Share

Bab 5 (Rencana yang gagal)

(Pov Ibu)

 

Aku mendengar suara salam di ujung pintu, saat kuintip dari balik gorden pintu dapur, ternyata Hasan yang datang.

Terang saja hatiku bahagia, sejak pindah dari rumah, Hasan jarang sekali mau mampir ke rumahku, katanya sibuk bekerja.

 

Ah, pasti dia mau mengantar uang untuk Lina.

Dengan semangat aku berjalan ke ruang tamu di mana Hasan berada.

 

Di luar kulihat ada seorang perempuan berdiri membelakangi rumah, ia terlihat sedang berbicara dengan Bu Asta, tetangga samping rumahku.

 

Saat kutanya pada Hasan dengan siapa ia datang, katanya dengan istrinya.

Tapi dimana Mira?

Apa mungkin perempuan yang di depan itu adalah Mira?

 

Masih belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba saja perempuan itu berbalik, berjalan dengan elegan, masuk ke rumah, dan menghampiriku.

Membuat aku terkejut.

 

Aku masih mematung memandangi sosok di hadapanku, sampai akhirnya Hasan memanggil dan membuatku sadar.

Ternyata Mira sudah mengulurkan tangan hendak menyalamku.

Aku sungguh tidak percaya dengan mataku.

Dia seperti bukan Mira.

 

Perempuan tinggi semampai itu mengenakan gamis simple namun mewah berwarna peach, senada dengan warna hijabnya, sangat kentara dengan warna kulitnya yang putih bersih.

Tanpa sengaja mataku melihat ke arah pintu, dan apa itu? Milik Mirakah?

Aku tidak tahu itu jenis sepatu atau sandal, tapi aku pernah melihatnya saat ke sekolah Lina, banyak orangtua murid yang memakai alas kaki dengan model seperti itu.

 

Hasan bilang mereka datang dari rumah, sengaja memang mampir kesini untuk memberikan uang keperluan Lina, lalu pergi undangan.

Hah?

Ke rumah mertua saja gayanya si Mira bak istri pejabat.

Apa dia mau menghinaku?

 

Aku menghitung uang pemberian Hasan dengan pikiran dan mata yang tetap mengawasi Mira.

Aku juga menawari Hasan makan, dan kukatakan padanya aku masak ayam semur kesukaan Hasan, padahal hari ini aku sama sekali tidak memasak.

Tadi pagi saja aku dan Lina hanya makan mie instan.

Aku sengaja mengatakan hal itu untuk menyindir si Mira, agar ia tahu aku selalu memasak menu masakan yang Hasan suka, bukan menu murahan yang setiap hari dia suguhkan untuk Hasan.

 

Ah, kenapa uangnya benar-benar pas untuk keperluan Lina, kenapa tidak di genapkan Hasan saja menjadi satu juta saja.

Kalau begini bagaimana aku bisa membeli gamis biru langitku.

Ah, kuminta lagi saja pada Hasan.

Tapi jawaban Hasan yang seperti ragu memberikanku uang lagi, membuatku kesal.

 

Dan keterkejutannya semakin bertambah saat Hasan menyuruh Mira memberikan uang untuk Lina.

Tas yang dibawa Mira sangat cantik, dari jauh saja bahannya terlihat bagus, dan mengapa dompetnya berwarna senada dengan tasnya.

Mengapa bisa seperti itu?

Apa itu sepaket saat membelinya?

Atau beli tas gratis dompetnya?

 

Lina juga bilang gamis yang Mira pakai adalah gamis mahal bahkan ia sampai ingin meminjamnya.

 

Lina memberikanku kode lewat lirikan matanya.

Aku tahu anakku, aku tahu selera Lina, aku tahu Lina mengerti mengenai mode pakaian.

Ini tidak beres!

 

Jantungku rasanya sesak.

Mengapa kata Mira tidak punya uang, sedangkan dia bisa membeli segitu banyak barang mahal.

Kurang ajar sekali mantuku ini, seenaknya dia menghabiskan gaji Hasan untuk membeli keperluannya.

Aku saja Ibu-nya tidak pernah berbuat begitu.

Antara hidup dan mati aku melahirkan Hasan, berapa banyak waktuku yang terbuang percuma untuk membesarkannya.

