MasukSuara Max menggelegar, mengguncang seluruh rumah utama Gregory.
“Kurung Athena di ruang bawah tanah! Jangan ada yang berani melepaskannya sampai aku kembali!” Teriakan itu menghentak semua yang hadir yang membekukan udara, membuat waktu seolah berhenti. Athena mencoba mengejar Max yang mengangkat tubuh Celine menuju pintu, namun lututnya goyah. Ia terjatuh, tangannya mencengkeram lantai dingin marmer. “Aku tidak bersalah! Aku tidak mendorong Celine!” isaknya pecah, suaranya parau penuh luka. Tapi tak seorang pun peduli. Hudson menjadi yang pertama menghampiri. Tatapannya seperti api yang hendak membakar. “Sudah kukatakan sejak dulu, dia wanita beracun! Harusnya dia tidak pernah menginjakkan kaki di rumah ini!” Emery berdiri di samping suaminya, menggenggam lengannya dengan tatapan jijik pada Athena. “Max terlalu baik dan lihat balasannya? Dia mencoba membunuh Celine dan bayinya.” Athena menggeleng, panik. Air matanya jatuh tak tertahan, tapi kata-katanya seperti menabrak dinding batu. “Tidak ... aku—aku berusaha menolongnya. Celine terpeleset sendiri, aku tidak bermaksud menyakitinya.” “Cukup! Darah seorang pembunuh memang akan terus mengalir dalam keturunannya.” Suara Nenek Daisy terdengar dingin dan kejam. “Seharusnya dulu Max membinasakan seluruh keluarga Harrington, tanpa menyisakan satu pun!” Athena membeku. Kata-kata itu seperti cambuk panas yang menghantam jantungnya. Pembunuh? Ia menggeleng, suaranya lirih dan penuh luka. “Aku bukan pembunuh,” bisiknya. Bahkan sebagian kalimat Daisy tadi belum sempat benar-benar ia cerna. “Penjaga!” Daisy berseru, menunjuk ke arah Athena seolah wanita itu bukan manusia. “Seret dia ke ruang bawah tanah. Laksanakan perintah Max!” “Tidak! Tidak, aku mohon!” Athena menjerit, meronta saat dua penjaga mendekap kedua lengannya. “Aku tidak melukai Celine! Aku tidak mendorongnya! Aku hanya ingin menolong!” Tangisnya pecah. Matanya mencari satu saja tatapan penuh belas kasih tapi yang ia temukan hanya dinding batu, dingin dan membisu. “Nenek ... Nenek Daisy... tolong aku. Aku mohon,” suaranya mengerut, tubuhnya gemetar hebat saat mereka menyeretnya menyusuri lorong belakang rumah utama. Namun Daisy hanya tersenyum tipis, menikmati penderitaan yang ia anggap pantas diterima wanita "kotor" itu. Langkah-langkah berat membawa Athena menuju pintu besi tua, ruang bawah tanah keluarga Gregory. Ruangan yang bahkan pelayan pun enggan mendekat kecuali diperintah. Tempat itu seperti sel neraka yang tidak layak ditinggali manusia. Athena berteriak panik, menendang, mencoba lepas. Tapi sia-sia. Pintu dibuka. Kegelapan menyambut seperti lubang kematian. “Jangan, aku mohon,” ucapnya tercekat, namun tak ada ampun. Tubuhnya didorong masuk paksa. Suara pintu besi ditutup dan dikunci terdengar seperti akhir dunia. “Tidaaak! Bukaaa!!” Athena berlari, menggedor pintu itu sekuat tenaga. “Aku bukan pembunuh! Aku tidak melukai Celine! Tolong ... buka! Aku mohon...!” Tak ada jawaban. Tak ada yang peduli. Hanya gelap. Hanya hening. Athena terjatuh, tubuhnya ambruk ke lantai dingin yang berdebu. Lututnya dipeluk erat. Ia memukul kepalanya sendiri sambil terus bergumam lirih, seolah ingin menghapus semua yang baru saja terjadi. Suara dengungan di telinganya tak kunjung hilang. Nafasnya sesak. Kegelapan menelannya perlahan. Air matanya tak berhenti mengalir, membasahi wajah yang mulai pucat. Athena menggigil. Bukan karena udara dingin tapi karena ketakutan yang mencekam hingga ke tulang. “Max ... tolong aku,” ucap Athena lirih, hanya Max yang dia ingat dalam keadaan ini. Sementara itu, di balik kaca ruang ICU, Max berdiri mematung. Bajunya telah ternoda oleh noda darah Celine. Tangannya mengepal di