Share

Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat
Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat
Author: Mustika Ainel

Peti Mati Sang Konglomerat

Author: Mustika Ainel
last update Last Updated: 2025-12-08 16:16:15

Hujan deras memukul tenda putih yang didirikan di atas makam marmer keluarga Atmadja. Tanah basah berbau lumut dan kemewahan yang membusuk. Aisyah berdiri di tepi, gaun hitamnya yang sederhana kontras mencolok dengan ratusan payung mahal dan setelan desainer di sekitarnya. Dia menatap peti mati kayu mahoni yang berkilauan. Di dalamnya, Arif Atmadja, suaminya, konglomerat yang baru dua tahun dinikahinya, kini hanya diam.

Dia tidak menangis, hanya ada kekosongan yang membeku di dadanya. Kekosongan itu adalah ketenangan yang dipaksakan.

Aisyah bisa merasakan tatapan tajam yang membedah punggungnya, lebih dingin daripada air hujan yang menusuk kulit. Bisikan-bisikan itu, meski tertahan, jelas terdengar.

“Lihat saja dia,” suara wanita yang tajam, jelas dari salah satu bibi Atmadja. “Berdiri seperti patung. Tidak ada air mata, padahal dia sudah mendapatkan semua yang diinginkan.”

“Tentu saja tidak ada air mata,” balas pria lain, suaranya berdecis. “Dia sudah mendapatkan apa yang dia buru. Sekarang dia hanya perlu memastikan warisan itu tidak lepas.”

“Warisan apa?” sela suara ketiga, yang lebih muda. “Apakah kalian benar-benar berpikir Arif akan memberikan segalanya pada wanita itu? Itu tidak masuk akal.”

Aisyah menahan napas, menyerap setiap kata penghakiman itu. Dia bukan hanya kehilangan suami; dia kehilangan pijakan di tengah sarang ular.

Tiba-tiba, suara Adrian Atmadja terdengar, lebih dekat dari yang Aisyah duga, berbicara dengan nada pahit kepada ibunya, Rosa Atmadja.

“Dua tahun,” katanya, suaranya rendah dan penuh racun, “hanya dua tahun untuk melenyapkan Arif dari kita semua, Bu. Dan sekarang, dia datang dengan drama kesedihan yang mengerikan ini.”

Ibu Rosa, berdiri anggun dengan balutan sutra hitam, membalasnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, tetapi mengandung kekuatan yang membuat Aisyah merinding.

“Dia akan segera tahu, Adrian, bahwa nama Atmadja bukan hanya tentang uang,” bisiknya, “ini tentang darah dan harga diri. Kita akan membuatnya membayar setiap tatapan sinis yang kita terima hari ini.”

“Saya sudah menyiapkan pengacara terbaik, Bu,” Adrian menjanjikan, matanya menatap tajam, tetapi tidak ke arah Aisyah. “Kami akan membongkar setiap jengkal latar belakangnya. Saya tidak peduli apa yang Arif tulis di detik-detik terakhirnya, saya akan membuktikan itu palsu.”

Aisyah akhirnya berbalik sedikit, mencari Adrian. Ia menemukan adik iparnya itu berdiri di samping ibunya, memancarkan kebencian yang hampir bisa disentuh. Adrian adalah pria yang didorong oleh ambisi yang tak terkendali, dan kini, ia melihat Aisyah sebagai rintangan terakhir menuju kekuasaan.

Seorang kerabat lain, Paman Bima, yang jarang terlihat, kini mendekat ke Adrian.

“Jaga ucapanmu, Adrian,” tegur Paman Bima, suaranya sedikit lebih keras. “Ingat siapa yang mengawasi. Kita harus menjaga citra.”

Adrian mendengus. “Citra apa, Paman? Keluarga kita sudah hancur sejak Arif menikahinya. Dia ini orang luar, parasit yang datang untuk menguras.”

“Tolong, jangan sampai dia dengar,” Ibu Rosa menarik lengan Adrian.

