[Mel, bisa datang ke rumah Mas tidak? Sudah hampir seminggu kamu tak ke sini.] Kukirimkan sebuah pesan singkat pada Amel. Aku tak merindukannya, hanya saja ada sesuatu yang ingin segera aku tuntaskan, makanya aku meminta Amel untuk segera datang ke rumah. Karena pada nyatanya, aku sedikit merindukan Melda dan Panji. Meskipun Melda memang tak sesegar Amel, tetapi kami sudah hidup bersama dengan cukup lama. Jadi, saat dia tak ada di sisiku, aku merasa begitu kesepian. Drrt ... drrt .... Gegas aku menatap layar gawai, memperhatikan sebuah pesan yang baru masuk. Akan tetapi, aku langsung menghela napas panjang, kala membaca balasan dari Amel. [Maaf, Mas. Aku tak bisa ke sana hari ini. Aku sedang mengerjakan tugas.] [Ayolah, Mel. Ini tak akan lama, kok. Biar Mas jemput, ya!] Aku masih bersikeras membujuk Amel. Aku harap anak ingusan itu akan luluh olehku. [Tidak bisa, Mas. Tugasku harus dikumpulkan esok hari, aku sudah ketinggalan banyak!] Lagi-lagi aku menghela napas panjang, kem
Hari ini aku akan pergi ke rumah, berniat mengambil barang-barang milikku dan Panji yang memang belum sempat kami bawa ke rumah baru.Maka dari itu, sengaja aku menitipkan Panji pada Ibuku. Sementara itu, aku dan Rifky berniat pergi ke rumah berdua saja.Aku memang membawa kunci cadangan rumah, aku harap juga bila Mas Alif tak ada di rumah ketika aku sampai di sana. Aku malas bertatap muka dengannya."Mbak, kamu benar-benar akan pergi?" tanya Rifky ketika aku baru saja masuk ke mobil. Dari pandangan matanya, Rifky tampak ragu dengan keputusanku."Ya, aku benar-benar akan pergi. Kenapa?"Rifky menggeleng pelan, tak ada ciri-ciri kalau kami akan segera berangkat. Mengingat Rifky justru terdiam dengan raut wajah gusar."Ayo, cepat! Kenapa kamu malah terdiam?" tanyaku pada Rifky yang tak kunjung bergerak."Lebih baik Mbak tak usah pergi saja,
Setelah meninggalkan pasangan yang tengah dimabuk asmara. Aku pun segera bergegas berjalan menuju kamar Panji yang letaknya cukup jauh dari kamarku.Akan tetapi, saat aku melewati ruang kerja Mas Alif, aku sempat berhenti sejenak, menimang-nimang untuk masuk atau tidak."Ada apa, Mbak?"Aku menggeleng pelan, kemudian menyerahkan beberapa buah benda pada Rifky yang tengah memegang koper berukuran besar."Tadi Mbak tak melihat, bila laptop Mas Alif ada di kamar, kemungkinan ada di ruang kerjanya!"Kedua bola mata Rifky tak kalah berbinar, adikku itu langsung mengangguk seraya menoleh, mengamati sekeliling."Ya, sudah, cepat Mbak masuk! Aku akan berjaga di sini, takut tiba-tiba Alif datang!""Baiklah."Gegas aku meraih handle pintu, mendorongnya secara perlahan, sehingga menimbulkan suara decitan kecil.&nbs
Beberapa saat setelah Rifky meringkuk Amel, tiba-tiba saja Mas Alif datang, pria itu tak banyak bicara, bahkan ketika Amel meminta pertolongan sekalipun.Mas Alif seperti orang yang tengah bimbang. Antara menolong Amel atau justru sebaliknya, karena memang raut wajahnya seperti mengatakan hal tersebut."Mas, tolong, Mas ... tolong!" pinta Amel dengan wajah memelas, derai air mata kembali membanjiri pipinya.Akan tetapi, Mas Alif justru diam saja. Pria itu tak berkutik sedikitpun, dia malah menggaruk tengkuknya dengan bibir yang seperti ragu-ragu untuk dia buka."Mas, kok, diam saja? Apa kamu tak berniat menolongku?! Mas, katanya kamu cinta padaku. Tetapi, kenapa kamu malah begini!"Amel terus saja meraung, meminta pertolongan pada Mas Alif. Tetapi, pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu masih saja tak bergeming.Hingga tiba-tiba pagar rumahku terbuka, menampilkan dua orang ibu-ibu dengan raut wajah penasaran."Ada apa ini?" tanya Santi--salah satu tetanggaku. Aku dan Santi cuku
