Share

warisan yang tak diminta

Penulis: Mustika Ainel
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-08 16:19:18

ya. Kau akan kehilangan segalanya, bahkan kehormatan Arif.”

Adrian mundur, membiarkan ancaman itu mengambang di udara dingin pemakaman. Tiga hari kemudian, kata-kata itu masih menggema di benak Aisyah, namun ia memilih untuk membiarkan wajahnya kosong, sebuah topeng ketenangan di tengah badai.

Aisyah duduk di kursi berlapis beludru di ruang perpustakaan utama Kediaman Atmadja. Udara terasa tipis, dipenuhi aroma kulit tua dan ketegangan yang menyesakkan. Di sekeliling meja mahoni yang panjang, berkumpul keluarga inti Atmadja: Adrian, Ibu Rosa, dan dua paman yang memegang saham minoritas.

Di ujung meja, Notaris Wijaya, seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal, terlihat berkeringat dingin meskipun ruangan berpendingin. Matanya terus menghindari tatapan Aisyah dan Adrian bergantian.

“Baiklah, Bapak dan Ibu sekalian,” ujar Wijaya, suaranya serak dan formal, “sesuai permintaan mendiang Bapak Arif Atmadja, kita akan melanjutkan pembacaan surat wasiat terakhir yang disiapkan dan ditandatangani pada dua bulan lalu.”

Ibu Rosa berdeham keras. “Langsung saja pada intinya, Bapak Notaris. Kami tidak punya waktu untuk mendengarkan basa-basi hukum.”

Wijaya mengangguk cepat, tangannya gemetar saat membalik halaman tebal dokumen berstempel resmi.

“Surat wasiat ini menyatakan pembatalan seluruh surat wasiat sebelumnya dan menetapkan keinginan terakhir mendiang terkait pembagian aset, saham, dan kepemimpinan Atmadja Group.”

Adrian menyandarkan diri di kursinya, memasang ekspresi jijik yang ia tunjukkan kepada Aisyah. “Kami semua tahu bahwa Arif sangat mencintai keluarganya. Kami berharap warisan ini dibagi secara adil, sesuai dengan kontribusi kami selama bertahun-tahun.”

Aisyah tidak merespons, hanya menatap Notaris Wijaya.

Wijaya membaca beberapa klausa kecil terkait dana amal dan aset pribadi yang tidak signifikan. Kemudian, ia sampai pada bagian inti. Ia menarik napas dalam-dalam.

“Mengenai kepemilikan saham mayoritas Atmadja Group, seluruhnya, sebesar 51 persen, termasuk hak suara penuh, dialihkan kepada istri sah mendiang, Nyonya Aisyah.”

Ruangan itu hening sesaat. Keheningan yang lebih memekakkan daripada ledakan apa pun.

Wajah Ibu Rosa yang tadinya anggun seketika memucat, berubah menjadi abu-abu. Paman-paman Atmadja saling pandang dengan mata tak percaya.

Adrian-lah yang pertama bereaksi.

“Apa?” suaranya hanya desisan rendah, tetapi penuh racun. “Ulangi, Notaris. Anda pasti salah baca.”

Wijaya menelan ludah. “Saya ulangi, Bapak Adrian. Seluruh saham mayoritas perusahaan, aset bergerak dan tidak bergerak yang utama, serta kepemimpinan Atmadja Group, dialihkan kepada Nyonya Aisyah.”

Adrian melonjak dari kursinya, membuat kursinya terbalik dan menghantam lantai marmer dengan suara keras.

“Palsu!” teriak Adrian, tangannya menunjuk ke arah Wijaya. “Itu tidak mungkin. Ayah saya—ayah kami—sudah menetapkan bahwa saham mayoritas harus tetap dipegang oleh anak kandung, oleh darah Atmadja!”

