Semakin banyak aku mendengar obrolan manis antara Mas Alif dan Amel. Hatiku hancur berkeping-keping, air mataku pun turut luruh membasahi pipi dengan derasnya.
Tubuhku bersandar pada tembok, hingga saat aku hendak kehilangan keseimbangan, tiba-tiba saja sebuah tangan menangkap punggungku.
"Apa yang Ibu lakukan?"
Sontak, aku membuka mata, kemudian mengerjap selama beberapa saat.
"Pa-Panji, apa yang kamu lakukan?" tanyaku tergagap-gagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat.
"Aku yang bertanya pada Ibu. Sebenarnya apa yang Ibu lakukan?"
Aku dan Panji malah saling melontarkan pertanyaan yang sama dengan nada pelan, malahan hampir persis seperti sebuah bisikan.
"Sudah, ayo cepat pergi dari sini!"
Tanpa menunggu aku membuka suara, Panji sudah lebih dulu menarik tanganku, membawaku menuju dapur.
Dengan cekatan, Panji menuangkan segelas air putih dan segera menyodorkannya padaku.
"Ibu, tidak haus, Nak!" ucapku seraya menggeleng, menolak segelas air putih yang Panji sodorkan.
"Diminum dulu, Bu!"
Meskipun aku menolak, tetapi Panji tetap bersikeras meminta untuk minum.
"Ya, sudah. Terima kasih banyak, Nak."
"Apa yang Ibu lakukan di sana?"
Baru saja aku minum seteguk air, tiba-tiba Panji melontarkan sebuah pertanyaan yang sudah berulang kali aku dengar.
Aku sempat menelan ludah, lalu meletakkan kembali gelas ke atas meja. Kedua tanganku pun turut terlipat di dada.
"Tidak ada yang Ibu lakukan," jawabku seraya memalingkan wajah, menghindari tatapan mata Panji.
"Ibu, jangan bohong padaku!"
"Ibu, tak bohong, Nak!"
Terdengar helaan napas keluar dari mulut Panji. Diam-diam ekor mataku melirik ke arahnya sekilas, memperhatikan raut wajahnya yang sedikit berbeda dari biasanya.
"Kenapa Ibu tak coba bilang yang sejujurnya saja padaku."
"Apa maksudmu, Nak?"
Untuk yang kedua kalinya, kulihat Panji kembali menarik napas, tak lama kemudian dia bangkit dari duduknya, lalu menarik sebuah kursi yang terletak di sampingku.
"Aku tahu, Ibu tengah menyembunyikan sesuatu dariku, 'kan?"
"A-apa maksudmu, Nak?"
Kuusahakan ekspresi wajahku tetap sama, agar Panji tak curiga ataupun penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi padaku.
"Mau sampai kapan Ibu menyembunyikannya dariku?"
Aku kembali menelan ludah, lalu secara perlahan membasahi bibirku sendiri.
Jujur, untuk saat ini aku sangat amat gugup, sampai tak berani bertatap langsung dengan Panji.
"Ibu, tak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan, Nak!"
Lagi-lagi Panji menghela napas, tetapi kali ini sampai meremas rambutnya kasar, hingga beberapa helai berjatuhan.
"Apa Ibu mau aku yang mengatakannya saja?" tanya Panji dengan nada putus asa.
Seketika saja, dadaku berdetak jauh lebih kencang dari biasanya. Peluh pun terasa mulai membanjiri tubuh.
Kuberanikan diri untuk menoleh, menatap kedua bola mata Panji dengan intens. Tetapi, bukannya merasa baik, aku malah semakin gugup.
"Panji, Ibu--"
"Bu, tolong jangan menahannya seorang diri lagi!" Panji memotong ucapanku, membuat aku semakin terpaku di tempat.
"Aku tahu, kalau Ibu sudah mengetahui soal permainan antara Bapak dan Amel, 'kan?"
Deg!
Tubuhku membeku di tempat, tenggorokan tercekat dengan lidah yang ikut kelu. Aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun, kala Panji menuturkan hal yang paling aku takutkan.
