Share

Selingkuhan Suamiku

Seperti hari-hari biasanya, Amel selalu datang ke rumahku tiap kali pulang sekolah. Tak ada hal lain yang dia lakukan, selain menumpang makan dan internet yang ada di rumahku.

Katanya sih, di rumah Amel tak ada sambungan internet, sehingga dia lebih sering berada di rumahku.

"Mel, Tante boleh ngomong sesuatu, gak?" 

"Apa, Tante?"

Amel yang tengah bermain ponsel, hanya menjawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari benda pipih tersebut.

"Jangan sering-sering ke sini, ya. Tante, gak enak sama tetangga, mereka sering membicarakan kalian."

"Biarin ajalah, Tante. Lagian Amel ke sini juga bukan buat maksiat, tapi mengerjakan tugas!"

"Kamu yakin, Amel?"

Sontak, Amel mendongak, menyoroti kedua netraku lekat.

"Tentu saja, Tante. Memangnya Tante pernah melihat aku aneh-aneh sama Panji?"

"Tidak."

Aku menghela napas panjang, lalu bergegas pergi dari hadapan Amel. Kadang aku merasa muak pada anak tersebut, karena tiap kali dinasehati selalu saja menjawab dengan seenaknya.

Lagipula, jawaban anak gadis itu cukup lucu! Hampir saja tawaku pecah, tetapi untungnya aku masih bisa menahan diri, bahaya kalau tak bisa.

 ***

"Panji!" sahutku seraya menghampiri anakku yang baru keluar dari kamarnya, habis berganti pakaian.

"Ada apa, Bu?"

"Jangan sering-sering bawa Amel ke rumah, ya!"

Panji tak langsung menjawab, melainkan malah menunduk seraya menggaruk tengkuknya.

Karena penasaran, aku pun justru memiringkan wajah, berusaha membaca eskpresi wajah yang Panji perlihatkan.

"Sebenarnya aku sudah bilang pada Amel, Bu. Tetapi ...."

"Apa?" tanyaku begitu cepat. Tak sabar ingin segera mendengar jawaban anakku.

"Amel, suka bersikeras ingin datang ke sini terus, Bu!" 

Dari nada bicara Panji, dapat kupastikan kalau anakku itu juga sudah sedikit kesal dengan Amel, tidak seperti dulu yang selalu membela Amel, bila aku nasehati. 

Mungkin Panji sudah mendengar, omongan para warga yang dilontarkan langsung untuknya. Sehingga dia berpikir ulang. 

"Kenapa kamu tak berusaha mencegahnya, Nak!"

"A-aku tak bisa, Bu."

"Kenapa?" Tanpa sadar aku berteriak, hingga membuat Panji memejamkan mata.

Cukup lama aku dan Panji saling terdiam. Pergolakan batinku kembali memuncak, bayangan demi bayangan video yang aku lihat tempo hari kembali berputar di kepala.

Ya Tuhan! Bisa-bisa aku g*la, bila terus teringat dengan kejadian tersebut.

"Cepatlah kamu keluar, Ibu ingin beristirahat!" Sembari memijat pelipisan, aku berjalan ke arah ranjang anakku, lalu menjatuhkan bobot tubuh di sisinya.

"Apa yang tengah Ibu pikirkan?"

Baru saja aku terpejam, Panji seakan-akan memaksaku untuk kembali membuka mata.

"Tidak ada, cepatlah keluar!"

"Katakan padaku, Bu!" desak Panji membuat darahku kembali mendidih.

Akan tetapi, sebisa mungkin aku menahan amarah yang siap meledak kapanpun itu. Aku tak ingin, bila Panji justru menjadi luapan kekesalanku.

"Keluarlah!"

Pada akhirnya, Panji pun menurut. Dia mengangguk pelan seraya keluar dari kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

***

"Mas, ke mana kue kering dan buah-buahan yang ada di kulkas, kok, gak ada?"

Mas Alif yang tengah bersantai di sofa, dengan entengnya menjawab dengan nada yang amat sangat santai.

"Tadi di bawa sama Amel, katanya di rumahnya gak ada buah-buahan."

Sontak, aku langsung menutup pintu kulkas dengan kasar dan menghampiri Mas Alif yang tengah sibuk dengan gawainya.

"Mas, kenapa kamu kasih ke Amel, sih. Aku mau bawa itu ke rumah Ibu!"

"Tinggal beli lagi, apa susahnya! Sesama manusia harus saling berbagi," ucap Mas Alif dengan bijaknya.

"Berbagi katamu. Lantas, kenapa kamu malah marah-marah, ketika aku memberikan dua piring makanan pada seorang pemulung dan anaknya?"

Mas Alif yang tengah bersandar pada kursi, lantas menjauhkan punggungnya, lalu menatap ke arahku lekat.

"Lah, mereka 'kan gak kita kenal!"

"Memangnya kamu kenal sama, Amel?" tanyaku tak kalah sengit.

Di mana Mas Alif justru terdiam, lalu mengalihkan kembali perhatiannya pada gawai.

"Sudahlah, aku malas denganmu! Makin hari, malah makin suka marah-marah. Tak betah aku berada di rumah."

Detik berikutnya, Mas Alif bangkit dari kursi, dari melangkah keluar rumah, meninggalkan aku seorang diri di dapur.

Aku sendiri tak kehabisan akal, di mana aku langsung bergegas mengikutinya dari belakang secara diam-diam.

Karena sebelumnya Mas Alif menjawab ucapanku tadi, ekor mataku secara tak sengaja melihat ada sebuah panggilan masuk ke gawainya.

"Ada apa, hm?" 

Seketika saja, keningku mengkerut, kala mendengar nada bicara Mas Alif yang berbuat seratus delapan puluh derajat.

"Mau berapa? Biar nanti Mas kirimkan."

Deg!

Aku langsung meremas dadaku kasar, berusaha meredam rasa sesak yang tiba-tiba aku rasakan.

Pantas saja, selama ini Mas Alif pelit dan perhitungan padaku, ternyata itulah sebabnya.

"Iya, Mel. Nanti Mas kirimkan, bagaimana buah dan kue keringnya, sudah kamu nikmati, 'kan. Enak rasanya?"

Tubuhku membeku di tempat, detik berikutnya nyawaku seperti perlahan meninggalkan raga.

Aku sungguh tak bisa berpikiran jernih, ketika mendengar obrolan Mas Alif dengan Amel.

Ya, Amel. Kekasih anakku yang tak lain juga adalah selingkuhan suamiku. Di mana video panas keduanya, memenuhi laptop Mas Alif. Entah, sudah berapa lama mereka mengkhianatiku dan melakukan hubungan badan.

Gadis yang terlihat polos itu, Ternyata adalah selingkuhan seorang pria berusia empat puluh lima tahunan.

Sungguh, sangat miris!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status