Share

RAHASIA ISTRI BERCADARKU
RAHASIA ISTRI BERCADARKU
Author: Aryan Lee

Bab 1. Perkenalan

Author: Aryan Lee
last update Last Updated: 2025-04-09 11:47:21

"Setiap manusia berhak untuk mendapatkan kesempatan bertobat. Tapi tidak berhak melakukan pembalasan dendam. Hanya Allah yang bisa menghakimi hamba-Nya dengan seadil mungkin," ujar Umi Hafsah mengakhiri kajian hari ini.

Para jemaah yang terdiri dari kaum hawa itu tampak mendengarkan dengan saksama. Mereka sangat berantusias sekali mengikuti tausiyah yang dibawakan oleh Umi Hafsah. Seorang Ustadzah yang bertutur kata lemah lembut, ramah, baik dan keibuan.

"Umi, pulang naik apa?" tanya seorang wanita berkerudung.

Sambil tersenyum Umi Hafsah menjawab, "Naik ojek."

"Mau bareng sama saya Umi, kebetulan kita searah!" ajak wanita berkerudung itu lagi.

"Terima kasih, lain waktu ya, Umi sudah pesan ojek online," tolak Umi Hafsah yang tidak mau merepotkan.

Wanita itu pun berpamitan, "Baiklah, kalau begitu saya duluan ya Umi!"

Biasanya Umi Hafsah, kalau sedang memberikan tausiyah diantar sama supir. Tapi sudah beberapa minggu ini pulang kampung, jadi terpaksa berangkat dan pulang sendiri.

Tiba-tiba orderan ojek Umi Hafsah dibatalkan oleh Driver. Ia segera memesan lagi, tetapi setelah menunggu cukup lama tidak juga dapat.

"Setelah pembegalan tempo hari, jarang ojek online yang mau masuk ke kampung ini Umi. Lebih baik Umi naik angkot saja dulu. Nanti di jalan besar baru pesan ojek online!" saran seorang ibu-ibu sekitar.

"Oh begitu, terima kasih atas informasinya Bu," ucap Umi Hafsah yang segera naik angkot bersama-sama warga lainnya.

Satu persatu penumpang turun, tinggal Umi Hafsah dan dua orang wanita lagi . Tiba-tiba seorang pria menodongkan pisau ke arah penumpang.

"Berhenti Pak Sopir. Cepat serahkan dompet, handphone, dan perhiasan kalian!" seru pencopet itu dengan lantang. Sehingga membuat korban ketakutkan.

"Astagfirullah alazim, silahkan ambil tapi jangan sakiti siapa pun!" ujar Umi Hafsah sambil memberikan dompetnya.

Setelah berhasil menggasak barang-barang pribadi penumpang, pencopet itu segera turun dari angkot. Akan tetapi, baru beberapa langkah, tiba-tiba seorang penumpang wanita yang memakai masker mengejarnya. Ia langsung melayangkan tendangan, hingga pencopet itu tersungkur.

"Kalau sayang sama nyawamu, kembalikan barang-barang kami!" ancam wanita itu yang sudah siap mengambil kuda-kuda.

"Perempuan kurang ajar, rasakan ini. Hiaat ....!" sahut pencopet itu yang segera menyerang sambil menyabetkan belati.

Akan tetapi, dengan dua kali gerakan saja. Pencopet itu berhasil dikalahkan dengan mudah. Bahkan dibuat tidak sadarkan diri di tempat.

Wanita yang memakai masker itu segera mengambil barang-barang yang dirampas pencopet tadi dan mengembalikan kepada pemiliknya.

"Terima kasih, siapa namamu Nak?" ucap Umi Hafsah dengan wajah yang tegang.

"Yura, Bu," jawab gadis itu sambil menyalami tangan Umi.

Pencopet itu dibawa ke kantor polisi oleh supir angkot dan Umi Hafsah diantar pulang oleh gadis yang menolongnya.

"Ayo silahkan masuk, jangan sungkan dan anggap rumah sendiri ya. Ibu mau bikin minum dulu!" ujar Umi Hafsah yang ingin menjamu tamunya.

Gadis bernama Yura menelisik depan rumah itu dengan saksama. Tempat tinggal yang sederhana, tapi memiliki teras yang cukup luas. Di pekarangan tumbuh subur pohon mangga, rambutan dan beberapa jenis bunga yang rindang. Sehingga membuat susana jadi sejuk dan asri. Ia merasakan rumah ini begitu tenangan dari tempat-tempat yang pernah disinggahi.

Tidak lama kemudian Umi Hafsah sudah kembali lagi. Sambil membawa dua gelas es teh manis dan stoples cemilan.

"Silahkan dicicipi!" ujar Umi Hafsah sambil duduk di samping gadis itu. "Oh ya, kamu dari dan mau ke mana?" tanyanya ingin tahu.

