POV Hasan Sudah dua hari, Mira mendiamkanku sejak kejadian di rumah Ibu. Aku sungguh tidak menyangka kini Mira benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Aku tidak lagi menemukan sorot mata nan teduh miliknya seperti selama ini. Sejak kami memutuskan menikah, dan tinggal di rumah Ibu, Mira menjadi semakin pendiam. Hingga suatu hari, di usia lima bulan pernikahan kami. Aku mendengar Mira menangis tersedu-sedu di sela sholat malamnya. Saat kutanya, dia hanya menggelengkan kepala. Setelah didesak, akhirnya perempuan berkulit bersih itu mengatakan jika ia lelah berkutat seharian di rumah tanpa berhenti. Dia mengatakan, sehari-hari tubuhnya berputar bak gasing yang bergerak dari dapur, kasur, dan sumur. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan. Termasuk mencuci pakaian dalam Lina, adik semata wayangku. Ibu juga melarang Mira memasak nasi menggunakan magic com, juga mengharuskan Mira menggiling cabai dengan ulekan. Alasan Ibu, agar rasanya lebih nikmat. Aku tidak tahu siapa yang benar dalam h
Prang, ting! Terdengar suara sendok dan panci beradu. Saat ini aku kesal sekali. Entah mengapa Bang Hasan harus duduk di kursi makan. Entah apa yang ia lakukan di sana. Awalnya aku tidak peduli, tapi lama-kelamaan aku semakin risih, dari aku masih menanak nasi sampai dengan aku siap memasak lauk dan sayur ia tetap berada di sana, tanpa bergerak. Pelan kulirik Bang Hasan, dari ekor mataku melihat ia sedang merenung sambil sesekali tersenyum-senyum sendiri. Mulai gila dia. Kuletakkan nasi beserta lauk di meja, bukan meja makan asli. Hanya sebuah meja petak biasa dengan triplek atasnya yang sudah rusak. Kuakali menutupinya menggunakan alas plastik bermotif dedaunan. Jangan tanya di mana meja makan asliku. Tentu saja di rumah Ibu Bang Hasan. Ah, mengingatnya saja membuat dadaku sesak. Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya, kata orang jika kita terus-menerus mengingat orang yang kita benci, ia bisa tiba-tiba saja hadir di depan wajah kita. Sungguh aku tak ingin itu terjadi. "Kamu
POV Ibu Motor Hasan baru saja melaju meninggalkan rumahnya, saat ini aku menumpang Hasan untuk ke pasar, mencari gamis biru langitku. Entah mengapa aku selalu bersemangat setiap akan memiliki barang baru. Sedari muda aku sudah seperti itu. Lantas aku teringat percakapan dengan Hasan tempo hari. Cepat aku bertanya pada Hasan bagaimana syarat yang aku ajukan. Rasanya aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Hasan. "San, gimana soal yang kemarin Ibu bilang? Kamu udah ngomong sama istrimu?" "Sudah, Bu. Tadi pagi sebelum Ibu datang." Dari nada suara Hasan, aku menebak sepertinya semua berjalan seperti keinginanku. "Terus apa jawaban si Mira?" "Mira mau, Bu. Bahkan dia senang. Sebenarnya, sebelum kami ke rumah Ibu, Mira memang sudah ditawari lagi bekerja di pabrik tempatnya dulu." Aku terkejut, mataku membulat sempurna. "Terus si Mira nggak mau gitu?" Sudah kuduga, dia hanya mau memperalat anakku. Menjadikan Hasanku sapi perahnya. Dasar iblis. P
Usai Bang Hasan berangkat bekerja, aku kembali ke dapur untuk membereskan meja, lalu lanjut dengan membersihkan se-isi rumah. Saat sedang mengepel kamar, ponselku berdering. Segera kuraih ponsel dengan logo apel tergigit tersebut. Tertera nama Ratih di sana. "Waalaikumsalam, Tih, Oh iya, oke." Kulepaskan ponsel dari telinga lalu beralih ke layar, Ratih meminta video call. Setelah terhubung terlihat Ratih sedang bersama teman-temanku sesama pekerja dulu. Sepertinya mereka sedang berkumpul menunggu briefing pagi. Saat sedang asyik berbincang dan bersenda gurau, aku melihat seorang lelaki datang dan berdiri di belakang Ratih, Pak Rezi. Ratih lantas memberi celah pada atasanku dulu tersebut, Pak Rezi tersenyum, lalu menyapaku. Menanyakan kabar dan mengatakan menunggu kehadiranku bergabung kembali. Aku kikuk. Setelah lumayan lama berbincang akhirnya video call ramai-ramai tersebut kami akhiri. Ada yang berdetak tak karuan di hati. Andai saja dulu aku lebih memilih Pak Rezi, kurasa
