Share

kekecewaan Terdalam

Author: Gyuu_Rrn
last update Last Updated: 2022-06-24 18:45:42

Keesokan paginya, aku bergegas menemui Panji yang tengah berada di kamarnya. Kebetulan sekarang hari libur, jadi anakku tak pergi ke sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Tok ... tok ....

"Masuk!" sahut Panji dari dalam kamar.

Gegas aku meraih handle pintu dan menariknya secara perlahan. Sebelum masuk, aku sempat menyembulkan kepala dari belakang pintu.

"Kamu tak sibuk 'kan, Nak?"

Panji yang berbaring di atas ranjang dengan kacamata yang bertengger di hitungnya, tak luput dia pun memegang sebuah buku tebal.

"Tidak, Bu. Ada apa?"

"Boleh Ibu masuk?"

Tanpa ragu Panji pun mengangguk, bersamaan dengan itu dia bangkit dari posisi berbaring.

"Tentu saja, Bu. Masuk saja!"

Aku pun segera melangkah masuk ke kamar Panji, kemudian menutup pintunya perlahan.

Kami berdua sama-sama duduk di pinggir ranjang, di mana buku yang sempat Panji baca tergeletak di pangkuannya.

"Ada apa, Bu?" sambung Panji tak berbasa-basi.

Sebelum menjawab pertanyaan Panji, aku lebih dulu mengeluarkan gawai dari saku daster dan menunjukkan sebuah gambar pada Panji.

"Apa ini benar-benar rumah, Amel?"

Kulihat bila Panji meraih gawaiku perlahan, sorot matanya tertuju hanya pada satu titik dan jakunnya pun tampak naik-turun.

Cukup lama Panji terdiam dalam posisi yang sama, barulah dia sedikit bergeming kala aku menyentuh pundaknya perlahan.

"Ya, ini benar-benar rumah, Amel. Maafkan aku, Bu, karena tak sempat menceritakannya pada Ibu."

Aku menggeleng, lalu menepuk pundak Panji selama beberapa kali. 

"Bukan itu yang Ibu pikirkan, hanya saja Ibu ingin memastikan. Lalu, apa kamu pernah bertemu dengan Ibunya?"

"Pernah, Bu," tutur Panji padaku, membuat aku langsung tersenyum tipis.

"Lalu, bagaimana responnya padamu?"

Panji yang sempat menunduk, akhirnya mendongak. Ternyata dia sedang mengigit bibir bawahnya kuat.

"Dia baik padaku, Bu."

Aku pun mengangguk dan memilih untuk segera bangkit dari duduk, setelah sebelumnya meminta gawaiku kembali pada Panji.

"Hanya itu yang mau Ibu tanyakan. Sudah, lebih baik kamu lanjutkan membacanya, maaf sudah Ibu ganggu!"

"Tak apa-apa, Bu."

Aku tersenyum lebar, lalu bergegas melangkah dari kamar Panji dengan perasaan yang begitu campur aduk.

Pikiranku saat ini begitu berkecamuk, ada berbagai hal yang memenuhi kepala. Hingga tanpa sadar, sehabis keluar dari kamar Panji, aku terus memijat pelipisan.

"Sayang, kamu kenapa. Sakit, ya?"

Aku yang mendengar seseorang mengajukan pertanyaan padaku, tanpa sadar terperanjat dengan mata membulat.

"Ya ampun, Mas, aku kira siapa," ucapku seraya memejamkan mata dalam waktu yang cukup lama.

"Kamu lagi mikirin apaan, Sayang?"

"Tidak ada, Mas," balasku disertai gelengan kepala.

Namun, bukan Mas Alif namanya bila mudah percaya begitu saja. Terbukti darinya yang justru memajukan wajahnya, menipiskan jarak diantara kami, hingga napas kami berdua saling beradu satu sama lain.

Akan tetapi, seketika saja bayangan akan video yang berada di laptop Mas Alif kembali berputar di kepala. 

Sontak saja, aku mundur beberapa langkah sambil memijat pelipisan. Mataku pun tak luput terpejam, merasakan sakit yang tiba-tiba menghantam dada dan juga kepala.

"Sayang, kamu baik-baik saja, 'kan?"

Kurasakan sebuah tangan memegang kedua pundakku, lalu mengelusnya perlahan. 

Bukannya memberikan ketenangan, justru kontak fisik yang dilakukan Mas Alif membuat hatiku semakin berdenyut dan terasa di hantam ribuan bilah pedang.

"A-aku baik-baik saja, Mas. Aku sungguh baik-baik saja!"

Tanpa sadar, aku membentak Mas Alif, hingga kedua tangannya yang berada di pundakku terlepas secara spontan.

"Aku sungguh baik-baik saja, Mas. Aku hanya butuh istirahat!" 

Setelah mengulangi perkataan yang sama, aku pun segera berbalik, melenggang dari hadapan Mas Alif tanpa mempedulikan dirinya lagi.

Semakin lama aku berada di hadapan Mas Alif, semakin kuat pula ingatanku akan video tersebut.

"Ada apa, Pak, kok ribut-ribut?" 

Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara decitan pintu bersamaan dengan sebuah pertanyaan yang Alif lontarkan pada Mas Alif.

"Kamu bikin Ibu marah, Panji?"

Sontak, langkahku terhenti, ketika Mas Alif justru mengajukan pertanyaan pada Panji.

"Tidak, Pak. Aku dan Ibu baik-baik saja. Memangnya ada apa?"

"Ibumu seperti orang sakit dan itu terjadi sehabis keluar dari kamarmu, Panji!"

Aku sendiri masih terdiam di tempat, tak berbalik badan ataupun ikut menimpali obrolan keduanya.

