Share

Dendam

Author: Gyuu_Rrn
last update Huling Na-update: 2022-06-24 18:46:50

Semakin banyak aku mendengar obrolan manis antara Mas Alif dan Amel. Hatiku hancur berkeping-keping, air mataku pun turut luruh membasahi pipi dengan derasnya.

Tubuhku bersandar pada tembok, hingga saat aku hendak kehilangan keseimbangan, tiba-tiba saja sebuah tangan menangkap punggungku.

"Apa yang Ibu lakukan?"

Sontak, aku membuka mata, kemudian mengerjap selama beberapa saat.

"Pa-Panji, apa yang kamu lakukan?" tanyaku tergagap-gagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat.

"Aku yang bertanya pada Ibu. Sebenarnya apa yang Ibu lakukan?"

Aku dan Panji malah saling melontarkan pertanyaan yang sama dengan nada pelan, malahan hampir persis seperti sebuah bisikan.

"Sudah, ayo cepat pergi dari sini!"

Tanpa menunggu aku membuka suara, Panji sudah lebih dulu menarik tanganku, membawaku menuju dapur.

Dengan cekatan, Panji menuangkan segelas air putih dan segera menyodorkannya padaku.

"Ibu, tidak haus, Nak!" ucapku seraya menggeleng, menolak segelas air putih yang Panji sodorkan.

"Diminum dulu, Bu!" 

Meskipun aku menolak, tetapi Panji tetap bersikeras meminta untuk minum.

"Ya, sudah. Terima kasih banyak, Nak."

"Apa yang Ibu lakukan di sana?"

Baru saja aku minum seteguk air, tiba-tiba Panji melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah berulang kali aku dengar.

Aku sempat menelan ludah, lalu meletakkan kembali gelas ke atas meja. Kedua tanganku pun turut terlipat di dada.

"Tidak ada yang Ibu lakukan," jawabku seraya memalingkan wajah, menghindari tatapan mata Panji. 

"Ibu, jangan bohong padaku!"

"Ibu, tak bohong, Nak!" 

Terdengar helaan napas keluar dari mulut Panji. Diam-diam ekor mataku melirik ke arahnya sekilas, memperhatikan raut wajahnya yang sedikit berbeda dari biasanya.

"Kenapa Ibu tak coba bilang yang sejujurnya saja padaku."

"Apa maksudmu, Nak?"

Untuk yang kedua kalinya, kulihat Panji kembali menarik napas, tak lama kemudian dia bangkit dari duduknya, lalu menarik sebuah kursi yang terletak di sampingku.

"Aku tahu, Ibu tengah menyembunyikan sesuatu dariku, 'kan?"

"A-apa maksudmu, Nak?"

Kuusahakan ekspresi wajahku tetap sama, agar Panji tak curiga ataupun penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi padaku.

"Mau sampai kapan Ibu menyembunyikannya dariku?"

Aku kembali menelan ludah, lalu secara perlahan membasahi bibirku sendiri.

Jujur, untuk saat ini aku sangat amat gugup, sampai tak berani bertatap langsung dengan Panji.

"Ibu, tak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan, Nak!"

Lagi-lagi Panji menghela napas, tetapi kali ini sampai meremas rambutnya kasar, hingga beberapa helai berjatuhan.

"Apa Ibu mau aku yang mengatakannya saja?" tanya Panji dengan nada putus asa.

Seketika saja, dadaku berdetak jauh lebih kencang dari biasanya. Peluh pun terasa mulai membanjiri tubuh.

Kuberanikan diri untuk menoleh, menatap kedua bola mata Panji dengan intens. Tetapi, bukannya merasa baik, aku malah semakin gugup.

"Panji, Ibu--"

"Bu, tolong jangan menahannya seorang diri lagi!" Panji memotong ucapanku, membuat aku semakin terpaku di tempat.

"Aku tahu, kalau Ibu sudah mengetahui soal permainan antara Bapak dan Amel, 'kan?"

Deg!

Tubuhku membeku di tempat, tenggorokan tercekat dengan lidah yang ikut kelu. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun, kala Panji menuturkan hal yang paling aku takutkan.

Berbagai ribu pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku, berputar seperti tak tahu caranya untuk berhenti.

"Nak, sejak kapan?" 

Aku bertanya dengan lirih, lalu mengenggam kedua tangan Panji erat. Cairan bening yang sempat kering, kembali meleleh.

Detik berikutnya, Panji balik mengenggam lenganku erat, seperti turut memberikan sebuah kekuatan untukku.

"Setengah tahun yang lalu, Bu. Tetapi--"

"Tetapi, kamu malah menahannya seorang diri, Panji?" 

Nada bicaraku bergetar hebat, gigi pun ikut bergemertuk, menahan rasa sakit, marah dan berbagai perasaan lainnya.

"Maafkan aku, Bu. A-aku tak bermaksud melakukannya, hanya saja aku tak tega pada Ibu."

Aku yang sudah tak sanggup lagi berbicara, segera menarik Panji ke dalam pelukan, meluapkan segala kepedihan yang menyesakkan dada.

Di luar dugaan, Panji yang biasanya terlihat kuat dan ceria, justru ikut menangis sesenggukan dalam pelukanku.

"Maafkan aku, Bu," lirih Panji di sela-sela isak tangis.

"Tak ada yang perlu kamu sesalkan, Nak. Maafkan Ibu, karena tak mengetahuinya sejak awal. Kamu pasti sangat terluka, Nak."

"Tidak, Bu. Ini salahku."

Tangisku dan Panji kembali pecah. Aku harap, Mas Alif tidak tahu menahu akan hal ini, karena akan sulit bagiku dan Panji untuk berdusta di saat seperti ini.

***

"Bu, aku memiliki banyak bukti. Kita bisa menuntut Bapak."

Di saat suasana sudah jauh lebih tenang, Panji mulai mengatakan sesuatu padaku.

"Bukti apa saja yang kamu miliki, Nak?"

"Banyak, Bu. Mulai dari bukti percakapan, foto, bahkan ... video sekaligus." Panji terdengar ragu-ragu ketika mengatakan kalimat terakhir.

Ya Tuhan, pasti berat sekali bagi anakku untuk menanggung semuanya sendiri.

Tak bisa aku bayangkan, bagaimana terlukanya hati Panji, kala tahu bila kekasihnya adalah simpanan Bapaknya sendiri.

"Bu, kita bisa menuntut Bapak. Kita bisa membalaskan semua dendam padanya," sambung Panji dengan begitu antuasias.

Bisa aku pahami, kenapa Panji begitu antusias, sehingga senyumnya tampak jauh lebih cerah.

Akhirnya aku pun mengangguk, menyetujui saran anakku dengan tangan terbuka.

"Ya, Nak, kita bisa lakukan hal itu. Kita bisa membalaskan dendam kita, agar--"

"Dendam apa yang kalian maksud?"

Sontak, aku dan Panji menoleh secara serentak, menatap ke arah Mas Alif yang tengah berdiri di ujung ruangan.

Deg!

Apa jangan-jangan Mas Alif mendengarkan semua obrolanku dan Panji? Tidak, aku harap jangan!

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Urusan Pribadi

    Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Bersandiwara

    Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Pulang

    Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Pemakaman

    Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Tangis yang Benar-benar Pecah (Panji POV)

    Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Kabar Duka (2)

    Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status