Aku baru saja selesai sholat Maghrib ketika Bang Hasan pulang, dengan mata yang memerah. Bahkan mukena tak sempat aku buka. Dia mengedor pintu dengan keras dan tanpa sabar. Padahal ia tahu, adzan maghrib baru saja usai berkumandang. "Aku baru selesai sholat, Bang," jawabku setelah pintu terbuka. Tapi yang di tanya bukannya menjawab malah membanting pintu, dan menarik tanganku ke kamar. "Sholat katamu, heh?!" Nada suaranya tinggi dan berat, "percuma kamu sholat kalau kamu nggak bisa memperlakukan mertuamu dengan baik," sentaknya menarik mukenaku hingga lepas. Aku terkejut, dadaku bergemuruh dengan detak jantung yang tak beraturan. "Kenapa Abang kasar begini?" tanyaku dengan air mata yang mulai menggenang. "Kenapa katamu? Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu perlakukan Ibuku seperti ini, Mir!" bentaknya lagi, "aku tak akan kasar jika kamu tidak mengasari Ibuku duluan." Air mata mulai jatuh tanpa kuminta. Bang Hasan tidak pernah semarah dan sekasar ini sebelumnya. Racun apa ya
Suara ponsel yang berdering membangunkanku dari alam mimpi. Dengan mata yang masih setengah terbuka, aku meraba bagian bawah bantal untuk mencari ponselku. Tertera nama Ratih, segera kusentuh ke atas layar berbentuk persegi empat tersebut lalu menempelkannya ke telinga. "Waalaikumsalam Tih, iya, oke." Ratih menelpon untuk mengingatkanku ke pabrik hari ini. Kulihat jam di ponsel, sudah jam tujuh ternyata, aku sedikit kesiangan. Usai sholat subuh tadi aku memang kembali merebahkan diri, tidak menyiapkan sarapan seperti biasa. Rasanya badanku sakit semua, dan tentunya dengan mata yang sembab serta hidung yang memerah. Bang Hasan tidak terlihat, pun motornya, entah jam berapa dia keluar rumah. Mungkin pergi bekerja, mungkin juga ke rumah Ibunya, aku tidak lagi peduli. Memang semalam aku memilih tidur di kamar belakang guna menghindari pertengkaran yang semakin menjadi, juga menghindari mendengar maaf dari Bang Hasan. Rasanya hatiku sudah hambar. Pelan aku membuka pintu kamarku, ter
Aku pulang ke rumah dengan tubuh yang lelah, tapi perasaanku tenang karena rasanya dengan bekerja membuat aku lebih bersemangat dan sejenak melupakan semua beban dan masalahku. Namun, ternyata ketenangan itu harus terusik dengan hadirnya sosok yang sangat ingin aku hindari. Ibu kini sudah berdiri di depan rumahku dengan wajah yang entah seperti apa. "Kamu dari mana, hah? Suami kerja bukannya di rumah, malah keluyuran. Nggak amanah!" ucapnya ketus. Aku memilih diam dan berlalu begitu saja di depan Ibu, mengambil anak kunci, lalu memutar knop pintu. "Kamu dari mana Mira?" tanya Ibu lagi sembari mengikuti langkahku di belakang. Aku tetap tak bergeming, kubuka pintu kamarku dan cepat kututup kembali, aku tak ingin kecolongan kedua kali seperti kemarin karena membiarkan Ibu masuk ke kamarku dan berakhir dengan berpindah tangannya empat lembaran merah dari dompetku. Suara bantingan pintu rupanya membuat Ibu mulai kesal. "Nggak ada sopannya ya kamu ini, dosa apa aku punya mantu kayak k
Pov HasanTubuhku menegang, tungkai kaki serasa lemah, rasanya aku sungguh tidak kuat menopang tubuhku. Perempuan yang baru kunikahi meminta berpisah. Ucapannya berputar-putar bak kaset rusak yang terus memenuhi rongga kepala.Setelahnya, tiada lagi sorot mata nan teduh itu untukku, pun ketika kakinya berdarah, aku amat mencemaskannya namun yang kulihat hanya pandangan kebencian yang sangat meluap padaku. Mira, menginginkan perpisahan. Bagaimana mungkin dengan mudahnya ia meminta hal itu. Itu sama halnya dengan ia memintaku untuk melawan surgaku, Ibu.Dan itu tidak akan pernah terjadi. Aku takkan pernah melepaskanmu Amira.Aku masih menunggu, menunggu Amiraku masuk kembali ke kamar kami, kamar dimana biasanya kami bersenda gurau, dan bercengkrama bersama. Rasanya masih minggu yang lalu kamar ini menjadi saksi bisu dimana aku meluapkan rasa cinta dan sayangku pada Mira. Ketika itu, kukatakan pada Mira aku ingin mempunyai banyak anak darinya, pun berharap dapat menua bersama dimana aku
