Share

Pria yang Jadi Mimpi Buruk Bella

"Kau yakin menolaknya?"

Bella akhirnya memutuskan untuk menolak permintaan Manu malam itu juga. Masih teringat jelas di benaknya, bagaimana Manu terlihat menatap Bella dengan tatapan yang sulit dimengerti. Namun, pria itu rupanya tidak memaksa. Saat akhirnya Bella mengangguk, kembali meyakinkan penolakan tersebut, pria itu mau mengerti. Tak lama kemudian, Manu mengulurkan sebuah kartu berisi identitas singkat mengenai dirinya.

"Kau bisa menghubungiku jika kau berubah pikiran.”

Bella menatap kartu identitas yang diberikan Manu padanya semalam. Benaknya masih berkelana, saat kemudian suara lantang menyebut namanya.

“Bella! Kau ini serius ingin bekerja di tempat saya atau tidak, sih? Apa kau menganggap pekerjaan kau ini sebagai permainan? Apa kau ingin saya pecat hari ini juga?!”

Bella spontan mengangkat kepalanya. Dalam hati ia memaki kuat karena ternyata Manu masih memiliki efek yang begitu besar untuknya. Hari ini adalah kedua kali si bapak tua tempat Bella bekerja memarahinya. Pertama karena ia datang terlambat, tentu saja dikarenakan Bella yang sulit terlelap hingga nyaris jam 3 dini hari. Sekarang ia kembali dibuat melamun oleh ingatan semalam di tengah jam kafe yang tengah ramai pengunjung.

“Maafkan saya, Pak. Saya janji ini adalah yang terakhir kalinya. Saya berjanji tidak akan membuat masalah lagi, Pak!”

Pria paruh baya yang tiada lain adalah manager di cafe tempat Bella bekerja itu nampak begitu tajam menatapnya, membuat Bella semakin takut untuk kehilangan mata pencahariannya.

Ia hidup sebatang kara. Ibunya telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu, sementara ayahnya malah hilang tanpa kabar setelah membebaninya dengan hutang. Jika bukan dari gajinya bekerja di cafe ini, dari mana lagi ia harus mencari pundi-pundi uang untuk kelangsungan hidupnya?

Melihat sang manajer masih betah menatapnya dengan tatapan murka, Bella menatap managernya dengan tatapan memelas. "Saya mohon, Pak. Beri saya kesempatan sekali lagi.”

Helaan napas panjang dari managernya terdengar di telinga Bella. “Baiklah, hanya satu kesempatan kali ini saja. Jika kau sampai membuat masalah, jangan harap kau akan mendapatkan dispensasi lagi dari saya!”

Senyum lebar menghiasi wajah Bella yang nampak berseri-seri. “Terima kasih banyak, Pak! Saya tidak akan mengecewakan Bapak!”

Pria paruh baya itu mengangguk kemudian memerintahkan Bella keluar dari ruangannya dengan gerakan tangan. “Sudahlah! Sana kembali bekerja!”

Membungkukkan badannya sebagai tanda hormat, Bela kemudian keluar dari ruangan dengan aura yang terasa seperti hampir membuatnya terbunuh secara perlahan di setiap tarikan napasnya.

Saat barus saja menutup pintu ruangan tersebut, Bella dikagetkan oleh Nina, rekan kerjanya, yang saat ini tengah membawa nampan berisikan sepiring chicken fingers ditemani dengan kopi panas.

"Bella, bisakah kau membawa pesanan ini ke meja nomor 16? Aku lupa belum menidurkan Anjing."

"H-huh?" Bella berusaha mencerna ucapan Nina. "Ouh maksudmu keponakanmu, kan?"

"Ck!" Nina berdecak sebal. "Iya, siapa lagi memang? Jangan bilang kau lupa. Padahal baru seminggu yang lalu aku mengatakannya padamu."

"Maafkan aku, hehe…." Bella menyengir sembari mengambil alih nampan yang ada di tangan Nina. "Ouh ya, sudah izin dengan Pak Manager?" Bella mengonfirmasi kembali, takut tindakannya masih dicap salah oleh pak tua itu.

