Share

RAHASIA IBU
RAHASIA IBU
Author: Shafira Prameswari

Bab 1

Wulandari Prawira

***SPW***

“Hari ini, Ibu akan menyampaikan sebuah rahasia yang telah lama tersimpan. Ini tentang ibu dan ayahmu, Nak.”

Kalimat itu sontak membuatku kaget. Dulu, berulang kali aku bertanya tentang Ayah, tetapi Ibu selalu mengelak. Sekarang, tanpa diminta Ibu bersedia membuka lembar kehidupan yang telah lama tidak tersentuh itu. Aku pun mulai memperbaiki posisi, dan duduk di depan Ibu. Sepasang netra ini menatap mata lelah perempuan yang telah melahirkanku.

Ibu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Ibu mengalihkan pandangan, beliau menatap ke arahku lama. “Ayahmu masih hidup, Nak.”

Jantungku berdegup kencang; antara sedih, dan bahagia mendengar kabar ini. Ayah, sosok yang ingin kuketahui keadaannya sejak dulu. Masih terbayang di ingatan, tepatnya ketika aku menginjak kelas lima sekolah dasar. Saat itu Ibu baru saja menghadiri undangan dari guru, karena anaknya ini terlibat perkelahian di sekolah. Teman-teman mengejek, karena aku tak punya Ayah. Aku yang membela diri dan harga diri Ayah melempar batu, sehingga salah satu dari mereka harus dibawa ke dokter karena luka di pelipisnya. Ibu marah, menangis, dan memelukku. Perempuan itu memohon agar aku tak terpengaruh dengan ejekan teman-teman. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bertanya tentang Ayah.

“Ma-maksud Ibu apa?”

Dengan air mata yang mulai menetes, Ibu kembali bercerita.

Hati terasa berdenyut mendengar penuturan Ibu. Bukan hanya aku, tetapi perempuan yang selalu terlihat tegar itu begitu terluka. Selama ini, Ibu sangat pintar bersembunyi di balik senyum manisnya. Bukan harta yang diharapkan perempuanku itu, melainkan janji yang telah terucap 18 tahun lalu untuk kembali pulang, menjalani sisa hidup bersama dalam suka dan duka. Namun sampai hari ini—di saat tubuh yang dulu sehat perlahan menua, yang ditunggu tak pernah menepati janjinya.

“Buka lemari itu.” Tunjuk Ibu pada sebuah lemari tua yang ada di sudut kamar. “Di bawah pakaian rak paling atas.”

Aku mencoba memasukkan tangan, dan meraba dasar rak. Sebuah amplop warna cokelat tersentuh jemari. Aku menarik amplop itu, lalu membawanya ke hadapan Ibu.

“Bukalah.”

Amplop usang yang sudah lusuh itu mendebarkan dada. Beberapa kertas, buku nikah, dan tiga lembar foto keluar dari tempatnya. Mataku berkaca-kaca, saat membuka lembaran buku nikah kedua orang tuaku. Sepasang foto laki-laki dan perempuan tampak di sana.

Amar Prawira, nama laki-laki yang menikahi Ibu 19 tahun silam. Kutatap wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Dada terasa makin sesak, pandangan pun mengabur karena butiran air mata mulai berjatuhan.

“Itu ayahmu, Nak.” Ibu menatapku sendu. Mata lelahnya berkaca-kaca. Perempuan ini menghela napas panjang, dan mulai menatap langit-langit kamar.

“Di mana Ayah sekarang, Bu?” Rasa ingin tahuku semakin besar. Jika punya kekuatan ajaib, ingin rasanya hadir saat ini juga di hadapan laki-laki itu.

“Tangerang.” Perlahan, air mata Ibu kembali tumpah. “Carilah dia, Wulan, anak perempuan Ibu satu-satunya. Wulan akan membutuhkan Ayah. Walaupun ia tak sempurna menjadi seorang ayah—karena abai akan kewajiban, biarkan itu menjadi tanggung jawabnya dengan Yang Kuasa.”