sisi tubuh, kaku. Wajahnya pucat. Tatapannya kosong, tapi bola matanya merah, berair, seperti sedang menahan amarah atau kehancuran. Seorang dokter keluar dari ruang operasi dengan ekspresi berat. “Dok?” suara Max terdengar serak. Dokter menunduk pelan. “Kami berhasil menghentikan pendarahannya, tapi…” Max maju satu langkah. “Tapi apa?” desaknya. “Janin tidak bisa diselamatkan. Dan karena pendarahan terlalu parah, kami terpaksa harus melakukan histerektomi radikal. Kami angkat rahimnya untuk menyelamatkan nyawa Nyonya Celine.” Dunia Max seolah berhenti berputar. Suara dokter memudar. Perlahan, Max jatuh terduduk di bangku terdekat. Matanya menatap kosong ke lantai, sementara hatinya terjun bebas dalam kehampaan. Selama ini, mereka menunggu. Mimpi kecil mereka tentang membesarkan keluarga bersama, tentang menggendong bayi pertama mereka. Dan semuanya hancur. Dalam satu insiden. Karena satu orang. Athena. Kini Max berdiri di samping ranjang, memandangi wajah pucat Celine yang belum sadarkan diri. Tangannya menggenggam tangan istrinya erat sekali, seolah tak ingin kehilangan lagi. Dia mengecup punggung tangan itu. Matanya memerah lagi. “Maafkan aku, Sayang.” Wajah Max berubah. Dari sedih menjadi gelap. Dingin. Dia berdiri, menoleh pada Elio yang menunggu di sudut ruangan. “Jaga Celine. Aku pergi dulu.” “Baik, Tuan,” jawab Elio, singkat tapi penuh makna. Max berjalan keluar tanpa menoleh lagi, langkahnya berat tapi penuh amarah yang membara. Sampai di sana, pintu besi itu yang sejak tadi tertutup rapat kini berderit pelan. Cahaya dari lorong luar menyusup masuk, membelah kegelapan seperti harapan kecil yang nyaris padam. Athena yang tergeletak di sudut ruangan, langsung tersentak. Tubuhnya gemetar, pucat seperti mayat. Matanya menyipit, menyesuaikan diri dengan cahaya yang tiba-tiba hadir. Perlahan, ia merangkak. Kedua tangannya gemetar menopang tubuhnya yang lemah. Seluruh tubuhnya terasa beku, namun ia seretkan juga kakinya, satu per satu. Bahkan untuk sekadar berdiri pun dia tak mampu. Gelap yang mencekam selama berjam-jam itu telah menguras semua kekuatannya. Tapi harapannya menyala ketika dia melihat sosok itu berdiri di ambang pintu. “Max?” suara Athena nyaris tak terdengar, parau dan lirih. “Kau datang?” Max tak menjawab. Sosok tegapnya berdiri diam di ambang pintu. Namun sorot matanya seperti bara yang siap membakar apa saja. Athena tersenyum samar, mencoba mendekat dengan sisa tenaga. “Aku ... aku tidak bermaksud menjatuhkan, Celine. Aku berusaha—” Tarikan pada rambutnya membuat Athena menjerit, lalu tubuh lemah Athena terjerembab kembali ke lantai. Athena mengerang. Tangannya menahan lantai yang dingin. Tapi bukan dingin itu yang paling menyakitkan. Melainkan dinginnya sorot mata Max. “Jangan pernah menyebutkan namanya dari mulutmu yang kotor itu,” desis Max tajam. “Karena dia ... kehilangan anakku. Anak yang sudah kutunggu bertahun-tahun.” Athena menatapnya, berlinang. “Itu bukan salahku, aku tidak menjatuhkannya.” “Cukup!” Max membentak, suaranya menggema di ruang sempit itu. “Mataku sendiri yang melihatmu menyentuhnya di dekat tangga. Kau pikir aku akan percaya kau hanya ‘menolong’? Kau pikir aku bodoh?!” Athena menangis, suaranya tercekat. Tapi Max tak peduli. Ia mendekat, mencengkeram wajah Athena dengan kasar, memaksanya menatap. “Rahimnya,” gumam Max dengan suara yang gemetar oleh amarah dan luka, “sudah diangkat. Karena ulahmu.” Air mata Athena semakin deras. “Bayi kami, impian kami, semuanya hancur karena kesalahanmu.” Max menahan napas, lalu mendorong Athena ke lantai. Athena memeluk tubuhnya, tak mampu melawan. “Maaf, aku mohon percaya padaku.” Max mendekat sekali lagi, menunduk di