Share

Bab 6

Malam ini aku dan juga Mas Ilham hanya berdua. Karena Rendy menginap dirumah temannya yang bernama Bian. Entah mengapa semenjak aku tahu dia mendua. Rasanya enggan berduaan dengan lelaki itu. Apalagi jika dia mendekat, mual jika mengingat dia pernah berkeringat bersama wanita lain.

Tuling.

Satu pesan aku terima. Mampu membuyarkan lamunanku, meskipun mata tertuju pada layar televisi yang menyala.

Ternyata dari Nita, dia menanyakan keadaanku.

[Gimana kamu oke kan?]

[Iya.]

Kring ….

Ketika aku tengah membalas pesan dari Nita, ponsel Mas Ilham berdering. Lelaki yang tengah mandi itu tidak mendengarnya. Apalagi berniat mengangkat. Membuat aku tidak menyia-nyiakan kesempatan.

Pintu kamar yang terbuka membuat aku mendengar jelas dering ponsel Mas Ilham. Ditambah jarak antara kamar dan juga ruang keluarga tidak jauh. 

Biasanya aku tidak pernah melihat ataupun kepo dengan urusan Mas Ilham. Namun setelah aku tahu dia berselingkuh. Rasanya jiwa penasaran ku meronta-ronta, ingin tahu seperti apa wujud wanita yang berani mengusik keluargaku.

Aku lantas berjalan menghampiri benda pipih itu yang tergeletak di atas nakas. Memperhatikan nama Maura tertera di sana. Aku yakin itu adalah nomor wanita selingkuhan Mas Ilham. Lelaki itu ternyata tidak mahir menutupi keburukannya. Suara air gemericik pun berhenti. Aku menoleh pada pintu kamar mandi. Jangan sampai Mas Ilham tahu bahwa aku tengah memeriksa ponselnya.

Segera aku letakan kembali ponsel itu pada tempatnya. Kemudian aku mengambilkan pakaian ganti agar tidak terlihat mencurigakan.

Ceklek

Aku menoleh. Lelaki itu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Terlihat dari tetesan air yang jatuh dari ujung rambutnya. Membuat lelaki yang berselisih lima tahun denganku itu terlihat semakin seksi. Mungkin itu yang membuatnya digilai banyak wanita.

"Ada telepon, Mas," ucapku padanya. 

"Siapa?" tanya lelaki itu.

"Nggak tahu tuh, angkat saja siapa tahu penting!" Kata-kata yang sering aku ucapkan ketika Mas Ilham mendapatkan telepon. Sering kali aku keluar kamar memberinya privasi jika seseorang menelpon. 

Namun tidak untuk saat ini. Suamiku menerima panggilan itu lalu menatap ke arahku. Mungkin mencoba mengusirku tanpa berucap. Aku berjalan mendekati lelaki itu, yang tengah menempelkan benda pipih itu di telinga. 

"Halo," ucap Mas Ilham setelah menggeser lingkaran hijau ke atas.

Entah apa yang dikatakan wanita yang ada di seberang telepon. Aku tidak bisa mendengarnya. Dengan cepat aku mendaratkan ciuman panas pada bibir lelaki itu. Membuatnya mendesah pelan. Hingga dia mulai menjauhkan ponselnya dari telinga. Aku terus membuatnya semakin gerah, hingga ia mengeluarkan suara yang tak tertahankan.

Hilang

Aku melirik sekilas pada layar ponsel  Mas Ilham. Ternyata panggilan telepon dari wanita jalan itu sudah berakhir. 

Aku merenggangkan pelukan lelaki itu.

Dia menatapku penuh harap.

"Aku masih berhalangan, Mas. Maaf."

"Terus yang tadi apa? Apa kamu mengerjaiku?"

Aku tersenyum lalu meninggalkan lelaki itu yang tengah frustasi.

Melempar ponsel ke atas ranjang lalu menyugar rambutnya ke belakang. Dia mengejarku berharap bisa meraih tanganku. Namun dengan cepat aku menutup pintu kamar rapat-rapat. 

Menjijikan

Entah apa yang terjadi didalam sana. Yang pasti aku yakin wanita jalang itu pasti marah. Aku tersenyum miring, kemudian membuat dua cangkir kopi hitam di dapur.

Kita lihat saja, siapa yang akan menang kali ini. Apakah kamu bisa mengambil  Mas Ilham atau kamu yang akan pergi  dengan terpincang-pincang, jalang.

****

Minggu pagi, aku berniat menjemput Rendy di rumah Bian. Jika biasanya Ibu Bian lah yang mengantar Rendy pulang. Namun tidak kali ini, wanita itu tidak bisa mengantar berdalil bahwa mobilnya tengah berada di bengkel.

"Mas kamu nggak ikut?" tanyaku pada lelaki yang tengah sibuk menatap layar ponsel.

