Share

Chapter 2. Siapa Dia?

"Apa semudah itu ketertarikan perempuan pada lawan jenis? Hanya sekedar mirip seseorang yang ia sukai?" Dinka

"Cantik, gue tertarik sama lo."  Seorang laki-laki

"Saya harus bisa dekat sama kamu."  Radit

***

Kriingggg... Bunyi bel, tanda istirahat tiba.

"Dinka ayo ke kantin. Kita makan," ajak Nada sembari mengisyaratkan dengat tangannya yang sedang makan kosong.

"Duluan aja. Lagian gue udah sarapan tadi di rumah," ucap Dinka.

"Oh, ok. Gue duluan ya," seru Nada. Setelah melihat Dinka mengangguk Nada menoleh ke bangku belakang, "Van ayoo."

Van? Siapa? Nada bukan memanggil Dinka? Van panggilan yang berbeda dengan nama Dinka.

"Vania ayo!" ucap Nada agak keras, karena orang yang dipanggil tidak mendengarkan panggilannya.

Tunggu dulu, Vania? Jadi Vania teman sekelas? Dinka mengira kalau Vania yang dibilang teman-teman tadi adik kelas.

Setelah menengok kebelakang Dinka mengerti. Pantas saja Dinka baru tahu, kalau Vania teman sekelas. Ternyata Vania adalah orang yang tadi baru masuk kelas dengan alasan selesai rapat pengurus inti OSIS yang diadakan dari jam pertama mulai hingga istirahat.

"Ayo, Dinka gue duluan ya," ucap Nada berjalan sambil menggandeng tangan Vania.

"Gue duluan ya," Vania ikut berseru.

"Iya," sahut Dinka sambil mengangguk.

Pelajaran selanjutnya juga kosong, kata Nada ini sering terjadi jika ada kegiatan di minggu sebelumnya pasti saja satu minggu berikutnya banyak jam kosong. Bosan berada dalam kelas terus. Dinka pergi keluar sambil membawa tasnya yang di dalamnya berisikan botol air minum, katanya buat jaga-jaga jika nanti haus supaya tidak bolak-balik ke kelas lagi.

Dinka menuju bangku taman depan kelas. Ternyata di situ ada teman SD Dinka lalu. Gea bersama temannya yang Dinka belum ketahui namanya.

"Gea!" Panggil Dinka.

"Eh Dinka, sini gabung," seru Gea mengajak Dinka untuk gabung.

"Hai!" sapa ramah teman Gea tersebut.

"Kenalin gue Tirni, teman sebangku Gea," ucap Tirni sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Dinka." Ucap Dinka sambil berjabat-tangan dengan Tirni. Lalu duduk di bangku taman.

Usai berkenalan, mereka mulai bercakap-cakap walau awal agak canggung tapi dengan pembicaraan yang menyenangkan membuat mereka sewaktu-waktu tertawa.

"Hahaha iya, pokoknya jaman-jaman SD itu jaman terlucu sepanjang masa, gak bisa dilupain."

"Kalau diingetin, pasti bawaannya pengen ketawa mulu."

Di tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari kelas sebelah, kelas IPS. Siswa itu langsung duduk di samping Dinka.

"Murid baru? Lo pindahan?" Laki-laki itu tiba-tiba bertanya sambil menatap mata Dinka. Tatapannya membuat Dinka terdiam sejenak, katakan saja terpesona, mungkin?

"Iya, tapi bukan pindahan," jawab Dinka.

"Terus?"

"Cuma murid titipan doang," jawab Dinka lagi. Laki-laki itu hanya mengangguk seolah mengerti.

"Nama lo siapa?" tanya Laki-laki itu sambil mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman

"Dinka," ucap Dinka tersenyum sambil menjabat tangan laki-laki tersebut. Menurut Dinka gerak-gerik dan tatapan laki-laki itu seperti salah satu orang yang disukai Dinka namun tidak bisa digapai, menawan. Walau sikap lelaki disampingnya ini agak sedikit dingin.