"Saya dari kampung Bu dan sedang mencari pekerjaan di Jakarta," jawab Yura yang membawa sebuah tas ransel, entah apa isinya.

Umi Hafsah kembali bertanya, "Punya saudara atau teman di sini?"

"Nggak ada, saya merantau sendirian, tapi belum dapat pekerjaan," jawab Yura kembali.

Umi Hafsah tampak mengangguk kecil, setelah sejenak berpikir kembali melanjutkan pembicaraan.

"Bagaimana untuk sementara waktu kamu bermalam di rumah ini, Umi tinggal sendirian?" Umi Hafsah menawarkan.

"Ibu tinggal sendiri di rumah sebesar ini?" tanya Yura tidak percaya.

Umi Hafsah tampak mengangguk dan menjelaskan, "Sebenarnya Umi punya tiga orang anak, laki-laki semua. Dua orang sudah menikah dan masing-masing sudah punya rumah sendiri, sedangkan yang paling sulung masih single dan jarang pulang. Makanya Umi memberikan tausiyah agar tidak jenuh di rumah. Ya Itung-itung cari bekal, kalau suatu saat dipanggil sama Allah."

"Kenapa Ibu tidak ditemani asisten, nanti kalau ada orang jahat kayak tadi lagi bagaimana?" tanya Yura dengan heran.

"Umi bingung mau melakukan apa kalau ada asisten, waktu jadi terasa lama. Soal orang jahat Umi yakin Allah pasti memberikan perlindungan untuk hamba-Nya. Seperti hari ini, pertolongan-Nya datang melalui kamu," jawab Umi Hafsah yang membuat Yura tampak tertegun mendengarnya.

Kata-kata Umi Hafsah telah membuat rasa bangga sebagai penyelamat di hati Yura seketika hancur. Seolah menamparnya kalau tidak ada kekuatan yang lebih hebat dari kekuasan-Nya.

"Bagaimana kamu mau nggak tinggal di rumah ini sama Umi?" tanya Umi Hafsah kembali.

"Terima kasih banyak, saya mau Bu," jawab Yura menerima tawaran itu.

"Alhamdulillah, maaf, apakah Umi boleh lihat wajah Yura?" sahut Umi Hafsah yang ingin mengenal gadis berpenampilan tomboi itu lebih jauh lagi.

Yura merasa tidak enak dan segera membuka masker yang dipakainya. Ia kemudian tersenyum sambil menatap Umi Hafsah.

"Masya Allah," ucap Umi Hafsah yang terpukau.

***

Hari demi hari berlalu Yura semakin betah tinggal di rumah Umi Hafsah. Ia belajar banyak dari wanita paruh baya itu. Mulai dari membantu melakukan pekerjaan rumah tangga sampai ilmu agama. Sifat keibuan Umi Hafsah membuat Yura nyaman, seolah mendapatkan kasih sayang seorang dari ibu kandung.

Sementara itu Umi Hafsah semakin menyayangi Yura. Apalagi setelah mendengar cerita kalau gadis itu yatim piatu dari kecil dan harus merantau ke Jakarta karena panti asuhannya kena gusur. Sehingga membuat keduanya semakin dekat. Seperti ibu dan anak kandung saja karena ke mana-mana selalu berdua. Bahkan gadis itu dibuatkan kartu tanda penduduk yang beralamatkan rumah Umi Hafsah.

"Umi, saya baru jadi mualaf. Tolong ajari saya agama islam lebih banyak lagi!" pinta Yura dengan penuh harap.

"Alhamdulillah, dengan senang hati Umi akan ajari kamu. Nanti habis salat magrib kita belajar ngaji ya!" sahut Umi Hafsah yang membuat Yura tersenyum senang.

Dengan sabar dan telaten, Umi Hafsah mengajarkan dasar-dasar agama islam, ilmu fiqih, tauhid dan cara membaca huruf-huruf hijayah. Yura juga sering dinasehati arti kesabaran, keikhlasan dan terutama dalam hal berbagi kepada sesama. Seperti hari ini ia sedang belajar mengaji dengan baik dan benar.

"Masya Allah, kamu pintar sekali Yura," puji Umi Hafsah yang semakin kagum dengan daya ingat gadis itu. Cuma sekali dijelaskan langsung cepat tanggap.

"Assalamualaikum," ucap seseorang dari luar rumah.

"Waalaikumsalam," sahut Umi Hafsah yang sudah hafal dengan suara itu. "Kita sambung besok lagi ya Yura!" ujarnya kemudian. Ia segera membukakan pintu dan tersenyum melihat seorang pria berusia tiga puluh lima tahun.

Pria itu segera menyalami Umi Hafsah dan mendaratkan di dahinya. Ia kemudian melihat Yura yang sudah memakai masker dengan heran.