"Sudah! Bahkan sebelum kau datang pun aku sudah meminta izin!" Nina terlihat sangat buru-buru. Bersyukur jika Manager itu adalah teman ayahnya, jika tidak Nina tidak mungkin mendapatkan izin semudah itu. "Aku duluan, ya!"

Bella mengangguk kemudian dengan segera membawa pesanan yang dimaksudkan oleh Nina tadi. Semula, Bella berjalan sangat hati-hati sambil membawa pesanan meja nomor 16. Namun, ketika ia sampai di meja yang dituju, matanya membulat saat mengenali pria di hadapannya.

Refleks, karena kekagetan itu, gerakan Bella jadi tak seimbang hingga membuat kopi panas yang jadi pesanan pria di meja itu tumpah dan mengenai si pelanggan.

PRANG!!

"Argh!! Pelayan ceroboh! Apa kau tidak punya mata, hah?!"

Keributan yang terjadi di meja itu membuat semua pandangan pengunjung sekarang mengarah pada mereka. Beberapa mulai berbisik, mengomentari betapa malang nasib si pegawai—Bella yang berbuat salah.

Bella tak langsung bergerak menuju pria tua yang bajunya terkena tumpahan kopi panas. Ia dilanda kebingungan antara ingin menyelamatkan diri dari pria itu … atau meminta maaf demi menyelamatkan pekerjaannya di cafe ini.

Setelah beberapa detik berpikir, Bella akhirnya memasrahkan nasibnya dan memilih untuk menyelamatkan pekerjaannya di sini. “Tuan, maafkan aku.”

Ia lantas mengambil beberapa lembar tisu di atas meja kemudian membersihkan noda yang sekarang tercetak jelas di kameja pria paruh baya itu.

Pria paruh baya yang semula memelotot dengan suara melengking marahnya itu seketika tersenyum usai mendengar Bella bersuara. Mata keriput itu kini tersenyum menatap Bella dalam, bak melihat mutiara berharga.

“Kau bekerja di sini rupanya.”

Tubuh Bella menegang mendengar nada ejekan yang diucapkan pria tua di hadapannya. Dengan kasar, Bella mengempas tangan pria tua yang mencekal lengannya, membuat ego pria tua itu kembali tersentil karena penolakan dari Bella.

Pria tua itu … pria yang juga menawarkan solusi terhadap hutang yang menjerat Bella. Tawaran pria itu hampir sama seperti Manu, bedanya pria tua itu meminta syarat berupa tubuh Bella yang harus menjadi milik putranya. Namun, jelas saja Bella menolak mentah-mentah. Ia tidak ingin kembali terjerat perangkap yang malah membuat bahkan dirinya sendiri pun tak mampu mengendalikan hidupnya.

Kemarahan pria tua itu rupanya mengundang kedatangan sang manajer. Keributan yang semula kecil, berubah besar ketika pelanggan tersebut tak terima dengan perlakuan Bella yang dianggap tak sopan. Sayang, Bella tak bisa lagi membela diri … sebab pria tua itu lebih dulu meninggalkan cafe dengan senyum miring di bibir, seolah mengolok Bella dan harga diri wanita itu.

"Bella, ke ruangan saya sekarang!" titah sang manajer.

Bella terus menundukkan pandangan, tak berani melihat pengunjung lain yang masih mencuri pandang ke arahnya. Saat sampai di ruang manajer, tanpa basa basi lagi manajer itu pun berujar, "Kau dipecat! Hari ini dan saat ini juga! Kemasi barang-barangmu dan segera pergi dari sini sekarang juga!"

Manajer tersebut tak ingin memberikan kesempatan lain untuknya. Tanpa bisa berbuat apa-apa, akhirnya Bella hanya bisa keluar dari tempat kerjanya dengan bahu yang tertunduk. Wajahnya yang basah karena menangis itu menengadah … mencoba mengajukan banding pada langit yang ia pikir telah berlaku tak adil padanya.

Di saat rasa putus asa itu mencekik lehernya, sebuah nama tiba-tiba melintas di benak Bella.

“Kak Manu … mungkinkah ini satu-satunya jalan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status