Ibu Rosa kini berdiri, matanya berkaca-kaca karena amarah yang tertahan. “Bapak Notaris, Anda harus menjelaskan ini. Arif sudah sakit selama beberapa bulan terakhir. Dia pasti menandatangani ini di bawah pengaruh obat bius atau paksaan. Atau mungkin—” Rosa menatap tajam Aisyah, “—di bawah manipulasi wanita ini.”

Aisyah akhirnya berbicara, suaranya tenang dan tegas, kontras dengan kekacauan yang terjadi.

“Saya tidak pernah memaksa Arif untuk menulis wasiat apa pun, Ibu Rosa. Itu adalah keputusan mendiang suami saya.”

“Jangan berbohong!” Adrian membentak, berjalan mengelilingi meja dan berhenti tepat di depan Wijaya. “Anda tahu betul Arif tidak akan melakukan ini. Dia tidak sebodoh itu untuk menyerahkan seluruh kerajaan kepada orang luar!”

“Bapak Notaris,” pinta Ibu Rosa, kembali ke nada formal yang dingin, “kami menuntut Anda membatalkan pembacaan ini sampai kami bisa membuktikan kondisi mental almarhum saat penandatanganan.”

Wijaya gemetar. “Saya bersumpah, Ibu, Bapak Arif dalam kondisi sadar dan jernih saat menandatangani dokumen ini. Saya bahkan merekam proses penandatanganan dan ada saksi yang menguatkannya.”

“Saksi bayaran!” Adrian menuding. “Kami tahu bagaimana Anda bermain, Wijaya. Berapa yang dibayar wanita ini?”

“Saya tidak menerima apa pun selain biaya profesional, Bapak Adrian,” jawab Wijaya, hampir berbisik.

Aisyah merasa mual. Kekuatan uang dan kebencian keluarga ini begitu nyata.

“Cukup, Adrian,” kata Aisyah, berdiri dan menatap adik iparnya lurus-lurus. “Wasiat ini sah. Saya adalah pewarisnya. Anda harus menerimanya.”

Adrian tertawa, tawa yang kejam. “Menerimanya? Tidak akan. Anda pikir saya akan membiarkan Anda, seorang social climber tanpa nama, mengambil apa yang sudah menjadi hak saya sejak lahir?”

Ia membungkuk ke arah Aisyah, amarahnya mencapai titik didih. “Saya adalah Adrian Atmadja. Saya telah mengelola perusahaan ini selama sepuluh tahun. Anda hanya boneka.”

Adrian kemudian berbalik ke arah Wijaya. “Saya sudah mengajukan tuntutan hukum pagi ini, Notaris. Tuntutan pembatalan wasiat, dengan dasar ketidakmampuan mental dan pemalsuan. Anda tahu apa artinya itu, bukan?”

Wijaya mengatupkan bibirnya erat-erat. Ia tampak seperti akan muntah.

“Jawab!” Adrian menggeram.

Wijaya mengangkat tangannya yang gemetar, memegang dokumen itu. “Berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh Bapak Adrian Atmadja melalui pengacaranya, Tuan Harris, hari ini juga, atas nama aset Atmadja Group yang terikat dalam surat wasiat ini, seluruh aset tersebut...”

Adrian tersenyum penuh kemenangan.

Wijaya menarik napas, matanya memohon maaf kepada Aisyah, "...seluruh aset tersebut dibekukan sementara hingga keputusan pengadilan final dikeluarkan.”

Aisyah terkejut. Pembekuan? Secepat ini?

Adrian kembali ke kursinya yang terbalik, mengambilnya, dan meninju permukaan meja mahoni itu dengan keras, meninggalkan bekas retakan yang jelas.

“Anda lihat, Aisyah,” Adrian berkata, suaranya kini kembali tenang, namun lebih mematikan dari teriakan, “saya tidak perlu menunggu proses hukum. Saya sudah mengunci Anda. Anda mendapatkan nama, tetapi Anda tidak mendapatkan kekuasaan. Ini hanya permulaan. Saya akan buktikan bahwa surat wasiat itu—”

Adrian berhenti, mengambil napas, dan menatap dingin Aisyah.