Aisyah, lelah dengan peran sebagai pendengar pasif, memutuskan untuk melangkah mundur. Ia merasakan beban nama Atmadja yang baru ia sandang—seberat batu nisan itu sendiri. Kekuatan yang ia perlukan untuk bertahan bukanlah kekuatan fisik, melainkan kekuatan untuk tetap diam.

Saat prosesi penurunan peti mati dimulai, hujan sedikit mereda. Para pelayat bergerak maju, memberikan penghormatan terakhir. Aisyah menunggu giliran.

Seorang wanita paruh baya yang memakai perhiasan berlebihan, Nyonya Wina, menghampiri Aisyah.

“Nyonya Aisyah, saya turut berduka,” katanya, tetapi matanya tidak menunjukkan kesedihan, melainkan keingintahuan dan penghinaan. “Saya dengar, Arif meninggalkan warisan yang sangat besar. Apakah Anda sudah memikirkan bagaimana cara mengelolanya?”

Aisyah menatapnya kosong. “Saya baru saja kehilangan suami saya, Nyonya.”

“Tentu saja,” Nyonya Wina tersenyum sinis. “Tapi bisnis harus terus berjalan, bukan? Saya harap Anda tidak terlalu naif untuk menjual aset-aset utama Atmadja hanya karena Anda tidak mengerti pasarnya.”

“Saya akan mengelola apa pun yang ditinggalkan Arif dengan baik,” jawab Aisyah, suaranya datar, menunjukkan ketenangan yang ia pelajari dari Arif.

Nyonya Wina terdiam sejenak, terkejut dengan respons yang tenang itu. Dia menghela napas. “Saya hanya berharap Atmadja Group tidak jatuh ke tangan yang salah. Kami semua mengandalkan perusahaan ini.”

Di tengah kerumunan yang mulai bubar, Aisyah kembali fokus pada makam yang tertutup tanah basah.

“Dia tidak akan pernah bisa mengurusnya,” Adrian tiba-tiba muncul di samping Aisyah, suaranya selembut sutra tetapi sekeras baja.

Aisyah menoleh. Ia melihat Adrian kini berdiri hanya beberapa inci darinya, seolah menantangnya di tepi kuburan suaminya sendiri.

“Anda tidak perlu khawatir tentang urusan saya, Adrian,” kata Aisyah, menggunakan pronomina formal, menjaga batas profesional di tengah tragedi pribadi. “Saya adalah istri sah Arif.”

Adrian tersenyum, senyum dingin tanpa kehangatan. “Istri sah. Ya, status itu memang menguntungkan, bukan?”

“Saya mencintai Arif,” balas Aisyah, merasa terhina oleh tuduhan yang tersirat dalam suaranya.

“Cinta?” Adrian tertawa kecil, suara itu seperti bunyi pecahan kaca. “Di lingkaran kita, cinta hanyalah kontrak yang ditandatangani di atas kertas. Saya tahu Anda tidak pernah benar-benar memahami bisnis Atmadja, dan Anda tidak akan bertahan lama di kursi itu.”

“Itu bukan urusan Anda,” tegas Aisyah, menaikkan dagu.

“Ini menjadi urusan saya saat nasib perusahaan ayah saya dipertaruhkan,” Adrian membalas, matanya memancarkan api kebencian yang murni. Dia mendekat, membungkuk sedikit, membuat Aisyah merasakan napasnya yang dingin di telinga.

“Dengarkan saya baik-baik, Aisyah,” bisiknya, suaranya kini berubah menjadi ancaman yang mematikan, “Kau hanya seorang pemburu emas yang kebetulan beruntung. Kau tidak akan pernah menjadi Atmadja. Dan ini—”

Adrian berhenti, membiarkan ketegangan itu membengkak di udara basah.

“—ini belum berakhir, saya akan buktikan bahwa surat wasiat itu palsu dan saya akan mengambil kembali setiap sen yang Anda curi, bahkan jika saya harus menyeret nama Arif ke lumpur, tunggu dan lihat sa...