"Bodyguard Umi," bisik Umi Hafsah sambil tersenyum.

Sambil mengernyitkan dahinya pria itu menegaskan, "Tiba-tiba perasaan aku kok nggak enak ya Umi."

Umi Hafsah tampak terkekeh dan memanggil, "Yura, sini!"

Yura langsung menghampiri sambil menyahuti, "Saya Umi."

"Kenalkan ini putra sulung Umi, namanya Abidzar," ujar Umi Hafsah mengenalkan anak lelakinya.

"Yura," jawab gadis itu sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Abidzar tampak tersenyum sehingga membuat pria dengan tubuh kekar dan tinggi 175 cm itu terlihat manis. Apalagi dengan brewok tipis membuatnya terlihat gagah.

"Yura kamu siapkan makan malam ya!" seru Umi Hafsah yang langsung dikerjakan oleh Yura.

"Serius, dia bodyguard Umi atau asisten baru?" tanya Abidzar menegaskan.

"Yura sudah yatim piatu dari kecil dan besar panti asuhan. Dia .... " Umi Hafsah menceritakan latar belakang Yura yang sangat memprihatinkan.

Setelah mendengar cerita ibunya, Abidzar bertanya, "Terus Umi mau mengangkatnya jadi anak?"

"Iya, tapi dengan menjadikannya menantu," jawab Umi Hafsah membuat Abidzar yang baru masuk ke rumah langsung terkejut.

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RAHASIA ISTRI BERCADARKU   Bab 57. Akhir Sebuah Kisah

    Langit Makkah terlihat cerah hari ini, tapi hati Yura mendadak dicekam kekhawatiran. Di tengah lautan jamaah yang melantunkan doa-doa, Umi Hafsah tiba-tiba limbung dan jatuh dalam pelukannya."Umi!" seru Yura panik. Abidzar yang berada tak jauh langsung berlari menghampiri, wajahnya pucat.Ia segera membopong ibunya dan membawa ke pusat kesehatan terdekat. Akan tetapi, setelah diperiksa dokter jantung Umi Hafsah kian melemah. Jadi dirujuk ke rumah sakit terdekat. "Ya Allah, tolong beri kekuatan untuk ibu hamba!" doa Abidzar yang mulai cemas. Sepanjang perjalanan, Yura juga sangat khawatir. Ia menggenggam tangan ibu mertuanya dengan erat. Berulang kali memanggil namanya, berharap Umi Hafsah cepat membuka mata. "Umi, sadarlah!" ujar Yura yang takut terjadi apa-apa. Tidak lama kemudian, Umi Hafsah siuman. Nafasnya lemah, tapi senyum lembut tersungging di bibirnya. Ia menatap anak dan menantunya secara bergantian dan berkata lirih, "Yura, Abidzar…." Umi Hafsah meraih kedua tangan me

  • RAHASIA ISTRI BERCADARKU   Bab 56. Ketika Takdir Berkata

    Agar tidak menjadi pusat perhatian, mereka berjalan perlahan ke sisi Masjidil Haram yang teduh. Duduk bersisian sambil menenangkan diri. Sungguh baik Abidzar maupun Yura tidak pernah membayangkan bertemu di tempat sebersih dan sesuci ini, setelah semua yang terjadi. "Aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini," ujar Yura membuka pembicaraan. "Aku pun tak pernah menduga, Yura. Tapi mungkin pertemuan ini jawaban dari semua doa yang kita bisikkan dengan penuh harapan," balas Abidzar yang bersyukur dipertemukan dengan Yura lagi. “Maaf, aku tak pernah bermaksud meninggalkan Kakak dengan seperti itu,” ucap Yura sambil meremas pakaian ihramnya. “Aku tak menyesali perpisahan kita, tapi ....” Abidzar menarik nafas panjang. "Aku belum bisa menerima kehilangan yang tidak pernah bisa dijelaskan. Tentang cinta yang tidak bisa dimiliki. Selama tujuh tahun, aku hidup seperti bayangan yang masih terikat dalam sebuah janji. Aku selalu mencoba melupakanmu, tapi tidak bisa. Bahkan setiap malam na