Mengapa setelah besar dia malah membahagiakan istrinya. Bodohnya anakku.

Dan perempuan ini, tidak akan aku biarkan ia menjadikan anakku sapi perahnya.

 

Ah, jantungku semakin sakit saja.

Aku tidak tahan lagi, ini harus aku katakan.

 

Akhirnya aku tanyakan dari mana Hasan mendapat uang keperluan Lina, dan Hasan bilang dari koperasi.

Ah, aku tidak percaya. Barang yang dipakai Mira semuanya terlihat baru.

Pasti kemarin si Mira berbohong soal uang yang katanya tidak ada, karena dia mau membeli barang baru untuk pergi undangan hari ini, dan anakku si Hasan, mau saja menuruti ucapan istrinya.

Hasan bekerja sampai tak kenal waktu, sedangkan istrinya hanya berleha-leha di rumah lalu menghabiskan uangnya.

 

Memang dari awal aku sudah tidak menyetujui niat Hasan untuk menikahi si Mira.

Walau Mira itu memang cantik, dan kulitnya yang putih bersih pastilah menyilaukan mata Hasan.

Tapi entah mengapa itu saja tidak cukup bagiku untuk menjadikannya menantu terlebih setelah aku tahu si Mira adalah anak piatu yang tinggal dengan neneknya saja.

 

Ibunya meninggal saat melahirkannya.

Mengapa Ibunya memilih meninggal saat melahirkannya, pasti karena Ibunya tahu, kelak dewasa anaknya itu hanya akan menjadi beban dan membuat sial bagi Ibunya.

Aku benar-benar menolak keras keinginan Hasan itu.

Tapi saat Hasan bilang Mira bekerja sebagai customer service di sebuah pabrik mebel, perlahan aku menerimanya.

 

Jelas aku tahu, gaji Mira setara dengan gaji Hasan, bahkan jika ada pesanan mebel besar-besaran, bonus untuk Mira tak tanggung-tanggung.

 

Di tambah, anakku Lina, yang saat itu sudah mau tamat sekolah, dengan jabatan Mira di pabrik pasti mudah memasukkan Lina bekerja disana sembari kuliah nanti.

Membayangkannya waktu itu sangat membuatku bahagia.

Lina yang kuliah sembari bekerja, jelas ia akan membayar uang kuliahnya sendiri dari gajinya.

Aku tidak susah-susah lagi memikirkannya seperti selama ini.

 

Hasan yang mempunyai istri yang bekerja, pastinya gaji istrinya bisa mereka gunakan untuk keperluan rumah tangga mereka.

 

Dan otomatis gaji Hasan akan penuh di berikan padaku setiap bulannya.

 

Tapi semua harapan itu buyar saat aku dengar seminggu setelah menikah, Mira mengundurkan diri dari pekerjaannya karena sudah sepakat dengan Hasan.

Aku tahu itu hanya akal-akalan Mira saja, dia ingin menjadi nyonya di rumahku sendiri.

 

Dan benar saja kan, kini dia menjadi beban anakku, dan membuat sial hidupku, gara-gara dia Hasan tidak lagi menyayangiku dan tak mau tinggal di rumah ini lagi karena memilih pindah ke rumah warisan Ibu si Mira.

Tapi setidaknya, saat ini isi rumahku menjadi lengkap karena di isi oleh perabotan milik Mira.

Sedikit cukuplah untuk mengobati kekecewaan.

 

Tapi pemandangan di depanku kini, membuatku muntab.

Ah ....

Hasanku ... si bodoh yang malang!

Baiklah, Nak. Ibu lah yang akan menjaga hartamu mulai hari ini.

 

Lepas sudah kukeluarkan bisaku pada si Mira.

 

Tapi jawaban si Mira benar-benar membuat aku pitam lagi.

Dia memintaku untuk bersikap sesuai porsiku sebagai mertua, kalau tidak dia akan menjadi melawanku.

 

Tang benar saja dia! Dasar menantu kurang ajar.

Gigiku beradu menahan emosi, tanganku terkepal.

Sedang Hasanku, si bodoh itu bukannya bertindak tegas pada istri tak tahu dirinya ini, dia malah diam mematung di sana.

Baiklah, San, akan Ibu ajari juga istrimu ini bersikap, sewajarnya porsi sebagai menantu.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status