Share

kekecewaan Terdalam

Keesokan paginya, aku bergegas menemui Panji yang tengah berada di kamarnya. Kebetulan sekarang hari libur, jadi anakku tak pergi ke sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Tok ... tok ....

"Masuk!" sahut Panji dari dalam kamar.

Gegas aku meraih handle pintu dan menariknya secara perlahan. Sebelum masuk, aku sempat menyembulkan kepala dari belakang pintu.

"Kamu tak sibuk 'kan, Nak?"

Panji yang berbaring di atas ranjang dengan kacamata yang bertengger di hitungnya, tak luput dia pun memegang sebuah buku tebal.

"Tidak, Bu. Ada apa?"

"Boleh Ibu masuk?"

Tanpa ragu Panji pun mengangguk, bersamaan dengan itu dia bangkit dari posisi berbaring.

"Tentu saja, Bu. Masuk saja!"

Aku pun segera melangkah masuk ke kamar Panji, kemudian menutup pintunya perlahan.

Kami berdua sama-sama duduk di pinggir ranjang, di mana buku yang sempat Panji baca tergeletak di pangkuannya.

"Ada apa, Bu?" sambung Panji tak berbasa-basi.

Sebelum menjawab pertanyaan Panji, aku lebih dulu mengeluarkan gawai dari saku daster dan menunjukkan sebuah gambar pada Panji.

"Apa ini benar-benar rumah, Amel?"

Kulihat bila Panji meraih gawaiku perlahan, sorot matanya tertuju hanya pada satu titik dan jakunnya pun tampak naik-turun.

Cukup lama Panji terdiam dalam posisi yang sama, barulah dia sedikit bergeming kala aku menyentuh pundaknya perlahan.

"Ya, ini benar-benar rumah, Amel. Maafkan aku, Bu, karena tak sempat menceritakannya pada Ibu."

Aku menggeleng, lalu menepuk pundak Panji selama beberapa kali. 

"Bukan itu yang Ibu pikirkan, hanya saja Ibu ingin memastikan. Lalu, apa kamu pernah bertemu dengan Ibunya?"

"Pernah, Bu," tutur Panji padaku, membuat aku langsung tersenyum tipis.

"Lalu, bagaimana responnya padamu?"

Panji yang sempat menunduk, akhirnya mendongak. Ternyata dia sedang mengigit bibir bawahnya kuat.

"Dia baik padaku, Bu."

Aku pun mengangguk dan memilih untuk segera bangkit dari duduk, setelah sebelumnya meminta gawaiku kembali pada Panji.

"Hanya itu yang mau Ibu tanyakan. Sudah, lebih baik kamu lanjutkan membacanya, maaf sudah Ibu ganggu!"

"Tak apa-apa, Bu."

Aku tersenyum lebar, lalu bergegas melangkah dari kamar Panji dengan perasaan yang begitu campur aduk.

Pikiranku saat ini begitu berkecamuk, ada berbagai hal yang memenuhi kepala. Hingga tanpa sadar, sehabis keluar dari kamar Panji, aku terus memijat pelipisan.

"Sayang, kamu kenapa. Sakit, ya?"

Aku yang mendengar seseorang mengajukan pertanyaan padaku, tanpa sadar terperanjat dengan mata membulat.

"Ya ampun, Mas, aku kira siapa," ucapku seraya memejamkan mata dalam waktu yang cukup lama.

"Kamu lagi mikirin apaan, Sayang?"

"Tidak ada, Mas," balasku disertai gelengan kepala.

Namun, bukan Mas Alif namanya bila mudah percaya begitu saja. Terbukti darinya yang justru memajukan wajahnya, menipiskan jarak diantara kami, hingga napas kami berdua saling beradu satu sama lain.

Akan tetapi, seketika saja bayangan akan video yang berada di laptop Mas Alif kembali berputar di kepala. 

Sontak saja, aku mundur beberapa langkah sambil memijat pelipisan. Mataku pun tak luput terpejam, merasakan sakit yang tiba-tiba menghantam dada dan juga kepala.

"Sayang, kamu baik-baik saja, 'kan?"

Kurasakan sebuah tangan memegang kedua pundakku, lalu mengelusnya perlahan. 

Bukannya memberikan ketenangan, justru kontak fisik yang dilakukan Mas Alif membuat hatiku semakin berdenyut dan terasa di hantam ribuan bilah pedang.

"A-aku baik-baik saja, Mas. Aku sungguh baik-baik saja!"

Tanpa sadar, aku membentak Mas Alif, hingga kedua tangannya yang berada di pundakku terlepas secara spontan.

"Aku sungguh baik-baik saja, Mas. Aku hanya butuh istirahat!" 

Setelah mengulangi perkataan yang sama, aku pun segera berbalik, melenggang dari hadapan Mas Alif tanpa mempedulikan dirinya lagi.

Semakin lama aku berada di hadapan Mas Alif, semakin kuat pula ingatanku akan video tersebut.

"Ada apa, Pak, kok ribut-ribut?" 

Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba terdengar suara decitan pintu bersamaan dengan sebuah pertanyaan yang Alif lontarkan pada Mas Alif.

"Kamu bikin Ibu marah, Panji?"

Sontak, langkahku terhenti, ketika Mas Alif justru mengajukan pertanyaan pada Panji.

"Tidak, Pak. Aku dan Ibu baik-baik saja. Memangnya ada apa?"

"Ibumu seperti orang sakit dan itu terjadi sehabis keluar dari kamarmu, Panji!"

Aku sendiri masih terdiam di tempat, tak berbalik badan ataupun ikut menimpali obrolan keduanya.

"Mungkin Ibu butuh istirahat, Pak!" balas Panji dengan nada bicara sedikit malas.

"Hah, ada-ada saja!"

Namun, ternyata nada bicara Mas Alif jauh lebih kesal dari Panji. Di mana tak lama kemudian, terdengar suara derap langkah yang semakin lama semakin menjauh.

"Bu ...."

Aku yang sempat terpejam, kemudian menoleh, menatap Panji yang justru menatapku penuh iba.

"Ada apa, Nak?"

"Ibu, baik-baik saja, 'kan?"

Panji melangkah ke hadapanku, dia menyoroti kedua netraku lekat.

"Ibu, baik-baik saja, Nak," dalihku pada Panji. Tak mungkin aku ceritakan semuanya pada dia. Mengingat, pasti akan menjadi beban pikirannya juga.

"Bu, jangan bohong!" pinta Panji padaku, kedua tangannya pun turut terulur, memegang pundakku erat.

"Aku tahu ada yang tengah Ibu sembunyikan dariku," tambah Panji yang berhasil membuat mataku melebar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status