LOGINBeberapa langkah kemudian, cahaya terang mulai tampak di kejauhan.
Lucan berjalan ke arah itu, menuruni jalur batu kecil yang berkelok, hingga suara ombak perlahan tergantikan oleh riuh yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Semakin dekat, semakin banyak warna dan bunyi yang saling bertabrakan.
Ia tiba di sebuah area penuh cahaya—kedai-kedai makan di tepi jalan.
Lampu neon berkedip, memantul di permukaan jalan yang lembap. Suara tawa, obrolan, denting piring, dan deru kendaraan bercampur tanpa aturan. Dunia ini hidup… begitu nyata dimata Lucan.
Lucan berhenti di pinggir jalan.
Matanya membesar—kagum, takut, dan bingung sekaligus.
Sebuah motor melintas cepat tepat di depannya.
BROOOOMMM!!!
Lucan mundur setengah langkah, refleks, jantungnya berdegup kencang. Matanya mengikuti roda yang berputar cepat, tubuh besi itu melesat tanpa sayap, tanpa cahaya.
“Benda apa itu…?” gumamnya pelan.
“Kenapa bisa bergerak tanpa sayap…?”
Belum sempat ia memahami, sebuah mobil melintas berikutnya. Hembusan angin menyibak rambutnya, membawa suara klakson dan tawa dari dalam kabin.
Lucan menoleh ke kiri, lalu ke kanan. Manusia bergerak dengan ritme yang tak pernah ia pahami—tergesa, bebas, dan seolah tak takut jatuh.
Lampu-lampu kota memantul di matanya. Cahaya buatan—kasar, berwarna-warni—namun entah kenapa terasa hangat. Tidak suci. Tidak abadi. Tapi nyata.
Beberapa orang mulai menatapnya.
Tatapan itu berbeda dari tatapan para Seraphine. Tidak penuh penilaian surgawi—melainkan penasaran, heran, bahkan kagum.
Bisik-bisik terdengar.
“Siapa itu…?”
“Aneh ya, pria setampan itu jalan tanpa alas kaki?”
“Lihat, lihat. Bahkan bajunya terlihat sobek di beberapa bagian.”
Lucan tidak mengerti kata-kata mereka, tapi ia mengerti tatapan asing itu.
Dadanya mengencang. Ia menunduk. Langkahnya menjadi gelisah, canggung—seolah keberadaannya sendiri adalah kesalahan.
Tiba tiba hidungnya mulai mencium bau yang asing.
Hangat. Menggoda. Menembus udara tanpa izin.
Aroma gurih, manis, asin—semuanya bercampur, menusuk hidungnya dengan cara yang aneh. Lucan berhenti, tanpa sadar menarik napas dalam-dalam.
“Baunya…”
“Enak sekali…” bisiknya.
Matanya terpejam sesaat.
Ada senyum kecil yang muncul begitu saja di sudut bibirnya—asing, polos.
Perasaan itu muncul lagi di dadanya. Bukan energi suci. Bukan rasa sakit. Bukan panggilan takdir.
Keinginan yang sederhana.
Lapar.
Lucan membuka mata. Pandangannya tertuju pada deretan kedai—panci besar mengepul, daging dipanggang, minyak mendesis. Perutnya kembali berbunyi pelan, kali ini lebih jelas.
Ia terdiam, lalu menelan ludah.
“Jadi… ini yang disebut hidup menjadi manusia?” gumamnya.
Di Lumeris, kebutuhan hanyalah keseimbangan cahaya. Tidak ada rasa lapar. Tidak ada keinginan kecil yang mengikat tubuh pada dunia.
Namun di sini—setiap aroma, setiap suara, setiap cahaya—menariknya untuk tetap berdiri.
Tetap bernapas.
Lucan melangkah maju satu langkah.
Dunia manusia tidak menyambutnya dengan keajaiban atau wahyu. Tidak ada takdir yang diumumkan. Tidak ada suara langit.
Hanya sebuah jalan ramai, lampu neon yang berkedip, dan rasa lapar yang semakin nyata.
Dan untuk pertama kalinya, Lucan menyadari—
Untuk bertahan di dunia ini, ia tidak bisa lagi hanya menjadi cahaya.
Ia harus belajar menjadi manusia. Sepenuhnya.
Lucan terus berjalan menyusuri jalanan kecil itu.
Kakinya telanjang, dingin aspal malam merambat pelan ke telapak kakinya. Ia tidak berusaha menghindar. Sensasi itu nyata—menyakitkan, tapi membuktikan bahwa ia masih hidup.