Berbagai ribu pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku, berputar seperti tak tahu caranya untuk berhenti.
"Nak, sejak kapan?"
Aku bertanya dengan lirih, lalu mengenggam kedua tangan Panji erat. Cairan bening yang sempat kering, kembali meleleh.
Detik berikutnya, Panji balik mengenggam lenganku erat, seperti turut memberikan sebuah kekuatan untukku.
"Setengah tahun yang lalu, Bu. Tetapi--"
"Tetapi, kamu malah menahannya seorang diri, Panji?"
Nada bicaraku bergetar hebat, gigi pun ikut bergemertuk, menahan rasa sakit, marah dan berbagai perasaan lainnya.
"Maafkan aku, Bu. A-aku tak bermaksud melakukannya, hanya saja aku tak tega pada Ibu."
Aku yang sudah tak sanggup lagi berbicara, segera menarik Panji ke dalam pelukan, meluapkan segala kepedihan yang menyesakkan dada.
Di luar dugaan, Panji yang biasanya terlihat kuat dan ceria, justru ikut menangis sesenggukan dalam pelukanku.
"Maafkan aku, Bu," lirih Panji di sela-sela isak tangis.
"Tak ada yang perlu kamu sesalkan, Nak. Maafkan Ibu, karena tak mengetahuinya sejak awal. Kamu pasti sangat terluka, Nak."
"Tidak, Bu. Ini salahku."
Tangisku dan Panji kembali pecah. Aku harap, Mas Alif tidak tahu menahu akan hal ini, karena akan sulit bagiku dan Panji untuk berdusta di saat seperti ini.
***
"Bu, aku memiliki banyak bukti. Kita bisa menuntut Bapak."
Di saat suasana sudah jauh lebih tenang, Panji mulai mengatakan sesuatu padaku.
"Bukti apa saja yang kamu miliki, Nak?"
"Banyak, Bu. Mulai dari bukti percakapan, foto, bahkan ... video sekaligus." Panji terdengar ragu-ragu ketika mengatakan kalimat terakhir.
Ya Tuhan, pasti berat sekali bagi anakku untuk menanggung semuanya sendiri.
Tak bisa aku bayangkan, bagaimana terlukanya hati Panji, kala tahu bila kekasihnya adalah simpanan Bapaknya sendiri.
"Bu, kita bisa menuntut Bapak. Kita bisa membalaskan semua dendam padanya," sambung Panji dengan begitu antuasias.
Bisa aku pahami, kenapa Panji begitu antusias, sehingga senyumnya tampak jauh lebih cerah.
Akhirnya aku pun mengangguk, menyetujui saran anakku dengan tangan terbuka.
"Ya, Nak, kita bisa lakukan hal itu. Kita bisa membalaskan dendam kita, agar--"
"Dendam apa yang kalian maksud?"
Sontak, aku dan Panji menoleh secara serentak, menatap ke arah Mas Alif yang tengah berdiri di ujung ruangan.
Deg!
Apa jangan-jangan Mas Alif mendengarkan semua obrolanku dan Panji? Tidak, aku harap jangan!