sampingnya. Bisikan dinginnya menusuk telinga Athena. “Kau harus membayar segalanya, Athena,” desis Max, penuh bara dendam di matanya. “Dan aku akan menciptakan neraka yang bahkan tidak pernah bisa kau bayangkan sebelumnya.” Athena menggeleng lemah, air matanya membasahi pipi yang penuh luka. “Tidak, aku tidak bersalah, Max. Aku tidak—” Suara perempuan itu pecah, menggantung dalam ruang bawah tanah yang dingin. Dengan sisa tenaga, Athena merangkak, lalu memeluk kaki Max. “Tolong dengarkan aku, kalaupun kau tidak percaya, setidaknya lihat aku. Ingat aku,” isaknya lirih, menyayat. Tapi Max berdiri kaku. Matanya tidak berkedip. Dingin. Mati rasa. Di saat itu, ponselnya berdering. Ia mengangkatnya cepat. Suara Elio terdengar di seberang, “Tuan, Nyonya Celine telah sadar.” Sejenak Max terdiam. Rahangnya mengeras. “Kurung dia lagi,” katanya dingin, memutus panggilan, dan menepis tangan Athena dari kakinya. “Jangan! Max! Aku mohon! Aku bersumpah aku tidak menjatuhkannya!” Max tak menoleh sedikit pun. Langkahnya mantap meninggalkan ruangan. Athena berusaha mengejarnya, menyeret tubuhnya dengan isak tertahan. “Max! Kumohon ... jangan pergi ... Max!” jeritnya terakhir kali, sesaat sebelum pintu besi berat itu kembali tertutup brak! Gelap kembali menyelimuti ruang itu. Tapi kali ini gelap yang menyesakkan itu bukan hanya karena tak ada cahaya, melainkan karena tak ada lagi harapan. Tubuh Athena gemetar, apa dia mampu melewatinya?Athena berdiri bersandar di dinding dekat pintu ruang rawat, menatap layar ponselnya dengan tenang. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan, bahkan terlihat santai seolah tidak terjadi apa-apa di dalam sana.Pintu ruang rawat terbuka keras. Celine keluar dengan wajah merah padam, matanya masih memerah karena amarah yang belum reda. Ia berhenti sejenak saat melihat Athena di depannya, wanita yang paling ingin ia bunuh saat ini.Aroma antiseptik bercampur wangi parfum mahal mengisi udara di antara mereka, dua perempuan yang saling menatap tanpa kata, namun tensi di udara cukup untuk membuat perawat yang lewat segera menunduk dan mempercepat langkah.Akhirnya Athena tersenyum tipis, nada suaranya lembut namun penuh sindiran.“Oh, Celine, akhirnya kau pulang juga,” sapanya santai, menatap Celine dengan tatapan ringan seolah pertemuan ini hanya kebetulan biasa.Celine memutar tubuhnya menghadap Athena sepenuhnya, suaranya tajam seperti pisau.“Kau semakin tidak tahu diri,
Suara bentakan keras menggema di dalam rumah besar milik keluarga Hudson. Emery menatap suaminya dengan amarah yang menyalak di matanya, sementara Hudson berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam karena murka.“Keparat kau, Hudson! Cepat lepaskan aku!” Emery mengentakkan kakinya, meronta dari genggaman pria itu. Tangannya yang halus berusaha melepaskan diri, tapi Hudson jauh lebih kuat.“Diam, Emery!” bentak Hudson, menarik paksa pergelangan tangannya lalu mendorongnya ke dalam gudang tua di ujung lorong. “Aku sudah muak dengan sikapmu yang selalu ikut campur urusanku!”Emery menatapnya tajam, dadanya naik turun karena menahan amarah. “Aku ikut campur karena kau sudah terlalu gila, Hudson! Kau pikir aku tidak tahu rencanamu yang kotor itu? Semua orang tahu kau hanya ingin menjatuhkan Max!”Hudson mencengkeram dagu istrinya dengan keras hingga Emery meringis. “Jaga bicaramu,” desisnya pelan namun berbahaya. “Jika kau bertingkah lagi, keluargamu akan tamat.”Emery menatapnya t