Lampu-lampu di sepanjang jalan menari di genangan air, memantulkan cahaya kuning yang bergetar lembut. Setiap pantulan seperti memanggilnya, menuntun langkahnya ke arah yang tak ia pahami.
Ia tak tahu ke mana harus pergi.
Maka ia hanya mengikuti cahaya, satu demi satu, seperti naluri yang tersisa dari kehidupannya sebelum jatuh.
Hingga langkahnya terhenti.
Di antara deretan rumah yang gelap dan tertutup rapat, satu rumah tampak berbeda. Terang. Hidup. Seolah menolak tenggelam dalam malam.
Dari balik jendela kaca, sinar hangat menembus keluar—bukan cahaya suci Lumeris yang murni dan agung, melainkan cahaya yang lembut. Cahaya yang tidak menuntut apa pun.
Cahaya yang… menenangkan.
Lucan berdiri terpaku.
Menatap rumah itu seperti anak kecil yang menemukan bintang pertamanya di langit gelap.
Pintu rumah itu sedikit terbuka.
Dari dalam terdengar suara perabot yang bergeser, tawa samar dari televisi, dan aroma yang lembut—aroma makanan manusia. Hangat. Mengisi. Mengundang.
Langkahnya maju satu kali.
Kemudian lagi.
Setiap langkah terasa ragu, seolah ia sedang melanggar batas yang tak terlihat. Tangannya perlahan terangkat, jemarinya gemetar saat hendak menyentuh gagang pintu itu.
Cahaya dari dalam memantul di matanya yang kebiruan, membuatnya tampak hampir bercahaya di tengah gelap.
Namun—
“Hei!! Siapa kau?!”
Suara tajam itu memecah malam.
Lucan menoleh cepat.
Seorang gadis berdiri tak jauh darinya. Rambut hitamnya bergelombang, jatuh hingga bahu, sedikit berantakan. Mata lebarnya berkilau di bawah lampu jalan, mencerminkan keterkejutan yang belum sempat disembunyikan.
Di tangannya ada tas belanja. Jari-jarinya mencengkeram erat, seakan bersiap melempar atau melarikan diri.
“Mau apa berdiri di depan rumahku?” serunya lagi, suaranya terdengar tegas—meski getar halus tetap lolos.
“Kau pencuri, ya?”
Lucan tidak menjawab.
Ia hanya menatap gadis itu.
Dalam. Terlalu dalam.
Seolah berusaha membaca sesuatu yang tak tertulis di wajahnya.
Tatapan mereka bertemu.
DEG!
Jantung Seira berdebar keras, tanpa alasan yang jelas.
Ada sesuatu yang salah.
Wajah pria itu terlalu tampan. Sangat tamoan. Meski ada beberapa kotoran yang menempel di wajahnya, namun pesonanya tidak redup sama sekali.
Seolah—bukan manusia.
Seira menatap Lucan dari atas hingga bawah.
Tubuhnya kotor, penuh pasir dan debu pantai, membuatnya tampak rapuh sekaligus misterius.
Lucan memalingkan pandangan, kembali menatap cahaya di balik pintu.
Matanya menyipit, seolah mencoba memahami kenapa cahaya itu terasa… begitu hidup.
Seira mendekat, menarik tangannya kasar.
“Hei, mau apa kau di sini?” ucapnya, sedikit gugup.
Sebelum Lucan sempat menjawab, pintu rumah itu terbuka lebar.
Seorang wanita paruh baya muncul — rambutnya sedikit memutih, senyum lembut di bibirnya.
“Seira, kenapa lama sekali di luar?” tanyanya dengan suara hangat.
Aroma masakan yang keluar dari rumah itu menyeruak, memenuhi udara.
Lucan menarik napas dalam-dalam.
Wajahnya berubah pelan — mata yang tadi kosong kini bergetar oleh sesuatu yang asing namun indah.
“Baunya…”
“Baunya enak sekali…”
Lucan berbicara pelan, hampir seperti berbisik.
Wanita itu menatap Lucan dengan lembut.
Pandangan matanya turun — melihat tubuh Lucan dengan baju yang sobek, telapak kakinya yang kotor, dan wajahnya yang letih.
“Dia temanmu, Seira?” tanyanya.
Seira menggeleng cepat.
“Bukan, Bu. Aku baru saja—”
Wanita itu tidak menunggu penjelasan.
