintu tidak terkunci. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Memejamkan mata lalu membukanya. Aku menggenggam ponsel cukup erat. Memandangi pintu sedikit lama.

Kini tangan dan mataku tertuju pada ponsel. Aku mengaktifkan mode bisu. Agar jika ada yang menghubungi tidak terdengar deringnya.

Aku menekan tombol Vidio. Berharap mendapatkan bukti itu hari ini juga.

Perlahan namun pasti aku mendekati pintu, membuka pintu sedikit lalu mengarahkan ponsel ke dalam kamar. Aku mengarahkan pada subyek yang kucari. 

Berkali-kali aku beristighfar dalam hati, membekap mulut ini agar tidak berteriak. Menyaksikan lelaki yang bergelar suami itu tengah diliputi nafsu setan yang menjijikan.

Mereka bercumbu. Bermain panas di sisi ranjang. Hatiku tercabik-cabik, melihat adegan tidak senonoh itu.

Hingga akhirnya aku memilih meninggalkan mereka. Berjalan dengan membekap mulut dengan lelehan air mata yang tidak bisa aku bendung. Aku terus berjalan, hingga sedikit berlari. 

Aku lantas masuk kedalam mobil. Menangis sejadi-jadinya disana. Memukul setir yang melingkar di hadapanku.

"Agh … tega kamu, Mas," ucapku pelan sembari air mata terus tumpah. 

Setelah aku puas menumpahkan kekesalan, kekecewaan dan juga kesedihan akhirnya aku menghapus jejak air mata itu dengan kasar. 

Diraihnya ponsel yang aku letakan sembarang tempat. 

Ternyata aku belum mematikan video tadi, sehingga tangisku pasti terekam jelas di sana. Aku menghela napas pelan lalu membuangnya perlahan. Kini aku melajukan mobilku menuju rumah Nita.

"Kamu kenapa, Yu? Kok kusut begitu? Kamu habis nangis?" tanya Nita. Aku yang baru saja keluar dari mobil langsung disambutnya. Sahabatku satu ini memang baik hatinya.

"Kamu baik-baik saja kan?" tanya Nita kembali. Lagi-lagi aku hanya diam, berjalan ke dalam rumah lalu menjatuhkan bokongku di sofa.

"Kenapa? Kamu bicara dong, Yu! Jangan seperti ini! Jangan bikin aku khawatir." Nita terus menggoyangkan kedua bahuku. Tanpa dikomando airmataku kembali tumpah. Tangisku pecah, Nita langsung memelukku. Mencoba menenangkanku, meskipun dia tidak tahu sebenarnya apa yang telah terjadi padaku.

"Kenapa, Yu? Cerita sama aku!" Nita kembali bertanya.

Aku masih diam. Namun, tanganku bergerak mengambil ponsel. Memberikannya pada Nita. Membiarkan wanita yang bergelar sahabat itu melihatnya.

"Apa ini?" tanya Nita. Tangannya terus saja mencari apa yang aku beri. Memutar video dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat dan mendengar video itu diputar.

Wajahnya terlihat tidak percaya tangannya menutup mulut. Sembari mata terus saja melotot.

"Suamimu ini, Yu?" tanya Nita. Aku mengangguk.

"Brengsek sekali Ilham. Kamu sendiri yang merekamnya?" tanya Nita.

Aku mengangguk.

"Ya Allah, Yu." Dia kembali memelukku. Aku yakin dia tidak percaya aku akan sekuat itu melihat adegan panas suami sendiri.

Pelukan kami terurai. Bersamaan aku mengusap jejak air mata dengan tisu yang diberikan Nita.

"Tenang, bicara pelan-pelan. Sejak kapan?" tanya Nita.

Aku menggeleng.

"Terus apa yang akan kamu lakukan dengan Vidio ini?"

Aku kembali menggeleng.

Layar ponsel berkedip, dilihatnya sekilas oleh Nita.

"Suamimu telepon. Kamu angkat tidak?"

Aku menerima benda pipih itu lantas. Menghela panas panjang. 

"Halo, Waalaikumsalam." Aku menjawab salam yang diucapkan Mas Ilham.

"Ada apa, Sayang? Tadi kamu telepon. Maaf, Mas ketiduran. Jadi nggak denger."

"Tidur dimana, Mas? Di hotel?" tanyaku membuat Lelaki itu gelagapan.

"Ya-ya enggaklah sayang, aku tidur di mobil abis isi bensin. Kenapa? Kenapa kamu telepon?"

"Nggak papa, Mas. Mau nanya aja kira-kira kamu tiba di rumah jam berapa? Soale aku lagi ada di rumah Nita. Takutnya kamu pulang aku nggak ada."

"Oh, itu. Mungkin abis magrib."

"Ya sudah kalau begitu."

"Aku kangen banget sama kamu sayang, nanti dandan yang cantik ya. Aku pengen." Kata-kata Mas Ilham terdengar menjijikan di telinga. Meskipun dulu jika Mas Ilham menggoda aku menanggapi dengan cinta. Tapi berbeda saat aku tahu dia telah mendua.

"Ya sudah, sampai bertemu, Mas!" 

Tut ….

Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Tanpa menunggu jawaban darinya. 

"Pintar sekali suamimu itu bersandiwara. Menjijikan!" sungut Nita. Dia ikut kecewa pada Mas Ilham.

"Aku juga akan bersandiwara, tentunya tidak kalah pintar dengan lelaki bren*sek itu."

"Sandiwara? Maksud kamu apa Ayu?"

Bersambung 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sok2an hebat akhirnya menangis kayak orang gila.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status