“—adalah palsu. Dan saya akan memastikan, Anda tidak bisa menyentuh sepeser pun uang Atmadja sampai Anda keluar dari rumah ini. "

Opsi Logi

Struktur Cerita

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   ketehangan di kantor lama

    Aisyah mencengkeram lengan Laras erat-erat, hampir mencekik pergelangan tangan pengacaranya itu. Matanya melebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena kaget. “Di seberang jalan?”Laras, meskipun lebih tinggi dari Aisyah, mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha menutupi Aisyah dari pandangan siapa pun yang mungkin kebetulan melihat ke dalam mobil. Ia segera menutup tabletnya.“Sistem pemantauan keamanan yang terpisah. Adrian sengaja memilih tempat yang tidak terhubung ke jaringan utama Atmadja Group,” bisik Laras, napasnya sedikit tersengal-sengal. “Harris benar. Tapi... kita tidak menduga kalau letaknya tepat di depan hidung kita. Apartemen Anda berada di lantai sembilan. Jarak pandang lurus. Mereka mungkin melihat pergerakan Anda, Aisyah.”Laras menggeleng. “Ini buruk sekali. Serangan semalam—pencurian data di apartemen Anda, semuanya ada di tangan mereka. Kita hampir memberitahu Harris kalau kita tahu segalanya. Untung dia terlalu bodoh untuk menghubungkan petunjuk itu.”“Lalu ke

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Terjatuhnya Arif

    "Kita akan bertemu dengannya. Kita akan menawarkan dia imunitas penuh jika dia mau membuka mulutnya, dan aku yakin rasa marah karena dikhianati oleh Adrian lebih besar daripada rasa takutnya kepada keluarga Atmadja saat ini," pungkas Aisyah, ekspresinya tajam.Laras menyandarkan punggungnya pada jok mobil. Malam itu, di jalanan ibu kota yang basah, ketenangan Laras terasa kontras dengan gejolak yang Aisyah alami. Namun, ada kilatan puas di mata pengacara itu. Kegagalan Adrian di pengadilan adalah kesenangan kecil yang mahal.“Kau benar,” kata Laras. “Harris sudah lama loyal pada keluarga itu, terutama Ayah Atmadja. Dia percaya diri dengan jaminan imbalan dan perlindungan yang Adrian berikan. Ketika Adrian mengorbankan dia untuk menutupi jejaknya sendiri, harga dirinya pasti hancur.”“Jadi, kita akan menawarinya pintu keluar,” ujar Aisyah. “Adrian sudah menjadikan Harris kambing hitam, dia tidak punya apa-apa lagi yang harus dipertaruhkan selain hidupnya.”Mereka mengatur pertemuan rah

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Pria Misterius di Apartemen Aisyah

    Pria pertama melangkah maju, tangannya terentang—dan saat itulah alarm kebakaran apartemen Aisyah berbunyi nyaring, memekakkan telinga.Aisyah telah menekan tombol darurat yang tersembunyi di bawah wastafel saat ia merobek kertas.Dua pria itu mengerang frustrasi, memegangi telinga mereka. Suara itu terlalu keras di ruangan tertutup.“Sialan!” teriak salah satu pria itu.Aisyah memanfaatkan sepersekian detik kebingungan mereka. Ia mendorong tubuhnya ke samping, menabrak pria kedua, dan berlari keluar kamar mandi, melompati bingkai pintu yang roboh.Ia tidak berhenti berlari. Ia tahu apartemen itu tidak aman.Ia berhasil mencapai pintu belakang yang mengarah ke tangga darurat. Di belakangnya, ia mendengar teriakan marah dan langkah kaki berat.“Tangkap dia! Jangan sampai lolos!”Aisyah menuruni tangga darurat dengan kecepatan panik. Ia tidak tahu siapa mereka, tetapi ancaman fisik itu lebih nyata daripada gugatan hukum mana pun. Ia berhasil keluar dari gedung, berlari ke jalanan malam