Ia melangkah mendekat, lalu menyentuh tangan Lucan.
Sentuhan itu lembut, hangat, manusiawi.
Lucan terdiam.
Hangat itu menjalar ke seluruh tubuhnya, lebih hangat dari cahaya Lumeris yang pernah ia rasakan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sentuhan itu tidak menyakitkan.
“Kau pasti belum makan, Nak,” ucap sang ibu lembut.
“Ayo masuk. Makan dulu, baru cerita.”
Lucan menunduk cepat, berusaha menyembunyikan ekspresi di wajahnya.
Ia ingin menolak… tapi tubuhnya lemah, dan hangat itu terasa terlalu menenangkan untuk dihindari.
Perlahan, ia mengikuti langkah sang ibu masuk ke dalam rumah.
Cahaya dari ruang makan menyelimuti wajahnya.
Ia menatap sekeliling dengan takjub — benda-benda sederhana, tapi begitu hidup.
Di belakang, Seira mendengus pelan.
“Bu… kenapa pria asing ini dibawa masuk?” gumamnya pelan.
Wanita itu hanya tersenyum.
“Kasihan dia, mungkin saja dia belum makanan seharian.”
Lucan menatap punggung wanita itu lama, sebelum akhirnya memejamkan mata sejenak.
Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Lumeris… ia merasakan hangat yang tidak menyakitkan.
Langit pagi itu cerah — terlalu cerah untuk sebuah hari yang akan mengubah segalanya.Udara lembap masih terasa dari sisa embun di dedaunan, sementara suara ayam dan sepeda motor warga desa bersahut-sahutan.“Sudah siap semua?” suara ibu Seira terdengar dari teras, menatap tiga sosok yang berdiri di depan rumah.Leo memanggul tas hitam besar, wajahnya datar seperti biasa.Seira mengenakan kemeja putih dan rok panjang, membawa tote bag berisi buku dan bekal.Sedangkan Lucan berdiri di antara mereka — masih memakai pakaian pinjaman Leo, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin.“Terima kasih atas sarapannya, Bibi,” ucap Lucan sopan.Ibu Seira tersenyum hangat, menepuk bahu pemuda itu. “Hati-hati di jalan, Nak.”Mereka pun melangkah. Jalan setapak dari tanah menuju halte kecil di pinggir desa tampak lengang. Di kejauhan, langit kota sudah terlihat — gedung-gedung menjulang samar, tertutup kabut pagi.Seira berjalan di depan, Leo di belakangnya, dan Lucan di tengah.Suasana awalnya ten
Angin malam di luar berhembus lembut, Elyon yang malam itu sudah memulai pencarian merasakan beratnya udara itu.Bau asin laut, lembab tanah, dan aroma kehidupan manusia bercampur menjadi sesuatu yang asing baginya. Kini tubuhnya telah kembali menggunakan tubuh Seraphine nya.Sudah semalam penuh sejak ia dan pasukan Seraphine-nya menembus batas langit dan turun ke dunia fana ini.Namun hingga kini, jejak Lucan belum juga mereka temukan.Cahaya Lumeris di tubuh mereka telah meredup — berganti menjadi bentuk manusia yang sepenuhnya tampak nyata di mata manusia lain.Tidak ada sayap. Tidak ada kilau di kulit.Namun di tengkuk mereka, tersisa satu tanda halus berbentuk sigil yang kadang memancarkan cahaya redup saat energi ilahi mereka terusik.Elyon berdiri di atas tebing yang menghadap laut.Ombak pecah di bawah kakinya, sementara beberapa Seraphine berdiri tak jauh di belakang, masing-masing menatap cakrawala dengan mata tajam.“Lucan turun di sekitar wilayah ini,” ucap salah satu Sera