***
"Nak, apa Bapakmu akan benar-benar percaya pada perkataan kamu tempo hari?"Aku dan Panji yang tengah berada di ruang tengah, sesekali mengobrol dengan suara rendah, takut tiba-tiba Amel yang tengah pamit ke kamar mandi kembali datang."Sudah, Ibu jangan khawatir!" Kedua bola mata Panji ikut berputar, seperti tengah mengawasi sesuatu. "Amel, datang!" peringat Panji pada akhirnya.Aku pun sempat berdehem, membersihkan kerongkongan yang terasa tercekat.Layaknya hati-hati biasa, Amel pasti akan mampir ke rumahku. Sekarang aku paham, perselingkuhan itu tercipta karena aku lebih sering berada di toko sembako di bandingkan di rumah.Malahan aku tak sadar, bila tiap kali Amel datang ke rumah, sesekali kulihat bila Panji sering datang ke toko, misalnya untuk mengambil makanan ataupun mengantar pesanan.Ya Tuhan, begitu besarnya 'kah rasa percayaku pada Mas Alif, karena berpikir kalau kami sudah lama menikah dan dia tak akan macam-macam?"Mel, nanti malam Tante mau adakan acara makan-makan gi
Kami berempat berdiri secara berhadapan. Amel sempat tersenyum canggung padaku, tak seperti Rani yang justru mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Andin, kenalin ini Bu Rani dan ini Amel, pacarnya Panji.""Apa, pacarnya Panji?"Andin terperanjat, keningnya mengkerut dengan mulut yang menganga. Selama ini, aku memang tak pernah menceritakan soal hubungan Panji pada siapapun, termasuk Andin."Iya, anakku masih sekolah udah punya pacar, kayak kamu dulu!""Lah, kenapa malah bawa-bawa aku, sih!" hardik Andin seraya menatap Rani dan Amel dengan sinis."Pasti kamu goda Panji duluan, 'kan?" sambung Amel, melontarkan sebuah pertanyaan pada Amel."Maksud, Tante apa?" Amel justru balik bertanya, tentunya dengan nada rendah. "Sudah, lupakan!"Andin memang terkenal cukup angkuh dan blak-blakkan, makanya aku begitu bersemangat, ketika tahu Andin pulang ke tanah air."Maafkan Andin, ya, Bu Rani, Amel. Dia orangnya memang seperti itu, tetapi dia baik, kok!"Bu Rani tak menanggapi ucapanku. Wanita itu
"Tunggu!"Aku yang baru saja hendak menyalakan laptop, tiba-tiba mendongak, menatap Panji yang sudah berdiri dari kursinya.Panji tersenyum penuh arti, lalu berjalan ke arahku yang masih mematung di tempat."Biar aku saja yang lakukan, Ibu bisa duduk!""Tidak usah, Nak. Biar Ibu saja," tolakku secara halus.Akan tetapi, Panji tak bergeming, dia justru menggeleng cepat dan melangkah ke samping tubuhku."Karena ini acara ulang tahun pernikahan Ibu dan Bapak. Jadi, Ibu hanya tinggal menonton saja, biar aku yang memberikan kejutan ini pada kalian!"Panji begitu bersikeras ingin melakukannya sendiri, hingga pada akhirnya aku mengangguk, mengalah dari anakku sendiri."Jadi, silahkan Ibu duduk kembali di samping, Bapak," ucap Panji padaku yang perlahan mulai menjauhinya."Baiklah, lakukan sesukamu, Panji.""Tentu, Bu!"Sebenarnya apa yang aku dan Panji obrolkan kali ini, adalah salah satu bagian dari skenario yang kami buat. Namun, aku tak menyangka, bila apa yang aku dan Panji lakukan cuku
Ibu mertuaku bangkit dari duduk dengan kasar, matanya membulat, dadanya kembang-kempis dengan gigi yang bergemertuk hebat."Mau ke mana kalian?!" Ibu mertuaku berteriak, ketika melihat Amel dan Rani hendak berdiri."Diam kalian dan jelaskan semuanya padaku, termasuk dirimu, Alif!" Sesekali aku melirik ke arah Panji, di mana anak laki-lakiku itu masih berdiam diri di tempat, menatap laptop dengan tatapan kosong.Perlahan aku bangkit dari duduk, menghampiri Panji yang tiba-tiba menunduk, menyembunyikan raut wajah kecewanya."Nak, kamu baik-baik saja, 'kan?""Aku baik-baik saja, Bu," lirih Panji tanpa mendongak sedikitpun.Aku adalah Ibunya Panji, wanita yang melahirkannya dan mengurusnya hingga sebesar ini.Jadi, aku tahu betul dan bisa merasakan kesedihan yang tengah Panji pendam seorang diri.Sebagai seorang Ibu dan wanita yang turut menjadi korban, aku pun segera merangkul Panji, membawanya dalam pelukan. Barulah beberapa saat kemudian, kurasakan tubuh Panji bergetar hebat, bersamaa