"Mungkin Ibu butuh istirahat, Pak!" balas Panji dengan nada bicara sedikit malas.

"Hah, ada-ada saja!"

Namun, ternyata nada bicara Mas Alif jauh lebih kesal dari Panji. Di mana tak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin lama semakin menjauh.

"Bu ...."

Aku yang sempat terpejam, kemudian menoleh, menatap Panji yang justru menatapku penuh iba.

"Ada apa, Nak?"

"Ibu, baik-baik saja, 'kan?"

Panji melangkah ke hadapanku, dia menyoroti kedua netraku lekat.

"Ibu, baik-baik saja, Nak," dalihku pada Panji. Tak mungkin aku ceritakan semuanya pada dia. Mengingat, pasti akan menjadi beban pikirannya juga.

"Bu, jangan bohong!" pinta Panji padaku, kedua tangannya pun turut terulur, memegang pundakku erat.

"Aku tahu ada yang tengah Ibu sembunyikan dariku," tambah Panji yang berhasil membuat mataku melebar.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Urusan Pribadi

    Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Bersandiwara

    Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Pulang

    Duka masih terasa menyelimuti aku dan Panji, juga keluarga besar mendiang Mas Alif. Meskipun begitu kehidupan kami masih harus berjalan, karena memang inilah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi. Bagaimanapun itu, aku harus bisa mengikhlaskan semuanya dan tentunya memaafkan semua kesalahan mendiang Mas Alif."Melda, jadi kamu mau pulang hari ini?" tanya mantan Ibu mertuaku."Iya, Bu. Aku harus pulang hari ini, aku tak enak pada bosku, bila harus mengambil cuti lebih lama."Wanita paruh baya yang memakai gamis merah maroon itu pun mengangguk pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Baiklah kalau begitu, lagipula Ibu gak bisa memaksamu untuk tetap di sini. Tetapi, terima kasih karena sudah mau tinggal di sini, meskipun hanya tiga hari tiga malam saja.""Sama-sama, Bu. Aku harap Ibu dan Bapak sehat-sehat, Andin juga sama.""Iya, Nak. Kamu dan Panji juga. Kalau semisalnya kamu ingin ke sini, datang saja, ya, jangan ragu.""Iya, Bu. Sesekali aku dan Panji pasti akan datang ke s

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Pemakaman

    Acara pemakaman mendiang Mas Alif akan segera di laksanakan. Aku yang sedari tadi duduk di samping tubuhnya sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, sedikit terperanjat kala tak mendapati kebenaran Panji."Ya ampun, ke mana Panji?!" Aku sedikit memekik, sesekali ekor mataku mengamati sekeliling."Mencari siapa, Mbak?" tanya Andin yang baru datang dari dapur."Andin, apa kamu melihat Panji?"Sontak, Andin menggeleng pelan, dia yang awalnya berdiri segera menghampiri diriku. "Tidak, Mbak. Memangnya Panji tak ada di sini?""Tidak ada, Andin."Aku yang sudah cengeng, semakin bertambah cengeng, ketika mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Ketakutan yang ada di dalam diriku sedikit memuncak, kala mengetahui bila Panji tak ada di sekitarku. Kejadian beberapa waktu silam membuat aku sedikit trauma."Mbak, jangan menangis, lebih baik kita mencari Panji saja," saran Andin yang langsung aku jawab dengan anggukan pelan.Mantan Bapak mertuaku yang tengah duduk di sofa sambil sesekali m

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Tangis yang Benar-benar Pecah (Panji POV)

    Dengan langkah gontai, aku turun dari mobil yang terparkir tepat di halaman rumah warga, karena halaman rumah nenek sendiri penuh ddenga yang para pelayat.Bendera kuning terbentang, menandakan sedang berduka. Satu demi satu para pelayat ada yang datang, ada pula yang pergi. Sesekali ekor mataku melirik ke arah Ibu, menatapnya yang tengah menunduk dalam. Bisik demi bisik mulai terdengar di telinga."Bukannya itu Melda, ya?""Oh, iya, itu anaknya juga tuh, si Panji yang katanya sempat masuk rumah sakit.""Masuk rumah sakit?" tanya yang lainnya. Aku tak terlalu memperhatikan mereka, aku hanya mendengarnya saja."Iya, pas mendiang Alif ketahuan berselingkuh, secara dia berselingkuh sama kekasih anaknya.""G*la banget! Kalau aku jadi anaknya, aku tak sudi datang kemari."Aku sempat ingin melirik ke arah Ibu-ibu yang tengah bergosip ria di tengah berita duka ini. Tetapi, Ibu yang sepertinya juga mendengar hal tersebut, justru menarik tanganku dengan sedikit kasar, membawaku menjauh dari t

  • RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU    Kabar Duka (2)

    Drrt ... drrt ....Aku yang tengah mengendarai motor, merasa sebuah getara di saku hoodie. Dengan sengaja, aku menghentikan motor di pinggir jalan dan seger merogoh gawai.Tepat di layar ponsel, terpampang nama kontak Ibu. Aku sempat memicingkan mata, sebelum akhirnya membuka kunci ponsel, kemudian menggeser ikon telepon berwarna hijau dan segera menempelkan benda pipih itu di samping telinga."Halo, Bu. Ada apa?" sapaku pada melalui sambungan telepon."Panji, kamu di mana, cepatlah pulang."Sontak, aku langsung menyipitkan mata, kala mendengar suara Ibu yang cukup serak, seperti habis menangis, sangat berbeda dengan nada bicaranya yang seperti biasa."Aku masih di jalan, ada apa, Bu?""Bapakmu, Nak," lirih Ibu berhasil membuat jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kekhawatiran dalam diriku memuncak, takut Bapak kabur dari penja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status