Rinai masih tak percaya dia menyetujui permintaan Kenshi. Apa rasa kecewa pada Reinart membuat otaknya juga tak bisa berpikir logis. Bagaimana dia bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang baru dikenal dalam hitungan hari. Bahkan, dia tak tahu siapa nama lengkap pria tersebut. Sebenarnya dia buta tentang Kenshi. Bagaimana karakter dan masa lalu pria itu.
Wanita berambut panjang bergelombang itu memperhatikan Kenshi yang sedang tertidur. Pria itu baru saja terlelap setelah meminum obat dan dipijat kakinya oleh Rinai. Dia bilang, pijatan sang wanita merilekskan kondisi tubuhnya. Entah benar atau tidak, tapi Kenshi benar-benar tertidur. Rinai bangkit dari pembaringan, gerakannya sangat pelan seolah-olah takut mengganggu tidur si pria.Setelah menyelimuti Kenshi, Rinai masih sempat memperhatikan wajah pria tersebut. Saat tidur Kenshi terlihat seperti bocah. Raut wajahnya begitu tenang, tak terlihat gundah yang terkadang ditangkap mata Rinai. Deru napasnya pun sangat tenang dan entah mengapa si wanita merasa sangat tenang hanya dengan melihat pemandangan itu. Sangat pelan langkah Rinai keluar dari kamar yang didominasi warna putih itu. Begitu membuka pintu, dia sedikit terkejut melihat seorang wanita sedang berdiri di depan kamar Kenshi."Kamu siapa?" tanya wanita itu dengan tatapan menyelidik ke arah Rinai."Aku Rinai, perawat Kenshi.""Perawat?" Wanita tersebut menaikan alisnya, "Sepertinya baru, ya?"Rinai tersenyum, dia menutup pintu kamar setelah melirik ke arah sesaat. "Iya, baru dua minggu. Maaf, Anda mau bertemu Kenshi?""Tadinya iya, tapi sepertinya dia sedang istirahat. Nanti saja."Rinai hanya menggangguk saat wanita itu berlalu begitu saja. Dia lebih memilih ke kamar untuk beristirahat. Dia tidak tahu hal apa yang akan dilakukan Kenshi nanti, yang pasti dia akan menyiapkan tenaga ekstra karena berurusan dengan pria itu seperti mengasuh bayi besar saja.*Kenshi kembali memicingkan mata ketika cahaya matahari menyentuh irisnya. Sepertinya Rinai sengaja membuka gorden pelapis agar cahaya masuk ke dalam kamarnya melalui kisi-kisi jendela."Udah siang, Ken. Sepertinya perawat barumu lupa membangunkanmu."Kenshi menoleh dan mendapati Nailah sedang duduk di sofa tepat di sebelah pembaringan."Kamu? Sejak kapan di sini? Trus Rinai mana?""Oo, jadi namanya Rinai? Cantik juga, ya," goda wanita yang bernama Nailah tersebut."Kamu belum jawab pertanyaanku."Nailah tertawa kecil hingga memperlihatkan barisan giginya yang rapi persis biji mentimun. "Baru aja. Aku datang sekitar dua jam yang lalu. Ngobrol sama Mama, trus naik ke kamarmu."Kenshi terdiam sesaat. Dia menikmati tawa dan raut bahagia yang terpancar dari bibir Nailah. Cukup lama dia tak melihat senyum favoritnya, senyum yang dulu selalu jadi penyemangatnya. Tapi, bersamaan dengan itu bayangan Riyad melintas, membuat Kenshi memalingkan wajah dengan cepat. Dia sadar tak seharusnya mengagumi berlebihan, tetapi hati tak bisa secepat itu melupakan."Tumben kamu ke sini? Ngga kerja?" Kenshi berusaha berbasa-basi karena keadaan terasa mulai canggung."Kerja, tapi tadi udah ijin. Mas Riyad bilang kamu udah mendingan. Mau balik terapi. Aku senang kamu udah punya usaha untuk sembuh.""Makasih," jawab Kenshi singkat.Nailah hanya menanggapi ucapan Kenshi dengan senyum canggung. Entahlah, dulu mereka sahabat dekat. Ke mana-mana selalu berdua. Bukan Nailah tak menyadari perasaan Kenshi padanya, hanya saja dia takut salah meletakan hati dan merusak persahabatan keduanya. Apalagi sejak mengenal Riyad, pria itu sangat tampan dengan perawakan tinggi dan kemapanannya. Gayung bersambut, Riyad pun memiliki ketertarikan kepada sang wanita hingga keduanya sering