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Dekripsi Malam

    Aisyah merasakan hawa dingin. Ini bukan hanya tentang warisan. Ini tentang…...sebuah konspirasi yang tersembunyi jauh di dalam inti Atmadja Group.Aisyah dan Laras meninggalkan kompleks Kediaman Atmadja dengan tergesa-gesa. Buku catatan bersampul kulit itu kini terasa panas di tangan Aisyah, seolah memancarkan energi rahasia.“‘Proyek Khatulistiwa’,” gumam Laras, saat mereka sudah duduk di mobil Aisyah yang melaju kencang menjauhi gerbang. “Nama yang megah untuk apa pun yang disembunyikan Arif.”“Itu hanya sketsa kecil di sudut laci,” jawab Aisyah, membolak-balik buku catatan yang penuh dengan simbol. “Tapi mengapa Arif harus menyembunyikan ini di tempat yang sangat terisolasi? Dan mengapa Adrian repot-repot mengosongkan brankas, tetapi melewatkan laci kecil ini?”“Mungkin dia tidak menyadarinya, atau mungkin dia pikir itu hanya omong kosong pribadi,” duga Laras. “Para pria Atmadja terkenal sombong, Aisyah. Mereka meremehkan apa pun yang tidak tampak besar dan mencolok.”Laras menunj

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Jejak Kertas Misterius

    Asal-usul kekayaan adalah dosa.Kalimat itu, tergores di balik foto usang, terasa seperti batu pemberat yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam air yang tenang. Aisyah segera menelepon Laras, suaranya dipenuhi urgensi yang tak tertahankan.“Anda yakin tulisan ini bukan tulisan tangan Arif?” tanya Laras, memegang foto itu di bawah cahaya lampu neon di kantornya. Aisyah telah bergegas ke sana, membawa satu-satunya petunjuk fisik yang ia miliki.“Saya yakin,” jawab Aisyah, menyandarkan diri pada meja Laras. “Tulisan tangan Arif lebih rapi, lebih formal. Ini terasa tergesa-gesa, dan sangat tua.”Laras membalik foto itu lagi, menatap pria paruh baya yang dirangkul Arif muda. “Pria ini, dia tidak ada di album pernikahan Anda?”“Tidak pernah. Tidak ada yang pernah menyebutkan dia,” kata Aisyah. “Adrian juga tidak. Keluarga Atmadja selalu menjaga citra mereka sempurna. Saya yakin pria ini dan kalimat itu adalah kunci untuk memahami mengapa Arif mengubah wasiatnya.”Laras mengangguk. “Jika ‘asal-u

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   kampanye Hitam Dimulai

    ...meninggal,” Laras menyelesaikan kalimatnya, suaranya kini kembali normal, tetapi dampaknya pada Aisyah begitu besar.Aisyah duduk tegak, mencerna kata-kata itu. "Jadi, kamu berpikir wasiat ini hanyalah cara Arif untuk memicu konflik, agar rahasia mereka terungkap?"Laras mengangguk, menyandarkan sikunya di meja. “Aku tidak tahu apa yang Arif sembunyikan. Tapi lihat polanya. Dia tahu Adrian adalah anak yang emosional dan ambisius. Memberikan 51 persen saham padamu, seorang istri baru, adalah provokasi yang disengaja. Dia tahu Adrian akan menggugat. Dan gugatan itu membuka pintu bagi kita untuk mengajukan discovery—permintaan dokumen—yang jauh melampaui surat wasiat biasa.”“Dia menggunakan saya sebagai perisai, atau mungkin sebagai senjata,” gumam Aisyah, rasa sakit dan pencerahan bercampur aduk.“Mungkin keduanya. Tapi sekarang, kamu adalah pewaris, Aisyah. Dan kamu harus bertarung seperti pewaris Atmadja.” Laras menutup berkas. “Aku akan mengajukan mosi darurat kita besok pagi. Ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status