“Jangan gigit lagi, sakit.” “Tapi aku suka.”“Dasar peri mesum,” Renata mendorong wajah Samudera Biru namun lelaki itu bergeming. Kali ini ia menahan kepala Renata, mengecup dengan kelembutan yang membuat iri para penenun sutra.Dalam sekejap dua rasa bertaut, saling meraup dan bertukar rindu serta gelora dalam dada.“Tidurlah, masih ada beberapa jam lagi sebelum sidang,” ucap Samudera Biru setelah menyudahi tautannya. Ia merapikan lengan baju Renata yang turun dan memeluk lebih erat hingga mereka kini bisa mendengar detak jantung masing-masing.Renata hanya mengangguk patuh, memejamkan mata dengan tenang.“Biru.”“Hemm.”“Setelah ayahku bebas aku akan menikahimu.”Alis Samudera Biru bertaut. Entah harus senang atau geli mendengar ucapan Renata yang begitu santai.“Ada apa denganmu, sayang? Kenapa kau penuh inisiatif seperti ini? Kau tidak sedang balas dendam kan?”“Tidak. Kenapa memangnya? Salah? Kau tidak mau menikah denganku?” cecar Renata dengan mata seketika terbuka kembali.Sam
Seluruh peri yang hadir di aula agung tercekat. Menatap tanpa kesip pada Renata yang terbalut cahaya terang dan berkilauan.Rambut sang gadis berkibar dengan mata bersinar laksana bintang paling terang di seluruh galaksi.Energi yang keluar dari tubuhnya membuat aula agung bergetar hebat. Tiang-tiang berderak, lampu-lampu gantung terjun bebas, kertas dan perkamen berterbangan sementara dinding-dinding retak di beberapa bagian.“Kak Renata,” desis Kenzio cemas. Ia berdiri, akan melayang ke tengah aula namun urung karena Samudera Biru sudah lebih dulu melesat.Peri itu meraih pinggang Renata lantas berbisik lembut, berusaha mencapai titik di mana kesadarannya tertelan.“Renata, kuasai dirimu sayang.”Renata menoleh dengan ganas. Seperti dewi kehancuran dalam cerita pewayangan. Ia menghempaskan lengan Samudera Biru, membuatnya hampir terlempar seandainya tak menahan dengan hampir separuh kekuatannya.“Sayang, tenanglah,” Samudera Biru kembali berbisik sambil memeluk erat, menelusupkan se
Kolam Suci LotusSetelah berkemas rombongan Samudera Biru meninggalkan istana kerajaan peri samudera. Mereka dilepas oleh Raja Sion, Ratu Dyane dan Orion Sion. Bocah kecil itu tampak terus terisak-isak, tak rela ditinggal oleh kedua kakak kesayangannya.“Nona Shiny, tunggulah aku! Jangan melihat lelaki lain! Setelah dewasa aku pasti akan menikahimu!” seru Orion Sion pada rombongan yang mulai menjauh.“Baiklah! Sekarang kau belajar pipis yang lurus dengan baik dan benar dulu, Pangeran!!” jawab Shiny sambil melambaikan tangan.Renata hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Shiny yang tak ragu mengusili Pangeran Orion Sion, tak peduli di sana ada Raja Sion dan Ratu Dyane.Diam-diam Renata melirik Samudera Biru, khawatir peri itu kesal karena adiknya dijahili. Tapi aman, wajah Samudera Biru lurus bin lempeng, fokus melangkah menuju gerbang di mana para unicorn tengah menunggu.Melihat binatang itu wajah Renata dan Shiny seketika semringah seperti para gadis pemalas yang menang lotre.