bertemu di belakang Kenshi.Seharusnya tak ada rasa bersalah di hati Nailah. Namun, entah mengapa setelah Kenshi mengalami kecelakaan dan divonis tidak bisa berjalan untuk waktu yang tak bisa ditentukan, wanita tersebut menyesal. Harusnya dia bisa mempertegas hubungan mereka sejak awal hingga sang sahabat tak perlu duduk di kursi roda. Bukannya sok percaya diri, tapi dia yakin kecelakaan yang dialami sang pria karena frustasi dengan pernikahannya dengan Riyad.Perhatian keduanya teralihkan ketika pintu terbuka dari luar. Sosok Rinai terlihat hendak masuk, tetapi ketika melihat ada wanita lain di kamar Kenshi, si wanita menahan langkahnya."Masuk aja, aku butuh bantuanmu, Sayang," pinta Kenshi dengan senyum manis.Bukannya masuk, Rinai malah melebarkan kelopak matanya. Wanita itu merasa harus memastikan pendengarannya. Sayang?! Sejak kapan pria tengil itu memanggilnya semesra itu. Lagipula keduanya baru membuat kesepakatan, itu pun belum seratus persen. Apalagi ada orang lain. Rinai merasakan panas merambati pipinya."Malah bengong, sini masuk," perintah Kenshi lagi.Dengan langkah pelan dan canggung karena diikuti sorot mata wanita yang ada di kamar Kenshi, Rinai berjalan menunduk. Rasanya tatapan si wanita hendak mengulitinya. Pasti wanita itu mengira dia adalah penggoda tuannya sendiri. Seperti drama dari negeri Lee Min Ho, di mana pria kaya jatuh cinta dengan gadis miskin. Rinai tanpa sadar menggelengkan kepala membayangkan jika konfliknya nanti juga sama seperti drama tersebut."Napa, sih, jalannya nunduk gitu," tegur Kenshi lembut begitu Rinai sampai di hadapan."Emm, enggak papa. Kamu butuh sesuatu? Biar aku ambilin.""Aku ngga butuh apa-apa kalau cinta kamu udah buat aku." Kenshi menaik-turunkan alisnya sambil memasang senyum termanis, membuat dada Rinai mengalirkan gelatar halus ke dinding hati."Jangan gombal! Sepertinya kamu harus mandi, biar waras," gerutu Rinai.Melihat reaksi sang wanita, Kenshi semakin gemas hingga berani menghadiahkan satu cubitan pelan ke pipi si wanita. Namun, sebelum sampai Rinai menepis tangan sang pria. Tapi, bukan Kenshi namanya jika tak bisa mengerjai Rinai. Ditepis tangan kanan, malah tangan kiri yang bereaksi.Nailah hanya diam menonton interaksi keduanya. Terlihat Kenshi sangat bahagia bersama wanita yang bernama Rinai tersebut. Tawa sang pria selepas biasa sebelum kecelakaan itu terjadi. Apakah itu artinya Kenshi sudah tidak lagi menaruh rasa padanya? Meski ada kelegaan mengalir ke rongga dada, tak dipungkiri ada sedikit nyeri menggores. Ternyata dia bukan lagi matahari Kenshi, bukan lagi awan yang meneduhkan, apalagi air yang menyejukkan."Emm, Ken, aku pulang dulu. Takut kemalaman di rumah." Nailah yang merasa canggung melihat interaksi sepasang anak manusia itu segera pamit."Eh, iya. Maaf, aku kalau ada dia suka lupa." Kenshi menggenggam tangan Rinai sambil tersenyum. "Rin, kenalin ini Nailah. Nai, kenalin ini Rinai. Dia perawat sekaligus calon istriku."Udah, dong, Rin. Aku minta maaf." Kenshi berusaha meraih tangan wanita tersebut, tapi Rinai menepisnya pelan."Kamu itu kebiasaan. Ngomong itu difilter napa?""Lah! Salahnya di mana, coba? Kita, kan, udah sepakat memulai hubungan. Siapa tau emang beneran jodoh," ujar Kenshi ringan sambil tersenyum yang di mata Rinai terlihat menyebalkan."Dengar ..." Rinai menganjur napas sejenak. Menghadapi Kenshi seperti mendebat seorang balita. "Ini enggak logis. Gimana mungkin kita bisa bareng kalau enggak ada rasa sama sekali.""Ini bisa," balas Kenshi dengan sorot jenaka.Rinai mengembuskan napas panjang dan dalam. Dia benar-benar kehabisan kata mementahkan argumen pria itu. "Udahlah, jangan bahas lagi. Liat aja, ntar.""Nah, gitu dong. Keknya kamu emang calon istri idaman." Kenshi hendak tertawa setelah melemparkan candaan itu pada Rinai, tetapi urung setelah melihat sorot sang wanita menajam, persis silet."Wanita tadi siapa?" tanya Rinai seraya mengulurkan mangkok kecil yang berisi obat-obat