"Bu, kok, lama?" tanya Panji dengan setengah berteriak.Aku yang baru turun dari mobil, segera menarik kedua sudut bibirku ke atas, kemudian menggendong sebuah tas hitam yang aku bawa dari rumah."Soalnya banyak barang yang harus Ibu dan pamanmu bereskan. Jadi, kami berada di rumah dengan cukup lama."Panji yang tengah duduk di salah satu kursi yang terletak di teras rumah, sedikit mencondongkan badannya dengan mata memicing."Tetapi, tak ada sesuatu yang terjadi di rumah, 'kan?""Tidak ada, Nak!" dalihku, berusaha menyembunyikan semuanya dari Panji.Aku tak ingin, bila Panji justru semakin kepikiran, seandainya aku menceritakan semuanya padanya.Ya, meskipun masalah ini sedikit sepele, tetap saja aku rasa Panji tak harus tahu, kondisinya belum sepenuhnya pulih."Ibu, tak bohong, 'kan?" tanya Panji dengan mata m
Aku sedang memasak di dapur, menyiapkan makanan untuk makan siang Panji dan diriku sendiri.Karena kami hanya tinggal berdua saja. Jadi, aku memasak tak terlalu banyak makanan, takut tak habis dan malah terbuang, sayang sekali, 'kan?Sementara itu, Panji sedang berada di teras rumah. Katanya ingin menikmati hembusan angin di temani secangkir teh hangat.Akan tetapi, saat aku hendak menggoreng ikan, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari luar rumah."Pergi kamu dari sini!"Gegas aku mematikan kompor, kemudian berlari keluar rumah, berniat menghampiri Panji."Ada apa, Nak?" tanyaku setengah berteriak. Meskipun hanya berlari sedikit saja, tetapi dadaku begitu sesak. Aku sampai ngos-ngosan dibuatnya.Namun, seketika saja aku tertegun di tempat, pandanganku terpaku pada satu sosok yang tengah berdiri tak jauh dariku.
Di dalam rumah, aku masih saja tertegun tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun. Bukannya aku syok karena Panji telah memukuli Bapaknya.Akan tetapi, aku syok karena ingatan masa lalu masih saja berputar di kepalaku tanpa henti, layaknya video yang terus saja diulang-ulang.Aku sempat terpejam seraya memijat pelipisan yang sedikit berdenyut, kemudian berbalik badan, berniat melangkah menuju kamar tidur."Ibu, kenapa?" tanya Panji yang berhasil menghentikan pergerakan langkahku.Aku menggeleng pelan, kemudian berlalu menuju kamar tidur. Tetapi, baru saja aku sampai diambang pintu, tiba-tiba Panji menghampiri."Apa jangan-jangan Ibu marah karena aku memukuli, Bapak?"Namun, belum sempat aku membuka mulut, Panji sudah lebih dulu mendahuluinya."Sebenarnya apa yang Ibu pikirkan, Ibu ingin aku seperti apa atau jangan-jangan selama ini Ib
"Dasar j*l*Ng cilik, cepat keluar kamu, Amel!" teriak seseorang dari luar rumah, membuatku yang tengah berada seorang diri di rumah, meringkuk di dalam kamar seraya menutup telinga rapat-rapat.Teriakkan itu sudah aku dengar dari beberapa menit yang lalu, membuatku amat sangat ketakutan.Belum lagi sesekali suara pintu di gedor dari luar, membuat rasa takutku semakin menjadi-jadi."Memang dasar, buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Kalau Ibunya pekerjaan hiburan malam, maka anaknya pun tak kalah berbeda,” hina seorang ibu-ibu yang cukup aku kenal."Benar sekali! Kalau Ibunya j*l*ng, pasti anaknya pun sama.""Hati-hati saja, bu-ibu. Jaga suami sama anak kita baik-baik, jangan sampai bergaul sama mereka!" sambung yang lainnya, membuat dadaku semakin bergemuruh, menahan amarah."Betul! Bisa-bisa suami kita diembat, terus anak kita malah ikut-ikutan si Amel.