Suhu di kamar Dina turun karena sensor mendeteksi pergulatan panas yang semakin menggelora. Elan masih menggenggam tangan istrinya, mencekalnya di dinding karena sempat mengelak tangannya untuk masuk ke paha. Ia kemudian menjilati selangka Dina sambil sesekali mencucupnya.
Dina hanya memejamkan mata sembari menggigit bibir dalamnya, menarung alisnya merasa kenikmatan menjalar dari bagian yang dicucup oleh Elan. Ia baru bisa menikmati sentuhan Elan, setelah sebelumnya terlalu sibuk mempertahankan diri.
Elan kembali mengalungkan kedua tangan Dina ke lehernya, lalu mengusap paha mulusnya naik turun. Gerakan yang sangat membangkitkan libido hingga Dina melenguh tanpa sadar.
Jemari Elan semakin aktif, naik, mengusap perut Dina dari balik baju, naik, menyusup, kemudian..
Dina tersentak saat telunjuk Elan berhasil menyusup, memencet puncak bukitnya. Ada rasa geli yang mencekal. Ia tersadar, lalu segera membuang tangan Elan.
"Cukup! Engh.."
El
ditunggu vote dan komentar ya say
"Apa, yang kamu, lakukan, semalam?" Dada Dina naik turun karena kesal. "Tidak ada.. Selain.." Elan sengaja menyetop penuturannya. "Selain apa?? Katakan selain apa??" Dina marah. Elan mengekeh, puas sekali melihat wajah Dina yang sebal. Sukses mengerjai istrinya hingga geregetan. Ia segera mendekatinya di ranjang. "Hanya mengusap sedikit Bocah.." Dina kesal lalu memukuli Elan dengan bantal. Membabi buta saking muaknya. Ia merasa dibodohi lelaki itu. Seenaknya menyentuh bagian-bagian intim tubuhnya tanpa permisi. "Brengsek! Brengsek! Apa yang kamu usap hah?? Brengsek!" "Hey.. Hey.. Hanya mengusap lenganmu.." Dina mengendurkan gerakan dengan nafas memburu. Tanda bahwa emosi masih mendiami pikirannya. Ekspresinya menunjukkan kecurigaan bahwa Elan berbohong. "Juga mengecup bahumu sedikit." Wajah Dina memerah marah kembali. Tangannya meremas bantal bersiap menyerang. Elan semakin gema
Wajah Asya mengerut merasa bersalah. Ia menatap Raka takut, bingung pula apa yang harus dilakukannya. Bibirnya naik turun gundah. Mmuch! Raka mengecupnya gemas. "Adik kecil barusan lihat apa hayo?" Goda Raka agar Asya lebih tenang. "Iihh Kakak, aku maluu, tadi Kak Elan iihhh.." Asya menutup matanya dengan telapak tangan. Raka tersenyum lebar menyaksikan tingkah istrinya, yang sedang dipangku miring di sofa. Tubuhnya semakin berisi memasuki usia kandungan enam bulan, tapi sikap dan sifatnya semakin manja. "Kenapa mesti malu Sayang? Kan kita juga sering begituan.." "Tapi nanti aku harus bagaimana kalau bertemu mereka Kak? Aku ganggu mereka tadi kan.." Asya memainkan kancing Raka merasa bersalah. Raka mengusap perut istrinya. Membisikkan sesuatu agar didengar Asya. "Para junior Papa, Mama barusan nakal, lihat orangena-ena." Asya spontan melepas tangannya, memukuli dada Raka kesal. M
Dilema. Di satu sisi Dina bingung karena uang sakunya tinggal selembar pecahan lima puluh ribu. Di sisi lain ia tak mungkin meminta uang saku pada Elan sedangkan dua hari ini hubungan mereka belum ada perkembangan. Tak ada lagi kedekatan selain waktu makan malam. "Bry! Beri aku pinjaman ya,please.." Dina memelas. "Hmm.." "Kamu hmm hmm saja dari tadi, jawab iya dong Bry.." Dina mulai protes. "Hmm.." "Bilang hmm sekali lagi ku blokir kamu dari daftar sahabat." "Seperti punya sahabat lain saja, harap dipikir sebelum bicara." Bryan menang telak. Dina menghembuskan nafas berat, meletakkan kepalanya miring di meja kantin sekolah. Usahanya sedari tadi sama sekali tidak meluluhkan Bryan, sahabat semata wayangnya, yang sedari tadi fokus dengan layar ponselnya. "Tega kamu Bry.." wajah Dina murung. Bryan menutup layar ponselnya, meletakkannya di meja. Lalu memantengi sahabatnya yang terlihat kacau sedang men
"Bagimu, aku ini apa?" Tanya Dina serius. Elan menghentikan aktivitas mesumnya. Melepaskan ciumannya di leher Dina, mengendurkan kecepatannya dalam meremas. Ia tersenyum, menjatuhkan pandangan jauh ke pegunungan sebagaimana Dina. "Apa itu penting?" "Tentu saja.. Seorang gadis yang sudah diperlakukan sepertiku patut bertanya, kenapa seorang lelaki memperlakukannya demikian. Hanya nafsu? Atau pelampiasan?" "Aku sedang nafsu ingin menjilatmu tapi tidak bisa." Jawab Elan sambil terkekeh. "Itu bukan jawaban yang ku harapkan." Dina mengangguk kecewa. "Kamu mengalihkan pembicaraan dan.. Ah sudahlah.." Dina menekuk wajahnya, menelan kepahitan. Mungkin ia terlalu berharap. Tidak pernah ada yang spesial di mata Elan tentang siapa dirinya. Ia menyingkirkan kedua tangan Elan dari dadanya. Memasukkan kembali dua bola dadanya ke dalam. Mengancing seragamnya cepat, lalu melepas jas Elan dari bagian depan tubuhnya. "Aku ke toilet dulu,