Kenshi menatap Rinai dalam diam. Setelah selesai melakukan fisioterapi, pria itu mendapati si wanita duduk di ruang tunggu khusus ruangan terapi dengan mata sembab. Meski Rinai mati-matian menyembunyikan keadaannya, dia tahu ada sesuatu yang membuat sang wanita bersedih. Saat ditanya, wanita itu menjawab jika dia baik-baik saja sembari mengulas senyum. Jelas berbanding terbalik dengan rautnya yang terlihat suram. Sepanjang perjalanan menuju pulang hanya hening yang mengambil tempat di antara keduanya. Rinai selalu menghindari bertatapan langsung dengan Kenshi. Wanita itu memilih melihat keluar melalui jendela kaca mobil. Otaknya masih saja mengira-ngira sejak kapan pengkhianatan itu dimulai. Di dalam surat itu jelas tertulis jika Amanda mengandung selama dua belas minggu. Jika benar, artinya janji pernikahan yang diucap Reinart hanya bertahan enam bulan, sisanya adalah sandiwara yang sangat sempurna."Kalau mau cerita aku siap dengerin." Suara kenshi mengembalikan kesadaran Rinai. P
Tangan Rinai menyeka kaca yang berembun perlahan hingga dingin terasa di telapak tangannya, sedingin hatinya saat ini. Kata-kata Kenshi terus memantul-mantul di gendang telinganya, membuat ngilu tak henti merayap di sekujur tubuhnya. Rinai heran, harusnya sakit dan kekecewaan ini tak perlu ada. Bukankah sudah jelas bagaimana hubungan mereka sejak awal? Hanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Tidak ada rasa di sana dan dia begitu percaya diri tak akan jatuh cinta pada pria tersebut.Tunggu, cinta?! Rinai tertawa pelan ketika pemikiran itu masuk ke benaknya. Tak mungkin dia jatuh cinta secepat itu. Sedangkan bersama Reinart saja dia tak yakin apakah mereka menikah karena cinta, sebab sakit yang diberi pria itu seolah-olah lenyap begitu saja. Namun, bersama Kenshi dia menemukan kenyamanan itu. Rinai menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia menampik asumsi itu sekuat hati. Tak mungkin jatuh cinta kepada pria itu."Kamu aneh."Suara Kenshi membuat Rinai menoleh. Matanya menang
Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu berkembang. Tapi, melihat keadaan Kenshi membuat rasa bersalah membakar dadaku. Andai saja aku tak berpura-pura tak tahu tentang perasaannya, andai sejak awal aku tegas padanya, tentu dia tak akan putus asa seperti itu. Dan sekarang bukan hanya perasaan bersalah, tapi keinginan untuk merawat dan membuat dia sembuh seperti semula. Aku tahu, kecelakaan itu tersebab kekecewaan berlebih kepadaku. Ah, Kenshi ... mengapa dadaku kini mulai berdebar setiap mengingat namamu? Tapi, ini tak boleh, kan? Aku tak mungkin menodai hati pada suamiku, Kakakmu. Tuhan ... aku harus bagaimana? Tak mungkin ada dua cinta dalam hatiku. Bila aku bersama Riyad, pikiranku berkelana pada Kenshi. Begitu pula sebaliknya.*Riyad berkali-kali mengembuskan napas perlahan. Wajah pria itu terlihat begitu gelisah. Berkali-kali dia membaca buku yang ada di tangannya, perasaan bersalah semakin berdenyut di dadanya. Andai saja dia tahu hubungan Kenshi dan Nailah sedekat itu, tentu dia t