...ya. Kau akan kehilangan segalanya, bahkan kehormatan Arif.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   ketehangan di kantor lama

    Aisyah mencengkeram lengan Laras erat-erat, hampir mencekik pergelangan tangan pengacaranya itu. Matanya melebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena kaget. “Di seberang jalan?”Laras, meskipun lebih tinggi dari Aisyah, mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha menutupi Aisyah dari pandangan siapa pun yang mungkin kebetulan melihat ke dalam mobil. Ia segera menutup tabletnya.“Sistem pemantauan keamanan yang terpisah. Adrian sengaja memilih tempat yang tidak terhubung ke jaringan utama Atmadja Group,” bisik Laras, napasnya sedikit tersengal-sengal. “Harris benar. Tapi... kita tidak menduga kalau letaknya tepat di depan hidung kita. Apartemen Anda berada di lantai sembilan. Jarak pandang lurus. Mereka mungkin melihat pergerakan Anda, Aisyah.”Laras menggeleng. “Ini buruk sekali. Serangan semalam—pencurian data di apartemen Anda, semuanya ada di tangan mereka. Kita hampir memberitahu Harris kalau kita tahu segalanya. Untung dia terlalu bodoh untuk menghubungkan petunjuk itu.”“Lalu ke

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Terjatuhnya Arif

    "Kita akan bertemu dengannya. Kita akan menawarkan dia imunitas penuh jika dia mau membuka mulutnya, dan aku yakin rasa marah karena dikhianati oleh Adrian lebih besar daripada rasa takutnya kepada keluarga Atmadja saat ini," pungkas Aisyah, ekspresinya tajam.Laras menyandarkan punggungnya pada jok mobil. Malam itu, di jalanan ibu kota yang basah, ketenangan Laras terasa kontras dengan gejolak yang Aisyah alami. Namun, ada kilatan puas di mata pengacara itu. Kegagalan Adrian di pengadilan adalah kesenangan kecil yang mahal.“Kau benar,” kata Laras. “Harris sudah lama loyal pada keluarga itu, terutama Ayah Atmadja. Dia percaya diri dengan jaminan imbalan dan perlindungan yang Adrian berikan. Ketika Adrian mengorbankan dia untuk menutupi jejaknya sendiri, harga dirinya pasti hancur.”“Jadi, kita akan menawarinya pintu keluar,” ujar Aisyah. “Adrian sudah menjadikan Harris kambing hitam, dia tidak punya apa-apa lagi yang harus dipertaruhkan selain hidupnya.”Mereka mengatur pertemuan rah

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Pria Misterius di Apartemen Aisyah

    Pria pertama melangkah maju, tangannya terentang—dan saat itulah alarm kebakaran apartemen Aisyah berbunyi nyaring, memekakkan telinga.Aisyah telah menekan tombol darurat yang tersembunyi di bawah wastafel saat ia merobek kertas.Dua pria itu mengerang frustrasi, memegangi telinga mereka. Suara itu terlalu keras di ruangan tertutup.“Sialan!” teriak salah satu pria itu.Aisyah memanfaatkan sepersekian detik kebingungan mereka. Ia mendorong tubuhnya ke samping, menabrak pria kedua, dan berlari keluar kamar mandi, melompati bingkai pintu yang roboh.Ia tidak berhenti berlari. Ia tahu apartemen itu tidak aman.Ia berhasil mencapai pintu belakang yang mengarah ke tangga darurat. Di belakangnya, ia mendengar teriakan marah dan langkah kaki berat.“Tangkap dia! Jangan sampai lolos!”Aisyah menuruni tangga darurat dengan kecepatan panik. Ia tidak tahu siapa mereka, tetapi ancaman fisik itu lebih nyata daripada gugatan hukum mana pun. Ia berhasil keluar dari gedung, berlari ke jalanan malam

