Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny.
"Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega.
Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja.
"Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan.
Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran.
"Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali."
"Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut.
Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung.
"Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning.
"Terima kasih
Hallooo... Terima kasih sudah mampir ke novel perdanaku di good novel .. Semoga suka ya .. Jangan lupa subs, love dan reviewnya ... Hatut nuhunnn sagede gunung ... Peluk hangat 🤗🤗🤗
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s
Bulan membulat sempurna. Sinarnya terlihat berkali lipat lebih terang. Bintang-bintang rasi tak mau kalah, mereka berpijaran, mengerlip pada wanita luar biasa cantik yang bersila di atas daun lotus raksasa, tepat di tengah kolam berair sejernih kaca.Cahaya putih kebiruan keluar dari tubuh wanita itu. Membumbung ke angkasa, berputar sebentar lalu melesat ke arah seorang anak perempuan yang tertidur dalam gendongan lelaki gagah yang berdiri di tepi kolam.Semua yang hadir terhenyak. Kuncup bunga mendadak bermekaran, kupu-kupu warna warni berdatangan dan bau harum semerbak dilarikan angin ke berbagai penjuru.Wanita di atas daun lotus menghentak lembut ujung kaki, melayang indah menuju tepi kolam.Semua orang menjura, memberi jalan. Dengan anggun wanita itu mendekati anak perempuan yang dilingkupi cahaya. Menyentuh lembut ruang di antara kedua alisnya.Secara perlahan cahaya itu masuk ke dalam tubuh si anak seiring bau harum yang juga menghilan
Renata merasakan tubuhnya gemetar. Meski diucapkan dengan nada santai tapi kalimat Samudera Biru sarat akan ancaman. Gadis itu menarik napas dalam sebelum akhirnya menatap tajam lelaki di depannya. “Kau sangat mengagumkan, Pangeran.” Samudera Biru mengedikkan bahu, balas menatap mata Renata yang berkilat sinis. “Jadi?” “Aku setuju.” “Gadis pintar.” Lelaki itu mengacak rambut Renata “Aku bukan anak kecil,” tepis gadis itu, menyingkirkan lengan Samudera Biru. “Ah, aku lupa kau sudah tumbuh menjadi gadis yang seksi.” “Memangnya kau tahu masa kecilku?” dengus Renata. Samudera Biru mengangguk, membuat mata Renata menyipit serius. “Benarkah? Apa kita pernah bertemu?” “Menurutmu?” “Aku harap tidak.” “Kenapa?” “Karena kau itu rubah jantan yang licik.” “Rubah? Aku peri.” “Terserah, bagiku kau itu rubah licik.” Samudera Biru tertawa lalu menjentikan jari, men
Harapan menyala di mata Renata. Bertemu dengan orang, bukan, peri yang mengenal ayahnya adalah sebuah kemajuan besar dalam pencariannya yang terasa mustahil.“A ... anda tahu di mana ayah saya?”“Tidak, kami terakhir bertemu sekitar sembilan belas tahun lalu, di tempat ini.”Nyala itu memudar menjadi muram. Mengusik hati lelaki berparas indah di depannya.“Jangan khawatir, dalam waktu dekat aku akan mencari tahu, hem?”Renata mengangkat wajah, menemukan manik mata Samudera Biru yang setenang telaga. Sesaat ia tenggelam di sana seperti musafir tersesat.“Terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Renata. Ia menunduk, mengundang secuil senyum makhluk di depannya.“Pangeran, apa yang akan Anda lakukan pada iblis Kali Maya?” tanya Panglima Kuning.“Aku akan menghancurkannya.”“Bukankah itu akan sulit karena dia pernah mencuri sedikit darah