Ibu menutup mata, bersamaan dengan tetesan air yang mengalir dari sudut netra. Embusan napas terasa sesak di dada perempuan yang telah berjuang 18 tahun membesarkanku. “Tidurlah. Besok Wulan harus sekolah, kan?”

Aku menyeka air mata, kemudian berbaring di sebelah tubuh kurus itu dan mendekapnya erat. Hanya ini kehangatan yang kami punya. Saling berpelukan kala malam telah bersatu dengan embusan angin dingin.

***

Sebelum subuh berkumandang, kami sudah bangun. Berbagai pekerjaan rumah tangga telah menanti. Ibu dengan cekatan menyiapkan sarapan, sementara aku menyapu dan mengepel rumah. Rumah mewah dua lantai ini harus bersih, rapi, dan wangi sebelum pemiliknya bangun. Setelah makanan terhidang di meja, aku berlalu ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke sekolah, sementara Ibu masih melanjutkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Inilah rutinitas kami setiap hari.

“Bu, Wulan lelah di sini terus. Sampai kapan kita seperti ini? Kenapa kita tidak pergi saja mencari Ayah?”

Gerakan tangan Ibu yang sedang merapikan tempat tidur terhenti. “Ayahmu menyuruh Ibu untuk menunggunya di sini. Ia menitipkan kita pada pamanmu.”

Aku meraup udara banyak, menahan sesak. Apakah berlebihan jika aku beranggapan Ibu terlalu bucin pada Ayah? Setelah 18 tahun tak ada kabarnya, pantaskah Ibu setia menunggu dan berharap laki-laki itu akan kembali? Jika mengingat kehidupan kami, rasanya ingin aku membenci Ayah. Tega-teganya ia meninggalkan kami, demi kehidupan baru di kota.

“Sri, kamarnya Agung tolong dirapikan. Hari ini ia akan pulang!” pekik Ayu, istrinya Paman, memerintah.

Delapan belas tahun kami tinggal di sini sebagai pembantu. Tak ada kejelasan upah, hanya tempat tinggal, makan, dan biaya sekolahku yang ditanggung Paman sebagai balasan keringat kami bekerja di sini. Paman sangat baik, tetapi tidak dengan istrinya. Ia memperlakukan kami tak lebih seperti pembantu, konsekuensi dari menumpang di rumah ini. Setiap hari, kami bekerja membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika, dan memasak untuk keluarga mereka. Di usia remaja, aku sudah mewarisi kepandaian Ibu dalam memasak.

***

“Wulan ingin kuliah di mana? Nanti Paman akan bantu biayanya,” ucap Paman di sela aktivitas sarapan pagi. Jika ada Paman di rumah, maka kami akan duduk bersama anggota keluarga yang lain. Namun jika Paman tak ada, jangan harap bisa meletakkan bokong di kursi makan yang terbuat dari kayu jati ini. Bibi akan marah, jika kami melakukannya.

“Buat apa kuliah, perempuan nantinya juga bakal di dapur. Apalagi zaman sekarang mencari kerja susah. Daripada buang-buang uang buat kuliah, mending kerja,” potong sang istri.

“Kuliah lebih baik buat Wulan. Ia pintar. Sayang jika tidak dimanfaatkan.”

“Percuma, Pak. Lihat tuh, anaknya kepala desa. Lulusan universitas ternama di kota, sampai sekarang menganggur. Kuliah hanya buang-buang duit.”

Aku dan Ibu terdiam. Istri Paman sepertinya keberatan dengan tawaran yang diberikan suaminya. Pasti jika aku kuliah nanti, Paman akan mengeluarkan uang lebih karena biayanya yang tak sedikit.

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ma Tibun
mungkinkan pak arya nanti meninggal, lalu bu sri menikah / rujuk lagi dg pak amar? atau pak amar menemukan istri baru? atau pk amar rela tetap menduda? entahlah trserah author.
goodnovel comment avatar
.kh
good............
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status