Karena memiliki kepribadian yang pemalu dan tak terbiasa dekat dengan laki-laki, Dinka memilih diam dan tidak balik bertanya walau hanya sekedar menanyakan nama laki-laki itu. Gea dan Tirni memasang ekspresi yang tidak bisa ditebak, melanjutkan pembicaraan berusaha untuk cuek dengan situasi canggung itu.

Dinka kira laki-laki itu hanya ingin sekedar tahu bahwa ada murid baru dan berkenalan saja. Tapi ternyata laki-laki itu tidak beranjak dari duduknya. Malah dia mulai pembicaraan dengan selalu menatap Dinka melali mata elangnya itu. Sekedar bertanya, bercerita yang dibumbui sedikit lelucon yang membuat Dinka ingin mengeluarkan tawanya tapi karena canggung di depan laki-laki itu, membuat Dinka hanya mengeluarkan senyumnya sambil memalingkan wajahnya untuk memandang sekitar.

Menatap Dinka dari samping, laki-laki itu tiba-tiba mengeluarkan suara yang hanya bisa didengar oleh Dinka.

"Lo cantik," ucapan itu membuat Dinka yang tadinya menghilangkan kegugupannya dengan mengayunkan kakinya tiba-tiba saja ayunan kakinya terhenti dan menoleh kembali ke arah laki-laki itu.

Dinka yang kaget dengan ucapan laki-laki itu spontan mengucapkan "Hm?" Semoga saja mulutnya tidak mengeluarkan bau, pikir Dinka.

"Lo can-tik," ucap laki-laki itu, mengulangnya dengan sedikit memperbesar dan memperjelas kata yang dikeluarkannya, membuat Gea dan Tirni yang berada disebelah Dinka yang lain ikut menoleh. Bahkan yang berlalu-lalang di depan koridor kelas IPA pun ikut mendengar tapi berusaha biasa saja dan kembali melanjutkan aktivitas.

Laki-laki itu menambahkan ucapannya dengan suara kecil agar hanya didengar oleh Dinka, yang sontak saja membuat Dinka salah tingkah. "Lo dilihat dari samping tetep cantik, jadi jangan keberatan kalau gue tertarik sama lo."

Dinka memalingkan wajahnya lagi dalam benaknya berbicara semoga saja ucapan lirih laki-laki itu tidak terdengar oleh yang lain. Saat memalingkan wajah, Dinka melihat bahwa kelas IPS siswa sudah berlarian untuk masuk mungkin gurunya sedang dalam perjalanan.

Tak beberapa lama benar saja dugaan Dinka, dari arah selatan koridor ada guru yang berjalan dan masuk ke kelas IPS. Dinka memalingkan wajahnya kembali ke arah laki-laki itu. Laki-laki itu juga ternyata melihat sejenak kearah kelasnya tapi tak beranjak dari duduknya, langsung saja Dinka berucap.

"Lo gak mau masuk kelas?" Tanya Dinka heran.

"Gak ah."

"Kenapa? Bolos?"

"Hmm," Laki-laki itu berpikir apa yang akan diucapnya. Benar dugaan Dinka.

Dilihat dari penampilan laki-laki ini yang bajunya di luar, tak memakai dasi, celana dikecilkan, memakai sepatu tapi tidak memakai kaos kaki, rambut yang sedikit panjang dan agak berantakan. Dinka menilai kalau laki-laki ini nakal dan suka bolos pastinya.

"Gak mau bolos, cuma males masuk aja. Males ngapalin sejarah otak mumet. Mending di sini bareng lo, otak gak mumet perasaan jadi adem."

Di saat seperti ini, laki-laki itu memberi alasan yang dibumbui gombalan. Dinka berbicara berusaha tidak terjebak dengan situasi. "Masuk gih, udah kelas tiga jangan sering bolos. Jangan lari dari tugas."

Ucapan Dinka sejenak tak diindahkan oleh laki-laki itu, malah laki-laki itu menoleh ke sana kemari sambil menyapa temannya yang sekedar lewat di depannya atau di sampingnya hingga laki-laki itu bertemu tatap dengan Dinka yang menatapnya diam namun mengintimidasi membuatnya mengiyakan saran Dinka.