"Kak Elan.." Suara Dina serak sarat gairah. "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Elan merasa selangkangannya sangat ketat, tapi gerakan mata Dina yang ragu menyadarkannya akan sesuatu. Ia menarik diri dari tubuh istrinya. Rebah di ranjang mengatur nafas. "Kita baca dongeng saja.." Elan terkekeh sok tenang. Dina menemukan area sensitif Elan menggembung, pertanda lelaki itu sedang sangat menginginkannya. Ia tidak siap, tidak mau, lebih tepatnya belum yakin. Meskipun semenit lalu ia sempat pasrah jika Elan berniat menggaulinya. Dina duduk, mengatur nafasnya pula. Ia tak bisa terus-terusan begini. Berada di sisi Elan akan membuat lelaki itu tersiksa oleh nafsunya yang tidak tuntas. Ia tak mau menyiksa suaminya sementara sudah berkali-kali Elan memuaskannya. "Aku akan tidur di kamar lain.." Dina beringsut. Gadis itu segera menarik diri dari sisi Elan, tak mau keadaan kembali panas. Ia tak ingin Elan merasa diberi harapan palsu. Namun seke
Sayang. Elan memanggilnya dengan sebutan yang baru. Biasa memang bagi pasangan lain, tapi bagi Dina, sepanjang usia pernikahan drama mereka yang belum genap dua bulan, panggilan itu tak ubahnya oase. Sebuah kesegaran yang menyejukkan. "Kenapa? Tidak suka ku panggil begitu?" Dina perlahan mengembangkan senyumnya. Ia tak mau terlihat begitu girang. Cukup seperlunya agar tidak memalukan. Ini membahagiakan tapi tak untuk dirayakan. "Kenapa harus tidak suka, hanya sebuah panggilan.." Jawab Dina santai. Elan membelai rambut Dina yang kini rebah di atas dadanya. Ia bisa merasakan dada kenyal Dina tergencet tubuhnya. Hangat mengundang jamahan. "Sayang.. Turun ya.. Takut ada yang bangun." Pinta Elan terdengar menahan sesuatu. Dina mendongak, tersenyum jahil. Ini saatnya menjajal kemampuan dan hasrat yang terpendam. Jika Arya pernah menerimanya, mengapa Elan tidak? Ia mendongak untuk memastikan wajah Elan, dengan seringai mengundang mena
Suasana kamar Elan memanas. Serangan cahaya matahari menyorot tubuh ramping yang telungkup di ranjangnya. Tubuh yang sedang pasrah dilanda gairah dan kebasahan di sekujur tubuhnya. Tautan bibir di meja sarapan mereka berlanjut di ranjang. Sepanjang perjalanan dari meja makan ke kamar, Elan memereteli seluruh pakaian yang membalut tubuh Dina hingga tercecer. Sebaliknya Dina membuka jas danseluruh kancing kemeja Elan tanpa melepas pagutan mereka. Bibir mereka terlihat saling menggigit tak sabar, mencucup, menghisap, membelit satu sama lain seolah tak ada hari esok. Sesampainya di kamar Elan, Dina merebahkan tubuhnya di tengah-tengah ranjang. Berpose seksi dengan membuka kaki lalu mengelus perut hingga dadanya sendiri. Birahi Elan mencapai level maksimal menyaksikan Dina di hadapannya yang masih berdiri bertingkah seerotis itu. Ia segera merangkak mengambil posisi di atas tubuh istrinya. Dina segera melepas kaitan celana Elan, membuka ritsl
Elan masuk ke dalam apartemennya dengan senyum tak henti mengembang. Suasana hatinya sangat berbunga hari ini. Bagaimana tidak, selama beberapa jam di kantor pikirannya tak henti dihantui oleh wajah dan senyum Dina. Hasratnya hanya ingin menemui gadis itu dan berada di dekatnya, memeluknya, mendekapnya dalam perasaan selain kebutuhan yang semakin ia sadari. "Sayang..." Panggil Elan lantang. "Daisy.. Kamu di mana?" Tak ada jawaban. Elan menengok dapur tapi tak menemui istrinya. Ia masuk ke kamarnya tapi juga belum menjumpai sosok Dina. Elan mulai resah. Ia buka kamar mandi tapi tak menemukan gerakan apapun di sana. Terakhir, Elan membuka kamar Dina. "Dai.." Elan memotong panggilannya seraya tersenyum kala menemukan istrinya sedang tertidur di ranjang. Dibalik selimut Dina tampak pulas terpejam. Nafasnya teratur dan tenang. Rupanya ia kelelahan. Selama ditinggal Elan ia hanya tidur, mandi, makan sepotong roti, minum, ke