Athena merapikan bajunya, sesekali melirik Max yang masih bertelanjang dada dengan santai. Seolah pergulatan panas di antara mereka tadi hanya hal biasa, bahkan dengan enaknya menyesap whiskey padahal masih sakit. Begitu selesai, Athena langsung merebut gelas Max. Pria itu melotot seketika menatap Athena. “Kembalikan!” perintah Max tanpa pengecualian. “Kau belum sembuh, hindari dulu minuman seperti ini. Tunggu kau sembuh seperti sedia kala,” minta Athena yang juga merupakan perintah. “Aku sudah sembuh,” sahut Max asal. “Buktinya kau mendesah paling semangat tadi, bahkan meminta lagi ... lagi. Ternyata kau lumayan liar juga.” Pipi merah Athena mulai bermunculan, ia memegang kedua pipinya yang terasa panas jika mengingat kejadian panas tadi. Gila saja, mereka bercinta dengan panas di Rumah sakit. “Kau ... kau yang menggodaku lebih dulu,” sangkal Athena malu saja. Max tersenyum tipis, “kau terlihat seperti rubah licik yang penggoda.” Athena beranjak, ia lebih memil
Hudson yang emosi pun mencekik leher Athena, ia paling benci wanita sombong dan suka merendahkan dirinya. Seolah wanita itu selalu di atas dan bisa mengendalikan situasi, padahal mereka bukanlah apa-apa kalau tanpa ada laki-laki. Athena terkejut, namun berusaha menahan diri dengan baik. Perlakuan ini sudah biasa ia rasakan dulu saat bersama Max, hanya saja Hudson tak sekasar Max. “Kau semakin tidak tahu diri, Athena!” seru Hudson mendorong Athena hingga membentur dinding. “Bukankah hal itu juga berlaku untukmu, paman Hudson?” sindir Athena halus, seolah perlakuan kasar ini tak ada apa-apanya. “Jangan karena sekarang Max menginginkanmu, kau berlagak berkuasa. Itu hanya sementara, Celine tetaplah istri pertama dan diakui oleh semua orang,” sahut Hudson menyeringai. “Pantas saja terus membela Celine,” seringainya tipis, menahan lehernya yang sakit, “aku sepertinya mencium bau bangkai yang sudah lama ditutupi dengan rapat.” “Apa kau juga menciumnya, Paman?!” Athena sengaj
Menanggapi godaan Max, tentu saja Athena dengan senang hati mengalungkan tangannya dengan manja. Senyuman semanis madu ia ciptakan, hingga membuat suaminya enggan berpaling.“Ternyata aku juga bisa kau rindukan, padahal aku kira kau hanya merindukan istri tercintamu,” sindir Athena tanpa ragu.Max tersenyum tipis, “mulutmu memang tajam.”“Kalau tidak tajam, bagaimana aku bisa menghadapimu selama ini?!” ujar Athena santai, seolah Max sudah tak seperti dulu.Athena mencium bibir Max sekilas, lalu tersenyum, “jadi, apa sekarang kau mulai sadar kalau hanya aku yang tulus mencintaimu?!”“Hmm.” Max tampak berpikir, “bisa dikatakan seperti itu, tapi tetap saja tidak mengubah apa pun.”“Tidak masalah, setidaknya kau tahu bahwa cinta tulus dan ikhlas itu sangat jarang terjadi. Dan sekarang kau memilikinya, yaitu aku,” kata Athena begitu percaya diri, mulutnya begitu pandai merangkai kata.Tulus ... ikhlas.Itu memang dulu Athena rasakan pada Max, namun entahlah rasa itu masih ada atau
“Siapa yang menyuruhmu?” Elio menekan ujung pistolnya lebih keras, ia begitu mahir dan tentu saja gampang mengintimidasi lawan dengan senjata. Apalagi dengan pistol, itu sudah menjadi hal biasa untuknya. “Kau menjebakku dengan menyebar informasi palsu!” teriak pria itu tanpa peduli senjata yang dibawa Elio. Max yang duduk santai hanya tersenyum, “kalau tidak seperti itu, mana mungkin kau akan keluar dengan suka rela.” Elio menendang lutut belakang pria itu sehingga terjatuh dan berlutut di hadapan Max, tak lupa pistol masih menempel di kepalanya. “Dasar bedebah,” maki pria itu berapi-api. Max menunduk sedikit, “katakan siapa yang menyuruhmu?” “Tidak ada yang menyuruhku, aku melakukannya sendiri karena aku dendam padamu!” sahut pria itu begitu berani padahal sudah terdesak. Max dan Elio sudah merencanakan ini semua, apalagi ia sudah mendapatkan informasi terkait siapa pelaku yang menabrak mobil. Sangat detail, tapi entah kenapa iu justru sangat mencurigakan. M