Mata Renata melebar. Tak percaya dengan penglihatannya sendiri.“Bi ... Bibi Galuh,” desisnya tercekat. Ia mengerjap, memastikan tidak sedang terjebak dalam ilusi.Sosok Ratu Galuh Triwardhani tersenyum. Berjalan anggun ke arahnya.“Kau sudah besar, Nak,” ucap wanita itu lantas memeluk erat.Sekejapan Renata membeku, sibuk mencerna apa yang tengah terjadi.Ratu Galuh melepas pelukan kemudian tersenyum lembut. Sungguh, tak ada yang berubah darinya. Ia tetap secantik bidadari seperti dalam ingatan lawasnya.Tapi otak Renata segera kembali ke fungsi normal. Menghimpun berbagai tanya dengan cekatan. Bukankah Bibi Galuh sudah meninggal? Apa ini arwahnya? Atau ia sedang bermimpi? Tapi kenapa terasa begitu nyata?“Ini bukan mimpi, sayang,” ucap Ratu Galuh seperti bisa membaca isi kepala sang gadis.“Lantas apa?” tanya Renata masih dengan kebingungan yang kental.Ratu Galuh tersenyum lembut.“Bibi tahu hari ini akan tiba. Karena itu Bibi sengaja menyegel sebagian energi Bibi dan menyimpanny
Dua sosok berjubah di atas batu melayang turun. Berdiri tegak di depan rombongan Samudera Biru yang sudah turun dari unicorn masing-masing.“Ck, kau selalu terlambat, adik kecil,” decak salah satu sosok yang sudah membuka penutup wajahnya.“Aku bukan adikmu, sialan,” balas Samudera Biru sambil membawa Renata turun dari atas unicorn.Sosok yang ternyata Pangeran Hyang Sagara dan Cyrila itu menurunkan tudung jubah.Cyrila segera membungkuk penuh hormat pada Samudera Biru kemudian memeluk Renata erat.“Kau baik-baik saja Nona Renata?”“Sangat baik,” sahut Renata sambil tersenyum senang bertemu dengan wanita cantik yang keibuan tersebut.“Kak Sagara!” Sierra Sion tiba-tiba berlari memeluk Hyang Sagara. Gadis itu dengan santai mengecup pipinya kanan dan kiri.“Hais, bocah ini tidak pernah berubah,” gerutu Hyang Sagara sambil menoyor kepala Sierra Sion hingga sang gadis memberengut. Kenzio dan Shiny sontak tertawa puas. Sementara Cyrila mengerutkan dahi, menatap wanita yang asal mencium le
Padang batu gegap gempita oleh geram dan lengking ribuan makhluk.Rama dan Ratansa yang melihat dari kejauhan mengeratkan gigi. Menahan diri untuk tak terjun ke dalam pertempuran karena Samudera Biru belum memberi instruksi.Pangeran peri itu mewanti-wanti agar mereka tidak bertindak gegabah. Sebisa mungkin tetap menyembunyikan diri bila tak terlalu genting.Bukan tanpa alasan Samudera Biru bersikap demikian. Ia tak ingin pasukan yang diam-diam dibentuk selama bertahun-tahun itu diketahui musuh, terutama oleh para tetua dan pejabat kerajaan.Jika mereka tahu maka ia akan dijerat dengan berbagai tuduhan terutama tuduhan makar.Lain Rama dan Ratansa lain lagi sosok-sosok berbaju hitam. Mereka yang semula terbilang anteng kini mulai bergerak agresif melancarkan berbagai serangan-serangan mematikan.Namun tak satu pun yang berhasil naik ke atas batu tertinggi karena Hyang Sagara dan Sierra Sion menghadang tanpa ampun. Keduanya berkelebat mengelilingi batu tertinggi laksana badai di teng
“Maaf, Anda siapa Nona?” Renata tersenyum getir. Pertanyaan Singgih Wirayudha seperti sembilu yang mengiris hatinya hingga luka dan berdarah.Namun gadis itu bisa mengerti, Singgih Wirayudha pergi saat usianya masih sangat kecil. “Aku ... aku putrimu, Ayah,” ucap Renata bergetar, sebisa mungkin menahan sedu yang sudah mencapai tenggorokan.Mata Singgih Wirayudha melebar. Menatap lekat Renata, menelisik dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Pu ... putriku? Renata? Kau ... kau Renata putri kecilku?” tanya Singgih Wirayudha terbata.Renata mengangguk. Ia mengeluarkan pedang giok perak. Dalam sekali sentak wujud pedang berubah dari tali pinggang menjadi sebilah pedang tipis.Mata Singgih Wirayudha seketika berembun. Itu sudah lebih dari sebuah bukti. Di dunia ini hanya keturunan utama Wirayudha yang bisa menggunakan pedang giok perak.“Rena ... kau memang Renata, putriku.”“Ya, itu aku ayah.”Renata menghambur memeluk Singgih Wirayudha. Tangisnya pecah bersahutan dengan tangis lelaki te
Kastil gerbang lotus utara yang biasanya terlihat muram dan kaku kini tampak lebih semarak.Atas instruksi Samudera Biru seluruh lampu sengaja dinyalakan, berbagai hidangan sengaja disajikan untuk merayakan kembalinya Singgih Wirayudha.Dan berita kembalinya lelaki itu menyebar begitu cepat. Satu per satu bangsawan gerbang lotus yang tercerai-berai berdatangan menyambut kepulangan pemimpin mereka yang telah lama menghilang.Renata yang semenjak awal tak pernah mau jauh-jauh dari sang ayah terpaksa mengalah. Membiarkan lelaki itu bernostalgia dengan rekan-rekan seperjuangannya.“Kau senang?”Renata menoleh. Samudera Biru berjalan mendekat ke arahnya dengan senyum terkembang.“Terima kasih,” jawab gadis itu sambil menyambut uluran lengan Samudera Biru.“Kebahagianmu tujuanku, sayang,” bisik Samudera Biru sambil mengecup lembut pipi Renata.“Kau ini,” keluh Renata tersipu karena keintiman mereka menyita perhatian begitu banyak mata termasuk Singgih Wirayudha.Samudera Biru terkekeh dan