"Iya iya, kalau yang cantik udah ngomong. Bakal gue laksanakan," setelah berkata seperti itu laki-laki itu beranjak dari duduknya, berlari menuju kelas sambil tersenyum menoleh dan melambaikan tangan ke arah Dinka membuat Dinka merasa seolah mau pergi jauh saja.

Untunglah dia mau masuk kelas, tapi apa katanya tadi 'kalau yang cantik udah ngomong? Bakal dilaksanakan' Ada-ada saja, memangnya ini upacara harus dilaksanakan? Entahlah tapi itu membuat Dinka tersenyum dengan menundukkan kepalanya yang membuat rambut panjangnya yang terurai mulai menutupi wajahnya, semoga saja tingkah Dinka tidak membuat Gea dan Tirni curiga.

"Lo jangan sampai baper ke dia Din," kata Tirni.

"Entar lo sakit hati," seru Gea.

Pikiran Dinka salah untuk saat ini, Gea dan Tirni ternyata dari tadi sudah memalingkan tatapan mereka ke arah Dinka memperhatikan gerak-gerik Dinka yang saat ini sedang salah tingkah.

"Kalau disuruh milih, gue lebih setuju lo sama Radit dari pada sama dia," sambung Gea.

Setuju-setuju untuk apa ini? Dinka hanya salah tingkah, apa tidak boleh? Dinka tidak memikirkan hal lebih. Lagi pula untuk sekarang Dinka tidak ingin menjalin hubungan, karena jika kakaknya tahu kalau Dinka pacaran dengan orang yang salah bisa habis orang itu dengan jurus bela diri yang dimiliki kakaknya. Itu hanya salah satu alasan Dinka.

Dan kenapa bawa-bawa Radit si tukang gombal itu? Kalau dipikir-pikir aneh juga rasanya. Padahal Dinka lebih menyukai orang yang rapi tidak seperti laki-laki tadi.

Radit, walau sering menjawab ucapan guru seperti tadi pagi. Radit adalah orang yang rapi dan cukup pintar. Untuk pintar itu Dinka tahu karena saat masuk pelajaran tadi, Radit bisa menjawab soal matematika dengan baik yang materinya baru saja diajari guru.

Tapi entah kenapa Dinka lebih terbawa perasaan oleh laki-laki itu dari pada Radit. Apa karena tatapan laki-laki itu seperti orang yang disukainya? Tapi masa sih hanya karena itu. Ah Dinka tidak mau memikirkannya.

"Gue gak baper sama dia, lagi pula lo setuju-setuju an apaan? Gue gak bakal milih siapa-siapa," ucap Dinka dengan perasaan gugup. Tapi untunglah Gea dan Tirni tak curiga.

"and then! kenapa harus bawa-bawa Radit sih?" tanya Dinka dengan diselimuti rasa heran.

"Gosip udah nyebar kali," seru Tirni.

Dinka meringis miris, dirinya benar benar tak suka jadi bahan gosip. Dilihatnya laki-laki itu keluar lagi menghampiri Dinka.

"Dinka gue pinjem pulpen dong. Gue gak bawa pulpen." ujar laki-laki itu tanpa tahu malu.

Sambil merogoh dalam tasnya untuk mengambil pulpen. Dinka berseru. "Ke sekolah kok gak bawa pulpen? Isi tas lo emang apaan?"

"Tadi gue kira satu hari penuh jam kosong."

"Jam kosong atau sengaja gak bawa apa-apa karena mau bolos?"

"Jujur ya, tadi sih mau bolos. Hehe."

"Hahe hahe. Udah sana masuk lagi," ucap Dinka sambil memberikan pulpen.

"Pulpennya jangan sampai hilang," sambung Dinka.

"Iya, makasih ya," seru laki-laki itu sambil berbalik lari menuju ke arah kelasnya.