Aku baru saja selesai sholat Maghrib ketika Bang Hasan pulang, dengan mata yang memerah. Bahkan mukena tak sempat aku buka. Dia mengedor pintu dengan keras dan tanpa sabar. Padahal ia tahu, adzan maghrib baru saja usai berkumandang. "Aku baru selesai sholat, Bang," jawabku setelah pintu terbuka. Tapi yang di tanya bukannya menjawab malah membanting pintu, dan menarik tanganku ke kamar. "Sholat katamu, heh?!" Nada suaranya tinggi dan berat, "percuma kamu sholat kalau kamu nggak bisa memperlakukan mertuamu dengan baik," sentaknya menarik mukenaku hingga lepas. Aku terkejut, dadaku bergemuruh dengan detak jantung yang tak beraturan. "Kenapa Abang kasar begini?" tanyaku dengan air mata yang mulai menggenang. "Kenapa katamu? Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu perlakukan Ibuku seperti ini, Mir!" bentaknya lagi, "aku tak akan kasar jika kamu tidak mengasari Ibuku duluan." Air mata mulai jatuh tanpa kuminta. Bang Hasan tidak pernah semarah dan sekasar ini sebelumnya. Racun apa ya
Suara ponsel yang berdering membangunkanku dari alam mimpi. Dengan mata yang masih setengah terbuka, aku meraba bagian bawah bantal untuk mencari ponselku. Tertera nama Ratih, segera kusentuh ke atas layar berbentuk persegi empat tersebut lalu menempelkannya ke telinga. "Waalaikumsalam Tih, iya, oke." Ratih menelpon untuk mengingatkanku ke pabrik hari ini. Kulihat jam di ponsel, sudah jam tujuh ternyata, aku sedikit kesiangan. Usai sholat subuh tadi aku memang kembali merebahkan diri, tidak menyiapkan sarapan seperti biasa. Rasanya badanku sakit semua, dan tentunya dengan mata yang sembab serta hidung yang memerah. Bang Hasan tidak terlihat, pun motornya, entah jam berapa dia keluar rumah. Mungkin pergi bekerja, mungkin juga ke rumah Ibunya, aku tidak lagi peduli. Memang semalam aku memilih tidur di kamar belakang guna menghindari pertengkaran yang semakin menjadi, juga menghindari mendengar maaf dari Bang Hasan. Rasanya hatiku sudah hambar. Pelan aku membuka pintu kamarku, ter
Aku pulang ke rumah dengan tubuh yang lelah, tapi perasaanku tenang karena rasanya dengan bekerja membuat aku lebih bersemangat dan sejenak melupakan semua beban dan masalahku. Namun, ternyata ketenangan itu harus terusik dengan hadirnya sosok yang sangat ingin aku hindari. Ibu kini sudah berdiri di depan rumahku dengan wajah yang entah seperti apa. "Kamu dari mana, hah? Suami kerja bukannya di rumah, malah keluyuran. Nggak amanah!" ucapnya ketus. Aku memilih diam dan berlalu begitu saja di depan Ibu, mengambil anak kunci, lalu memutar knop pintu. "Kamu dari mana Mira?" tanya Ibu lagi sembari mengikuti langkahku di belakang. Aku tetap tak bergeming, kubuka pintu kamarku dan cepat kututup kembali, aku tak ingin kecolongan kedua kali seperti kemarin karena membiarkan Ibu masuk ke kamarku dan berakhir dengan berpindah tangannya empat lembaran merah dari dompetku. Suara bantingan pintu rupanya membuat Ibu mulai kesal. "Nggak ada sopannya ya kamu ini, dosa apa aku punya mantu kayak k
Pov HasanTubuhku menegang, tungkai kaki serasa lemah, rasanya aku sungguh tidak kuat menopang tubuhku. Perempuan yang baru kunikahi meminta berpisah. Ucapannya berputar-putar bak kaset rusak yang terus memenuhi rongga kepala.Setelahnya, tiada lagi sorot mata nan teduh itu untukku, pun ketika kakinya berdarah, aku amat mencemaskannya namun yang kulihat hanya pandangan kebencian yang sangat meluap padaku. Mira, menginginkan perpisahan. Bagaimana mungkin dengan mudahnya ia meminta hal itu. Itu sama halnya dengan ia memintaku untuk melawan surgaku, Ibu.Dan itu tidak akan pernah terjadi. Aku takkan pernah melepaskanmu Amira.Aku masih menunggu, menunggu Amiraku masuk kembali ke kamar kami, kamar dimana biasanya kami bersenda gurau, dan bercengkrama bersama. Rasanya masih minggu yang lalu kamar ini menjadi saksi bisu dimana aku meluapkan rasa cinta dan sayangku pada Mira. Ketika itu, kukatakan pada Mira aku ingin mempunyai banyak anak darinya, pun berharap dapat menua bersama dimana aku