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Dekripsi Malam

    Aisyah merasakan hawa dingin. Ini bukan hanya tentang warisan. Ini tentang…...sebuah konspirasi yang tersembunyi jauh di dalam inti Atmadja Group.Aisyah dan Laras meninggalkan kompleks Kediaman Atmadja dengan tergesa-gesa. Buku catatan bersampul kulit itu kini terasa panas di tangan Aisyah, seolah memancarkan energi rahasia.“‘Proyek Khatulistiwa’,” gumam Laras, saat mereka sudah duduk di mobil Aisyah yang melaju kencang menjauhi gerbang. “Nama yang megah untuk apa pun yang disembunyikan Arif.”“Itu hanya sketsa kecil di sudut laci,” jawab Aisyah, membolak-balik buku catatan yang penuh dengan simbol. “Tapi mengapa Arif harus menyembunyikan ini di tempat yang sangat terisolasi? Dan mengapa Adrian repot-repot mengosongkan brankas, tetapi melewatkan laci kecil ini?”“Mungkin dia tidak menyadarinya, atau mungkin dia pikir itu hanya omong kosong pribadi,” duga Laras. “Para pria Atmadja terkenal sombong, Aisyah. Mereka meremehkan apa pun yang tidak tampak besar dan mencolok.”Laras menunj

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   Jejak Kertas Misterius

    Asal-usul kekayaan adalah dosa.Kalimat itu, tergores di balik foto usang, terasa seperti batu pemberat yang tiba-tiba dilemparkan ke dalam air yang tenang. Aisyah segera menelepon Laras, suaranya dipenuhi urgensi yang tak tertahankan.“Anda yakin tulisan ini bukan tulisan tangan Arif?” tanya Laras, memegang foto itu di bawah cahaya lampu neon di kantornya. Aisyah telah bergegas ke sana, membawa satu-satunya petunjuk fisik yang ia miliki.“Saya yakin,” jawab Aisyah, menyandarkan diri pada meja Laras. “Tulisan tangan Arif lebih rapi, lebih formal. Ini terasa tergesa-gesa, dan sangat tua.”Laras membalik foto itu lagi, menatap pria paruh baya yang dirangkul Arif muda. “Pria ini, dia tidak ada di album pernikahan Anda?”“Tidak pernah. Tidak ada yang pernah menyebutkan dia,” kata Aisyah. “Adrian juga tidak. Keluarga Atmadja selalu menjaga citra mereka sempurna. Saya yakin pria ini dan kalimat itu adalah kunci untuk memahami mengapa Arif mengubah wasiatnya.”Laras mengangguk. “Jika ‘asal-u

  • Rahasia Dibalik Kematian Sang konglomerat   kampanye Hitam Dimulai

    ...meninggal,” Laras menyelesaikan kalimatnya, suaranya kini kembali normal, tetapi dampaknya pada Aisyah begitu besar.Aisyah duduk tegak, mencerna kata-kata itu. "Jadi, kamu berpikir wasiat ini hanyalah cara Arif untuk memicu konflik, agar rahasia mereka terungkap?"Laras mengangguk, menyandarkan sikunya di meja. “Aku tidak tahu apa yang Arif sembunyikan. Tapi lihat polanya. Dia tahu Adrian adalah anak yang emosional dan ambisius. Memberikan 51 persen saham padamu, seorang istri baru, adalah provokasi yang disengaja. Dia tahu Adrian akan menggugat. Dan gugatan itu membuka pintu bagi kita untuk mengajukan discovery—permintaan dokumen—yang jauh melampaui surat wasiat biasa.”“Dia menggunakan saya sebagai perisai, atau mungkin sebagai senjata,” gumam Aisyah, rasa sakit dan pencerahan bercampur aduk.“Mungkin keduanya. Tapi sekarang, kamu adalah pewaris, Aisyah. Dan kamu harus bertarung seperti pewaris Atmadja.” Laras menutup berkas. “Aku akan mengajukan mosi darurat kita besok pagi. Ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status