“Rena ... Renaa ... Renataa.” Mata gadis cantik itu terbuka perlahan. Sayup-sayup seseorang memanggil namanya. Semakin lama semakin jelas dan ia mengenali sebagai suara Singgih Wirayudha, ayahnya. “Ayah?” gadis itu berdiri, mendatangi sumber suara. “Ya, Rena. Kemarilah, Nak.” Renata berjalan menuju lantai bawah dengan perlahan. “Ayah di mana?” “Ayah di sini. Kemarilah,” suara itu kembali terdengar. Renata membuka pintu dan menggeser rolling door. Selangkah lagi kakinya akan melewati pintu tiba-tiba suara Samudera Biru bergaung di kepalanya. “Jangan pernah keluar, Renata!” Ia tertegun, menarik kakinya kembali. Namun, sosok Singgih Wirayudha menjelma. Ia tersenyum dan melambai. Membuat Renata terpaku oleh ribuan rasa yang berdatangan tanpa diminta, mereka berkomplot mengabaikan suara Samudera Biru. “Aa ... Ayah,” ucapnya terbata, tanpa sadar melewati dinding pelindung. Singgih Wirayudha kembali ter
Samudera Biru menempatkan Renata di atas meja pipih terbuat dari batu giok hijau muda yang dingin. “Pukk!! Pukk!! Pukk!!" Hei, bangun!!!” Renata mengerang, tubuhnya terasa kosong, seolah seluruh energinya terhisap oleh sesuatu yang tak terlihat. “Apa?” tanya gadis itu nyaris tak terdengar. “Buka matamu.” “Hem.” Kinara mengangkat sedikit kelopak, mati-matian bertahan agar tidak jatuh dan menutup kembali. “Tahan sebentar, ini cukup menyakitkan.” Samudera Biru memegang ujung jarum, lalu menarik dalam satu gerakan kuat. “Arrghh!!” Jeritan Renata dipantulkan dinding-dinding batu. Nyeri teramat hebat mendera, seperti sesuatu yang berakar dicabut paksa dari bahunya. Bagaimana tidak, ujung jarum itu ternyata terpecah menjadi enam bilah sangat tipis dengan ujung menekuk seperti jangkar. Daya cengkeramnya tidak main-main, sejumput daging ikut tercabut keluar. Darah mengalir
Renata membuka mata perlahan. Merasakan dingin batu giok mencucuk hingga jauh ke dalam kulit, daging dan tulangnya.Tak ada lagi rasa panas membara, hanya tersisa rasa ringan yang aneh. Seolah seluruh tubuhnya hanya berisi partikel-partikel kecil yang melayang di udara.“Kau sudah bangun?”Satu suara mengalun membuat Renata seketika terjaga penuh. Di depannya Samudera Biru tampak sedang membaca buku tua dengan kaki terlipat.“Ini jam berapa?” tanya Renata sambil mengusap wajah.“Jam satu siang.”“Astaga, aku harus membuka toko,” ucapnya panik.Samudera Biru menurunkan buku. Memandang penuh geli.“Setelah melewati fase antara hidup dan mati hal pertama yang terlintas di kepalamu adalah membuka toko? Ck, kau luar biasa.”“Tentu saja, toko itu seperti penyambung nyawaku. Dari sana aku bisa bertahan hidup,” sahut Renata sambil beringsut. Namun kembali me
Renata berjalan tertatih sambil menepuk bagian dress yang kotor. Wajahnya menekuk, menatap frustasi pada lutut dan siku yang tergores cukup lebar. Bekasnya pasti tidak sedap dipandang mata.Samudera Biru sangat keterlaluan. Ia baru saja selamat dari racun tapi sudah diserang secara brutal.“Latihan macam apa itu? Bilang saja mau menindasku, huh! Dasar rubah licik tak berperasaan!” umpat Renata sambil meniup luka di telapak tangannya.“Bugh! Aww!!”Karena terlalu fokus Renata menabrak sesuatu yang lebar, keras dan wangi.“Aish, sialnya,” keluh gadis itu sambil menyentuh kening yang berdenyut.Renata mengangkat kepala, menemukan kaus putih dan jas kasual biru laut menggantung sempurna di satu dada kokoh. Ia menelusur, terhenti di paras rupawan dengan bibir semerah kelopak mawar dan mata sejernih kristal.Sungguh keindahan yang bisa meruntuhkan akal sehat, membuat bodoh dan linglung penatap