  • RAHASIA ISTRI BERCADARKU   Bab 55. Pertemuan di tanah suci

    Langit Makkah membentang dengan cahaya keemasan. Angin padang gurun berhembus lembut, membawa bisikan doa yang tak berkesudahan. Di antara lautan manusia yang mengelilingi Ka'bah, Yura menggenggam tangan mungil putranya, Arya, dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan dunia yang kini menjadi satu-satunya alasan ia berdiri tegak.“Subhanallah,” bisiknya lirih, setiap langkah mengiringi lafaz zikir yang terangkai dari kerinduan dan ketundukan. Matanya sembab oleh tangis yang ia tahan selama bertahun-tahun. Inilah perjalanan suci yang didambakan, bukan hanya ingin menyempurnakan ibadah. Aka tetapi, memanjatkan doa untuk menyelesaikan masa lalu yang masih membelenggunya. "Kenapa kamu mengajak kami ke sini? Menangkap ikan sambil berenang Arya dan Maura juga sudah senang kok," tanya Rain yang tidak suka tempat ramai seperti masjidil haram. "Entahlah aku hanya mengikuti kata hati," jawab Yura dengan santai. "Kamu benar-benar nekat Yura, pergi ke sini tanpa pemandu dan pengawal. Bisa ngamuk

  • RAHASIA ISTRI BERCADARKU   Bab 54. Hujan ajarkan aku lupa

    "Mami, jangan diam saja ayo kita ke Bali!" ajak Arya sambil menarik ujung gamis Yura. Yura tampak berpikir keras agar Arya tidak ikut ke Bali. Bukan tidak percaya menitipkan anaknya sama Dragon. Akan tetapi, ia takut akan kemungkinan yang terjadi. "Sayang, kamu nggak bisa ikut Dady ke Bali karena kita mau. " Yura membisikan sebuah ide yang tiba-tiba terbesit di benaknya. "Aku mau Mami, Maura kamu mau ikut nggak ke--" Arya meniru Yura berbisik di telinga gadis kecil itu. Sambil bersorak girang Maura menyahuti, "Iya aku mau ikut, hore!" Yura tampak tersenyum lega karena berhasil membuat Maura dan Arya berubah pikiran. Akan tetapi, tidak dengan Dragon. Jujur ia masih tidak terima wanita itu belum bisa melupakan Abidzar."Ya sudah ayo kita siap-siap!" ajak Yura sambil menggandeng Arya dan Maura meninggalkan tempat itu. "Jangan egois, kamu sudah tahu bagaimana rasanya cinta tidak bisa memiliki, kalau mencintai Yura biarkan dia bahagia!" saran Rain terdengar bijak. Dengan dingin Drag

  • RAHASIA ISTRI BERCADARKU   Bab 53. Luka yang Tak Terlihat

    Malam itu kian merambat jauh, semilir angin menghapus jejak yang tertinggal di jalanan. Yura berdiri diam di ambang pintu, memandangi suaminya yang tertidur lelap di ranjang. Ia kemudian menulis surat yang telah dibacanya berulang kali, tapi tak pernah terasa cukup. Masa-masa kebersamaan mereka kini telah menyatu dengan gema kenangan yang tak bisa ia buang. Queenazalea dulu dikenal sebagai pembunuh bayaran paling tangguh dan hebat di timnya, The Ghost. Dengan julukan Phoenix ia menyelesaikan setiap misi dengan sempurna dan tanpa cela sedikitpun. Hingga satu hari tanpa sengaja ia mendengar percakapan rahasia ketua The Ghost dan putra tunggalnya Daren atau Dragon."Kau harus menikah dengan Letizia!" ujar Ramos dengan serius. "Tidak bisa, aku mencintai Lea." Dragon menolak dijodohkan.Mendengar penolakan putranya Ramos membentak dengan lantang, "Jangan gila kau, dia adikmu!" "Dia bukan adik kandungku!" sahut Dragon dengan berani. "Justru itu Ren, Lea bukan siapa-siapa. Lihatlah k

  • RAHASIA ISTRI BERCADARKU   Bab 52. Tindakan Rain

    Rain yang baru pulang bergegas masuk ke kamar Yura sambil membawa pesanan adiknya itu. Ia tampak terkejut melihat Dragon ada di dalam kamar. "Ada apa ini?" tanya Rain sambil melihat wajah Yura dan Dragon yang tegang secara bergantian. Dragon lupa mengingatkan penjaga untuk tidak membiarkan siapa pun masuk. Ia kemudian mencabut senjata api dari balik jaketnya dan menodongkan ke arah Rain. "Jangan ikut campur, cepat lakukan Lea!" ujar Dragon yang membuat Rain terkejut bukan kepalang. "Jangan lakukan Yura!" seru Rain yang membuat Dragon bersiap menarik pelatuk. "Ayo tembak, kau boleh mengira aku bodoh selama ini Dragon. Tapi kalau aku tidak mengoperasikan lap top dalam sejam semua polisi dunia akan tahu di mana markas The Ghost. Kau akan tahu kan akibatnya, mereka akan membunuh kita semua!" ancamnya yang sudah memperkirakan tindakan Dragon. Kali ini ia tidak akan membiarkan pria itu semena-mena lagi.Dragon menarik kerah baju Rain dan menatapnya dengan geram. "Kurang ajar, mau jadi p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status