Tangis Nailah terdengar menyayat hati saat jenazah Riyad dimasukkan ke dalam kubur. Wanita yang tengah mengandung enam bulan itu tak sanggup menahan beban kehilangan yang tiba-tiba. Padahal sebelum kecelakaan terjadi, dia telah mempersiapkan sebuah makan malam romantis dengan sang suami. Dia ingin mengembalikan perasaan yang seharusnya utuh diberikan kepada pria yang memberi begitu banyak cinta. Namun, takdir berkata lain. Saat dia begitu bersemangat menunggu kepulangan Riyad, justru telepon dari kepolisian datang dan mengabarkan sang suami meninggal karena kecelakaan beruntun di jalan tol. Dunia Nailah seolah-olah runtuh di hadapan seketika itu juga. Airmatanya tak berhenti jatuh berderai kala hari-hari bersama pria tersebut melintas di ruang mata seperti slide sebuah film."Sudahlah, Nak. Ikhlaskan suamimu, jangan beratkan dia dengan airmatamu." Kusuma mencoba membujuk Nailah yang kini memeluk nisan almarhum sang suami."Enggak, Bu. Riyad enggak mungkin ninggalin aku. Dia sayang sa
Semua orang yang berada di ruangan dokter Gunawan bertepuk tangan saat Kenshi berhasil berjalan tanpa bantuan kruk. Meski masih sangat pelan, tetapi pria itu sudah mampu mengerakkan kakinya kembali. Dia menghampiri Kusuma yang tak bisa menahan airmata saat sang putra memeluknya. Tangis wanita itu pecah seketika, dia membalas pelukan Kenshi lebih erat dan meracau bahwa tak pernah mengira bisa melihat putranya berjalan kembali. Rinai hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri. Saat Nailah juga ikut memeluk Kenshi dan keduanya bertatapan lama, dia hanya bisa menyalurkan sesak di dada dengan meremas kain yang tadinya dipakai untuk menutup kaki sang pria. Mereka semua lupa akan keberadaannya, terlalu larut dengan kebahagiaan seolah-olah dirinya hanya orang lain. Tanpa sengaja Rinai menatap pantulan wajahnya sendiri di dalam cermin yang terpasang di ruang praktek dokter Gunawan. Wajah seorang wanita malang yang kembali merasa tersisih dalam cerita cinta. Tadinya dia berharap kisah cindere
Rinai menimang kotak kecil berlapis beludru hitam di tangannya. Dia ingat bagaimana bahagianya saat Kenshi melamarnya, tetapi hingga saat ini pria itu tak menagih jawaban darinya. Hanya meminta untuk tinggal? Sebagai apa? Tidak! Rinai terlalu takut untuk terluka lagi. Bila dulu ada Kenshi yang menemaninya bangkit, kini justru pria itu yang membuatnya kembali terpuruk. Wanita itu terlalu tahu diri untuk mundur sebelum dipaksa oleh kenyataan yang akan menorehkan luka lebih parah nanti.Dia mengembuskan napas perlahan, seolah-olah ingin melepaskan sesak yang terus saja betah mendiami hati. Meletakkan kotak yang berisi cincin itu di atas meja, lalu menarik satu koper keluar dari kamar yang dia tempati sejak tinggal di rumah keluarga Kusuma. Begitu membuka pintu, sosok Nailah terlihat berdiri di sana. Wanita yang terlihat sudah baik-baik saja itu tersenyum padanya seraya mengelus perutnya yang terlihat jelas."Aku pikir kamu hanya becanda berhenti," ujar Nailah, dia melihat koper di tangan
Suasana di tepi pantai saat matahari mulai surut sangat disukai semua orang. Bahkan, banyak sekali syair-syair lahir mendeskripsikan perihal senja. Bagaimana cahaya kemerahan itu terlihat sangat indah saat bergradasi dengan langit dan awan, bagaimana indahnya kala matahari turun perlahan seolah-olah tenggelam ke dalam lautan. Meski telah hilang, cahayanya masih tetap tinggal seakan menjanjikan esok akan datang kembali. Baik rawi, candra, dan swastamita memang selalu hadir meski tak tepat waktu mereka tak pernah ingkar janji.Sepoi angin laut juga dinikmati Rinai. Dia tak tahu apa yang membuat langkahnya sampai di sana. Dia hanya menyetop taksi dan meminta sang sopir berputar-putar. Saat melewati pantai, Rinai memilih untuk turun. Mungkin melihat ombak yang berkejar-kejar ke tepian atau pesona swasmitalah yang menariknya. Berkali-kali dia mengembuskan napas, berharap bisa mengurangi sedikit sesak di dada. Nyatanya, justru perih yang kian menikam. Bayangan Kenshi saat melamarnya melint