"Mira, jangan tinggalkan Abang, Abang minta maaf. Abang janji tidak akan lagi menyakitimu," Bang Hasan menghambur kepelukanku ketika aku baru saja membukakan pintu, dia menangis tersedu, sembari terus memohon. Aku hanya diam di tempat, masih bingung dengan apa yang terjadi. Bang Hasan sungguh terlihat kotor dan berantakan. Wangi parfum dan keringatnya telah menjadi satu. Pelan kutarik Bang Hasan untuk menatapku. "Abang kenapa?" tanyaku. Yang di tanya malah diam saja. "Kenapa begini?" tanyaku lagi sembari menilai Bang Hasan dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kamu tadi kemana Mir, mau meninggalkan Abangkah? Abang kesana kemari mencarimu." Nada suaranya terdengar cemas. "Awalnya iya, tapi setelah ke rumah Ratih, Ratih memujukku untuk jangan gegabah. Akhirnya aku pulang dan berganti baju lalu ke pabrik. Aku bekerja hari ini," jawabku sedikit berbohong. "Kamu mau tinggalkan Abang awalnya?" tanya Bang Hasan sembari menatap mataku, dalam. "Iya, aku nggak bisa lagi hidup dengan o
POV Ibu Aku berjalan pulang dengan menghentak-hentakkan kaki. Entah kemana luapan emosi ini akan aku lepaskan. "Dasar menantu sial, menantu tidak tahu diri, menantu kurang ajar, sudah berani dia padaku sekarang. Rasanya aku ingin menampar lagi mulut lancangnya itu. Awas saja nanti yaa, pasti akan kubalas." Sepanjang jalan gang rumah Hasan aku terus saja meracau, aku sungguh kesal pada si Mira. Padahal aku kesana hanya menanyakan dia darimana, mengapa tidak ada di rumah saat suaminya pulang bekerja dengan niat ingi mengajarinya menjadi istri yang baik agar di sayang suami, tapi dia malah mengusirku dari rumah Hasan. Kemarin dia menjelek-jelekan Linaku dan mengatai anakku pencuri, dan mana aku tahu jika Lina meminjam barang-barang Mira. Harusnya dia menjelaskan baik-baik bukan malah menuduh Lina mencuri. Dan sekarang dia malah mengusirku dari rumah anakku sendiri. Keterlaluan. Kupijit pelan pelipisku yang semakin terasa sakit, apalagi jika mengingat kejadian tempo lalu. Ah ... ak
Hari ini aku bekerja di antar Bang Hasan, setelah mengantarku Bang Hasan langsung kembali ke rumah, katanya hari ini ia masuk shift siang.Artinya sore nanti aku akan pulang sendiri."Hati-hati bekerjanya ya. Yang tulus. Niat bekerja untuk keluarga, bukan untuk macam-macam," pesan Bang Hasan yang bagiku lebih ke ultimatum. Kuputar bola mataku, jengah."Hmmm keluargamu iya," gumamku pelan.Kuminta tangan Bang Hasan, lalu kuarahkan ke kening. "Hati-hati Bang."***"Mira, ke ruangan saya ya," pinta Pak Saddam"Iya Pak, segera." Aku pun beranjak menuju ruangan HRD."Ada apa ya Pak." tanyaku setelah duduk."Tidak ada, tanda tangan ya. Saya sudah berbicara pada Pak Rezi, kamu di kontrak untuk dua tahun pertama. Tidak ada masa training."Aku mengerutkan dahi, heran. Mengapa bisa?"Gaji kamu Rp 5.000.000,00 perbulannya," sambung Pak Saddam lagi.Aku kini terkejut."Heran? Kaget? Ini keputusan Pak Rezi," jawab Pak Saddam tersenyum.Pak Saddam menyodorkan selembar kertas dan pena padaku. "Tanda
Pov Ibu"Bu Hasan, jangan lupa hari ini arisan di rumah Bu RT ya, jam tiga sore," ucap Bu Rini, pemilik warung saat aku belanja ke warungnya untuk membeli bahan masakan."Iya, saya ingat kok Bu, pergi bareng kita nanti ya.""Bareng saya juga lah ya, sama-sama," Bu Haji menimpali.Rencananya hari ini aku hanya memasak untuk sarapan saja, sedang siang nanti makan di rumah Bu RT, begitu juga dengan makan malam, bisa makan lauk yang di berikan bu RT saat pulang. Kalau untuk Lina, dia biasanya juga jarang makan di rumah, dia pasti nanti akan pergi bersama teman-temannya untuk makan di luar."Jangan lupa warna dress codenya ya," sambung Bu Sita sembari menggoyang-goyangkan gelang keroncong di tangannya, ia juga teman arisanku yang merupakan pemilik toko emas besar di pasar."Warna apa tadi Bu Sita bilang?" tanyaku heran, rasanya aku ingin menertawakannya. Apa dia tidak tahu kalau hari ini arisan diwajibkan menggunakan warna biru langit, mengapa katanya warna apa tadi ya? Dan sejak kapan war