MasukPagi harinya rumah sakit terasa lebih ramai. Arumi membawa bubur hangat dari rumah, Sailendra berbincang dengan dokter dan di dalam kamar, Dinara duduk di sisi ranjang Widipa dengan wajah lembut seolah-olah dunia tak pernah memberinya cela.Sebenarnya Arumi tak menyukai kehadiran Dinara. Setiap kali melihatnya ada wajah Bagas yang telah membuat nyawa anaknya melayang. Sayangnya dia harus berebut perhatian Widipa dengan Dinara.Sejak Widipa sadar, sang anak selalu mencari keberadaan Dinara dibandingkan dirinya sebagai seorang ibu. Arumi pun diliputi rasa bersalah pada Danastri, tetapi Sailendra selalu menenangkannya."Kalau kau menginginkan sesuatu katakan saja padaku, ya,” ucap Dinara lembut sambil menyendokkan bubur.Widipa menatapnya dengan senyum tipis. “Terima kasih, Dinara. Aku masih merasa pusing, tapi senang kau ada di sini.”“Ya ampun Dipa kau ini bicara apa sih?" Dinara tertawa kecil, suaranya manis tapi dingin di telinga Danastri yang berdiri di ambang pintu. “Tidak perlu be
Hari yang tak secerah di hati Danastri saat dia melangkahkan kakinya menuju rumah sakit. Semalam dia tak bisa tidur hingga dia memutuskan untuk pergi menemui Widipa lebih awal.Namun saat dia keluar dari taksi, dia melihat ada mobil yang dia kenali. Mobil milik Dinara berada di tempat parkir. Danastri tak terlalu memikirkan hal tersebut dan mengira Dinara mungkin sudah tahu kecelakaan mengenai Widipa.Danastri berhenti sebentar saat pesan dari Arumi yang mengatakan Widipa sudah sadar. Gegas dia menuju kamar inap Widipa dan ingin memastikan sendiri kondisi pria yang dicintainya. Sesampainya di sana dia menggenggam gagang pintu dengan hati-hati, napasnya teratur tapi dadanya berdebar hebat. Di dalam, suara lembut Arumi terdengar — penuh syukur karena Widipa akhirnya sadar.“Pasien sudah sadar, tapi masih agak lemah. Silakan bergantian menjenguk, ya Nona," kata perawat baru saja keluar dan tersenyum kecil."Terima kasih, Sus," balas Danastri menyunggingkan senyum.Danastri masuk perlaha
"Terima kasih untuk kunjungannya, Nona.""Kami tunggu kedatangan nona selanjutnya."Seorang pegawai butik membukakan pintu untuk Danastri setelah memilih gaun yang akan dia gunakan bulan depan untuk ulang tahun rumah sakit milik keluarga Widipa. Widipa sendiri sedang membeli sesuatu di toko seberang."Terima kasih juga untuk pelayanannya," ucap Danastri sembari tersenyum di pintu keluar.Danastri keluar dari butik di kawasan pusat kota itu dengan menenteng tas kertas berisi gaun yang baru diambilnya. Di seberang jalan, Widipa sudah menunggu di dekat mobil hitamnya melambaikan tangan sambil tersenyum kecil."Apa yang dia beli di toko itu?" Danastri penasaran barang yang dibeli Widipa, karena pria tersebut bermain rahasia.“Hati-hati menyeberant, Danastri,” ujar Widipa dari kejauhan."Apa? Aku tak dengar!" Sayangnya Danastri tak mendengar suara Widipa.Namun langkah Danastri yang semula tenang mendadak terhenti. Dari arah kanan, suara mesin sepeda motor meraung keras. Dalam sepersekian
Gedung serbaguna berlantai lima itu terlihat ramai dengan dipenuhi sorotan lampu, wartawan, dan undangan kalangan atas. Musik lembut mengalun, berpadu dengan suara kamera yang terus memotret setiap langkah tamu penting.Hari ini adalah penjurian kontes desainer baik bagi pemula dan senior. Semua berkumpul menjadi satu dari berbagai provinsi. Para wartawan tak mensia-siakan kesempatan ini untuk mencari berita apalagi ada keluarga Jayanatra yang jarang sekali memenuhi undangan dari pejabat manapun.Pada saat Danastri memasuki ruangan sontak seisi aula menoleh. Gaun yang dia kenakan memantulkan cahaya perpaduan antara tradisional dan modern, hasil karyanya sendiri. Namun bukan hanya gaun itu yang menarik perhatian, melainkan ada Widipa yang tegap, dingin, dan berwibawa, berjalan mengapit tangan Danastri dengan sikap protektifnya."Anak itu selalu mencari perhatian sejak dulu," kata Bagas dengan nada tak suka."Seharusnya aku yang di samping Widipa bukan dia." Dinara kesal. Ajakannya ke p
Di balik awan menggumpal tersembunyi rasa kebencian yang membara di hati Sagara. Sagara keluar dari ruang penyidik dengan wajah datar. Di tangannya ada surat penolakan permintaan pembukaan kembali kasus delapan tahun lalu.Delapan tahun dia menunggu kesempatan untuk membersihkan namanya. Dan hari ini semuanya ditutup tanpa alasan jelas hanya karena seseorang mengubah kesaksian."Tidak ada alasan untuk membuka kembali kasus ini, Dokter Sagara,” ujar penyidik tadi dengan wajah datar seolah keadilan hanyalah kata kosong di kertas laporan."Lagipula jika anda bersikeras membuka kembali kasus ini, akan ada orang yang menuntut anda atas pencemaran nama baik. Anda tidak ingin karir anda sebagai dokter terancam, bukan?"Sagara pulang membawa kekecewaan. Langkah kakinya terasa berat menuju area parkir. Dia berhenti di depan tangga kantor polisi menatap kosong ke papan nama besar Keadilan Yang Merata.Sagara tertawa mengejek. Benar-benar tak menyangka membawa Dinara ke jeruji sel menemui jalan
["Nona, dokter Diego memberitahu jika ibu anda meminta bertemu lagi dengan tuan Genta."]Danastri menerima pesan dari salah satu pesuruhnya yang ada di Milan. Danastrilah yang telah meminta pada Widipa untuk mencarikan rumah sakit dengan penjagaan ketat dan tak sembarang pengunjung bisa bertemu.Ya katakanlah Danastri kejam jika sebenarnya tindakannya itu agar Genta tidak dikejar mafia dari Macau yang menginginkan nyawa Genta sekaligus mengatasi ketergantungan pada obat terlarang.["Katakan pada dokter Diego jangan menerima tamu siapapun untuk bertemu Genta. Tunggu intruksi dariku selanjutnya."]["Baik, Nona."]"Untuk sementara tinggallah di sana, Mas. Mereka masih mencari keberadaanmu," kata Danastri sembari menaruh kembali ponselnya.Danastri berdiri sejenak melihat lampu jalanan dari luar jendela yang memantul di permukaan meja kerjanya yang penuh dengan berkas desain, sketsa gaun dan potongan kain sutra serta secangkir kopi yang sudah dingin.Lusa hari penentuan kontes desain dan