Malam semakin larut, suasana pun semakin mencekam. Mungkin tetangga kami di luar sana mengira, kalau kami tengah menikmati acara dengan keluarga.Akan tetapi, tak ada satupun yang mereka tahu, bila acara malam ini justru berubah menjadi sebuah bencana. Di mana sorot mata masing-masing orang hampir sama.Penuh kebencian, dendam, serta amarah yang menggebu-gebu."Rasanya aku ingin mati," lirih Ibu mertuaku, menarik perhatian semua orang untuk menoleh padanya.Aku yang merasa amat sangat bersalah, segera melepas rangkulanku pada Panji yang masih tak henti-hentinya menangis, lalu menghampiri Ibu mertuaku."Ibu, maafkan aku."Ibu mertuaku menoleh, kedua alisnya saling bertautan, tak lama kemudian dia menggeleng pelan."Kenapa kamu meminta maaf, Melda. Memangnya apa salahmu? Kamu tak memiliki kesalahan apapun, Sayang.""Tet
Aku sedikit mengerjapkan mata, kala indra penciumanku mulai menghirup aroma obat-obatan.Cukup lama aku berada dalam kondisi tersebut, hingga pada akhirnya aku benar-benar membuka mata secara sempurna, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan ruangan berukuran sedang yang didominasi oleh warna putih."Astaga, kenapa aku--"Naas, saat aku hendak bangkit dari posisi tertidur, kepalaku langsung berdenyut, hingga aku pun memilih untuk mengurungkan niat dan memijat pelipisan perlahan."Melda, kamu sudah sadar?"Sontak, aku menoleh ke sumber suara, menatap Ibu mertuaku yang perlahan berjalan menghampiri."Ibu, kenapa aku--" Tak lama mataku membulat sempurna, kala aku teringat akan suatu hal. "Aku harus bertemu Panji, aku harus menemuinya!"Tanpa menghiraukan rasa sakit yang semakin menyerang kepala, aku turun dari ranjang,
Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Kepalaku terlalu sibuk, memikirkan tentang ancaman Rifky--si anak ingusan yang justru di setujui oleh keluargaku.Aku sedikit tertunduk, meremas rambut dengan kasar, hingga beberapa helai berjatuhan. Tak terpikir olehku, apa yang ada di dalam kepala keluargaku, sehingga mereka memilih untuk menjerumuskan anaknya ke balik jeruji besi, tidak seperti keluarga yang lainnya.Di mana mereka akan membela anak mereka mati-matian, meskipun mereka tahu, bila anaknya telah berbuat salah."Ah, s*al!"Sempat kulirik Ayah sekilas, terlihat dia sedang tertidur pulas dengan posisi yang tampak tak nyaman, begitupun dengan Ibu dan Andin.Lalu, untuk Melda dan keluarganya, setahuku mereka kembali ke ruangan tempatnya di rawat tadi. Entah apa yang mereka lakukan di sana, aku tak tahu.Mengena
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?"Segera kubangkit dari kursi tunggu, kala seorang pria berjas putih lengkap dengan sebuah kacamata yang bertengger di hidungnya, keluar dari tempat Panji di rawat.Netraku masih berfokus pada dokter pria tersebut, menunggu jawabannya yang tak kunjung keluar.Tak tahu 'kah dokter itu, bila jantungku semakin berdetak kencang, hingga keringat dingin sebesar biji jagung pun tak luput membanjir tubuh."Alhamdulillah, Panji sudah sadarkan diri dan dia meminta saya untuk menyampaikan keinginannya.""Alhamdulillah," sahut semua orang secara bersamaan.Begitupun dengan diriku yang tak henti-hentinya mengucapkan syukur dalam hati seraya sesekali mengusap ujung mata yang berair."Apa keinginan anak saya, dok?" tanyaku cepat, tak sabar ingin kembali mendengar kabar baik lainnya lagi.