“Lucan…”Langkah Elyon terdengar pelan di dalam kuil cahaya.“Aku tahu kau akan bertahan,” lanjutnya, suaranya tenang.“Jadi lakukan ini untukku.”Di atas altar suci Lumeris, tubuh Lucan terikat rantai ilahi. Sigil di dadanya berdenyut keras, memancarkan cahaya biru yang terasa panas hingga ke tulang.Di sisi altar, Dea Lira tersenyum tipis.“Meski dia menolak,” katanya datar,“Aku, ibumu, akan mengambilnya dari tubuhnya.”Cahaya keperakan menyala di matanya—penuh wibawa, tanpa belas kasihan.“Agghh—! Lepaskan aku, Ibu…!” Lucan menjerit.Namun tatapan Dea Lira justru tertuju pada Elyon, putra sulungnya, yang terbaring lemah di ujung altar lain. Cahaya dari tubuh Lucan mengalir menuju dada Elyon seperti sungai sinar.“Kau pewaris cahaya,” ucap Dea Lira.“Jangan kotori dirimu dengan belas kasihan. Kau mengertikan, sayang?”Elyon mengangguk. Tersenyum.Di atas altar, Lucan tersenyum getir. Darah bercahaya menetes dari sudut bibirnya.“Belas kasihan…” bisiknya.Belum sempat ia melanjutkan
Lucan terdiam. Nafasnya pelan, tapi sorot matanya tajam dan gelap.Kilatan biru di iris matanya perlahan meredup, kembali menjadi biru keabu-abuan.Lucan masih bersandar di dinding, perlahan menunduk. Matanya perlahan kembali normal.“A–apa yang terjadi di sini!?” suara Seira terdengar dari arah dapur.Seira berlari keluar bersama ibunya. Wajah mereka panik melihat Leo, kakak Seira yang terjatuh di lantai.“Kak! Kau kenapa!?”“Apa yang terjadi?” tanya ibunya cemas.Leo menunjuk Lucan dengan tangan bergetar.“Siapa… siapa dia sebenarnya?”“Namanya Lucan,” jawab ibunya lembut tapi tegas. “Dia tersesat. Jadi Ibu menyuruhnya tinggal di sini malam ini. Tadi bajunya basah, jadi Ibu meminjamkan bajumu padanya.”Leo menatap ibunya tidak percaya. “Aku sudah bilang, Bu… jangan asal bawa orang asing masuk rumah.”“Ibu hanya kasihan,” jawab ibunya dengan nada pelan.Seira ikut bersuara, masih kesal. “Aku sudah bilang ke Ibu, Kak. Tapi Ibu tetap ingin menolong dia.”Leo mendengus pelan. Wajahny
Di dunia manusia, suasana malam itu terasa begitu tenang.Lampu di rumah sederhana itu menyala lembut, menyorot wajah hangat keluarga kecil Seira yang kini tengah makan malam bersama. Aroma sayur rebus bercampur dengan wangi kayu dari lantai yang sudah tua.Lucan duduk di antara mereka — untuk pertama kalinya, merasa… tenang.“Makanlah lebih banyak, Nak,” ujar ibu Seira sambil menambah nasi di mangkuknya. “Kau terlihat sangat lapar.”Lucan mengangguk, lalu kembali menyuapkan makanan itu ke mulut. Lucan menyukainya. Perlahan lahan, bunyi asing di perutnya yang sejak tadi berbunyi, tak lagi terdengar.Namun di tengah rasa itu—DZZTTTTT—!!Sendok di tangannya berhenti.Seketika, napas Lucan menegang.Ada sesuatu yang bergemuruh… jauh di dalam tubuhnya. Seperti ribuan sayap yang bergetar di balik kulitnya sendiri.“Lucan?” suara lembut ibu Seira memecah kesunyian. “Ada apa, Nak? Apakah masakanku kurang enak?”Lucan tidak menjawab.Matanya menatap kosong ke arah meja. Tangannya gemetar r
Sekeliling mereka bergetar. Angin surgawi tersedot ke dalam pusaran kecil di lantai kuil. Para Seraphine yang mendengarkan merasakan hawa dingin menggeliat di tulang mereka — janji Dea Lira bukan sekadar ancaman, melainkan hukum.Elyon melangkah mendekat, matanya menyala seperti logam yang dipanaskan. Ia menatap ke bawah, menatap pusaran cahaya yang menandakan tempat-transisi yang sempat terbuka dan menutup.“Ibu, kau bilang kita akan menyisir sampai ke ujung bumi?” Elyon mengulang, suaranya kini mengeras. “Baik. Biarkan kami yang memulai. Kirim barisan pelacak ke laut, ke jalur udara, ke pasar-pasar manusia. Kumpulkan yang kuat; yang lemah jangan kusia-siakan. Kita butuh hasil cepat. Aku tak ingin menunggu sampai sigil itu benar-benar mati. Jika itu terjadi—”Ia memukul meja altar dengan tenaga yang membuat kaca suci berdentang. CRACK! — retakan kecil memanjang.“Kalau aku harus mengorbankan segalanya demi mempertahankan hidupku—aku tak akan ragu.”Dea Lira tersenyum, nada suaranya