"Kemana?"

"Jemput Rendy di rumah temannya."

Aku terus menatap lelaki itu, meskipun rasa kecewa dan juga marah. Namun harapanku kami akan tetap bersama. Aku akan memaafkannya jika dia berjanji tidak akan kembali berkhianat.  Namun sayang, janjinya belum terucap karena hingga detik ini dia masih menutup rapat.

"Ya sudah, hayuk!" Mas Ilham beranjak dari duduknya berjalan menuju mobil yang ada di depan.

Selama perjalanan ke rumah Bian. Tidak ada percakapan yang berarti dari aku dan juga Mas Ilham. Aku menyibukan diri dengan berselancar di dunia Maya. 

Hingga tidak terasa sudah tiba di halaman rumah Bian.

Buk

"Turun yuk, Mas!" pintaku pada lelaki itu.

"Nggak usah, aku tunggu di sini saja!" jawab Mas Ilham sembari tangan mengambil ponsel.

"Oke," jawabku singkat. Keningku mengkerut ketika mendengar jawaban dari Mas Ilham. Rasanya ada yang aneh dengan lelaki ini. Mungkin wanitanya sedang marah karena ulahku semalam.

"Mbak Ayu." Wanita yang bergelar janda muda itu menghampiriku yang tengah berjalan menuju pintu utama. Dia sudah menyambutku dengan mengenakan dress selutut dengan motif bunga. Dia pintar berdandan, make up ala Korea jaman sekarang. 

Penampilannya begitu menggoda, hingga nampak tidak percaya jika dia tidak memiliki pendamping hingga saat ini.

Aku memeluknya, mencium pipi kanan dan kiri.

"Mas Ilham mana, Mbak?" tanya wanita itu. Membuatnya menoleh ke arah mobil.

"Dia di mobil, nggak mau turun katanya. Mungkin capek, kemarin baru saja pulang dari luar kota."

"Ah, masak sih kecapekan? Kita makan dulu yuk di dalam, sudah saya siapkan makanannya. Aku panggil Mas Ilham, pasti dia mau!"

"Ta …." Belum juga aku menjawab perkataannya, wanita itu sudah lebih dulu pergi. Menghampiri Mas Ilham yang ada di dalam mobil. Entah apa yang dikatakan wanita itu, aku memandangnya dari kejauhan. 

Benar saja, Mas Ilham nampak keluar dari mobil. Tentunya dengan raut wajah yang tidak aku mengerti.

Mas Ilham langsung berdiri disampingku, lalu kami berjalan masuk kedalam rumah setelah wanita itu terlebih dahulu masuk. Aku menatap Mas Ilham, hanya ditanggapi dengan diangkatnya kedua bahu.

Rendy nampak duduk di sofa, dengan ekspresi wajah yang sama. Sulit aku artikan. Ada apa ini? Ada apa dengan putraku.

"Kamu oke?" Aku berucap pelan. Mengusap lembut rambut Rendy lalu menatapnya lekat.

Rendy menggeleng. 

"Kenapa?" Aku kembali bertanya. Namun lagi-lagi tidak dijawab oleh Rendy. 

"Mbak Ayu, ayo silahkan duduk. Kita langsung saja ya makan. Takutnya makannya keburu dingin. Sini Mas Ilham kita makan bersama. Sini Rendy!" ajak wanita itu. Andini namanya.

Aku mengangguk lalu menjatuhkan bokongku pada salah satu kursi. 

Terlihat wanita itu lihai, mengambilkan makanan untuk anaknya lalu Rendy dan juga Mas Ilham. Apa  aku tidak salah lihat? Mas Ilham memberikan piring kosong itu pada orang lain bukan aku? Dan dia dengan senang hati mengambilkan makanan untuk suami orang? Dan Mas Ilham hanya diam saja tanpa ada penolakan.

"Mas," ucapku lirih membuatnya menoleh ke arahku.

"Ada apa, Mbak Ayu?" tanya Andini, bukan Mas Ilham. 

"Apa-apaan ini? Aku istri kamu, Mas. Dan kamu malah meminta orang lain untuk melayani?" tanyaku, tentunya dengan sedikit penekanan.

"Aku juga Istrinya, Mbak. Jadi aku berhak atas Mas Ilham," ucap wanita itu dengan tersenyum miring.

Duar 

Bak disambar petir di siang hari. Aku terkejut bukan kepalang. Bayangan-bayangan Mas ilham yang tengah bercumbu pada wanita tempo hari kembali terngiang.

Rambut dan postur tubuh wanita itu nampak mirip dengan Andini. Apa Andini ini adalah selingkuhan Mas Ilham? Lantas siapa Maura? Apakah lebih dari satu orang yang bermain api dengannya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya jgn sesumbar bilang madu mu jalang dan akan menghancurkan mereka jika kedunguan mu masih ada
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status