Dari jauh ternyata sejak tadi Radit diam-diam memperhatikan Dinka. Rasanya tidak suka melihat Dinka bersama orang lain, tapi saat ini Radit memilih untuk membiarkannya saja. Untuk saat ini saja.

Sedangkan Owen yang baru saja menghampiri Radit, merasa terheran melihat teman karibnya itu terlihat fokus akan sesuatu membuat Owen mengikuti arah pandang Radit dan mulailah Owen mengerti kemana arah tujuan tatapan Radit, "lo suka ya sama Dinka?" Tukas Owen sambil menepuk pundak Radit dengan keras yang menimbulkan tatapan mata yang mendengar menoleh ke arah kedua lelaki itu.

Radit yang mendapat pukulan keras di pundaknya refleks menaruh telapak tangannya dimana tempat pukulan Owen mendarat, "Aww." Ucap Radit sesekali menoleh ke arah Dinka yang syukurlah Dinka sepertinya tidak mendengar pukulan dan perkataan Owen.

Setelah memastikan Dinka tidak mendengar suara rusuh yang ditimbulkan temannya ini, Radit berbalik kepada Owen dan mulai menyerang belakang kepala Owen dengan telapak tangannya, "Itu mulut mau gue lempar minyak panas gak? lemes banget tuh mulut!."

Radit berucap sambil memberi isyarat kepada Owen untuk diam dengan telunjuk tangan yang berada di depan bibirnya. Owen mendapat isyarat itu langsung mengulumkan bibirnya sendiri seolah sadar bahwa dirinya terlalu ceplas-ceplos. 

"Dit, sini deh." Panggil Owen sembari memberi arahan dengan lambaian tangannya.

Radit yang tadi mengedarkan pandangannya kembali menoleh heran pada teman nya itu, "Apaan sih?" Gerutu Radit namun tetap melangkahkan kakinya mengikuti kemana Owen melangkah.

Setelah merasa jauh dari pendengaran orang-orang Owen mulai memberhentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah Radit yang sekarang memasang ekspresi bertanya. Owen mengangkat bicara, "Lo inget gak waktu kelas 5 SD? tentang Dinka?" tanya Owen dengan ambigu untuk didengar oleh Radit.

Radit sontak mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti pembicaraan Owen, "Dinka? 5 SD? emang ada gitu temen kita yang namanya Dinka? Perasaan gak ada deh."

Owen menghela napas, "Itu lah kepikunan lo. hati-hati loh lo sama dia. Bisa abis lo kena amukan emak lo." ucap Owen mengisyaratkan sebuah arti namun terdengar ambigu oleh Radit.

"Apaan sih? gak jelas banget."

Melihat Radit yang masih tidak mengerti akan arah pembicaraan ini membuat Owen merasa ini mungkin memang bukan waktu yang tepat untuk mengungkit kejadian 7 tahun lalu. "Udahlah gak jadi."

Radit menatap dengan cengo membuat Owen terlintas ide jahilnya, "sebenernya gue mau ngomong..." ucap Owen sambil berjalan ke belakang tubuh Radit yang memang mulai akan berjalan ke arah kelas.

Radit yang masih penasaran akan pembicaraan Owen yang sedari tadi ambigu terdengar di telinganya membuatnya ikut membalikan badannya dan mulai mengikuti langkah lamban Owen dan berujar, "ngomong apaan sih?"

"Tunggu." Ucap Owen sesekali berjalan mundur. "Lo harus hitung satu sampai tiga."

Tak ingin berdebat membuat Radit mulai mengikuti perintah Owen, "Satu.... Dua.... Ti"

pruuut... 

Belum selesai Radit berhitung sudah disambut dengan suara kentut Owen yang begitu terdengar dan disusul oleh bau yang menyengat. sementara pelaku yang kentut sudah berlari menuju kelas, "Owen sialaaaaan..." teriak Radit sembari mengejar temannya itu.

Dan terjadilah kejar-kejaran antara mereka berdua dan menjadi pusat perhatian karena sampai berlari ditengah lapangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status