Ruby dan Nio berjalan berdampingan menuju area parkir basement, langkah mereka perlahan, tetapi tenang, tidak lagi dipenuhi ketegangan atau jarak seperti sebelumnya.
Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat.Tiba-tiba, dari arah belakang, suara mendesis pelan nyaris tak terdengar jika saja Nio tidak menoleh secara naluriah. Dalam sepersekian detik, matanya menangkap kilatan logam dan cahaya reflektif dari sebuah motor listrik yang melaju kencang di jalur sempit basement. Tidak ada suara mesin. Tidak ada klakson. Hanya ancaman senyap yang meluncur seperti peluru ke arah mereka.“Ruby!” seru Nio refleks, dan dalam satu gerakan cepat, dia menarik Ruby ke arahnya.Tubuh Ruby terhuyung, lalu terlempar ringan ke dalam dekapan Nio, tepat saat motor itu melintas hanya beberapa inci dari tempat mereka berdiri. Angin kencang dari laju kendaraan menyapu ujung rambut Ruby. Motor itu terus melaju tanpa sedikit pun memperlambat atau meminta maaf, seolah-oMereka pun duduk berhadapan di meja makan. Ruby menuangkan jus ke gelas, sementara Nio langsung meraih roti panggang. “Hmm, enak sekali. Aku kangen masakanmu.”Ruby mengangkat alis. “Padahal aku hanya bikin sarapan sederhana.”“Tetap saja, kalau dari tanganmu, selalu terasa istimewa.” Nio menatapnya penuh arti, membuat Ruby hanya bisa tersenyum malu-malu.Mereka menghabiskan sarapan dengan obrolan ringan, sesekali bercanda. Sesudahnya, Ruby segera membereskan meja, sementara Nio bersiap mengambil kunci mobil. Meski liburan singkat mereka sudah selesai, kehangatan yang tersisa membuat rumah kecil itu terasa penuh cinta.*** Mobil yang mereka kendarai akhirnya berhenti di depan gedung kantor yang menjulang gagah. Ruby dan Nio turun bersamaan, langkah mereka seirama hingga masuk ke dalam lobi yang luas dan elegan.Lift membawa mereka naik, sunyi hanya diisi dentingan angka digital yang berganti setiap lantai. Ruby menatap suaminya
“Dan aku lebih beruntung karena kamu istriku,” balas Nio cepat.Mereka tertawa kecil bersama. Malam kian larut, tapi hangatnya suasana membuat mereka enggan beranjak tidur. Rumah yang dulu terasa biasa kini dipenuhi cahaya cinta dan kenangan baru.Ruby menutup matanya sebentar, membiarkan rasa damai meresap ke dalam hati. Setelah teh hangat habis, Ruby menguap kecil sambil tersenyum. “Sepertinya tubuhku baru benar-benar sadar kalau kita sudah pulang. Aku capek sekali.”Nio menatapnya dengan lembut. “Kalau begitu, ayo kita ke kamar. Malam ini kita harus tidur cukup.”Mereka naik ke lantai atas, Ruby segera masuk lalu merebahkan diri di sisi ranjang. Nio menyusul, duduk di tepinya, lalu menatap Ruby yang sudah setengah menutup mata. “Capek sekali ya, Nyonya Alenka?”Ruby tersenyum mengantuk. “Iya, tapi bahagia.”Dengan gerakan lembut, Nio ikut berbaring di sampingnya. Ia menarik Ruby ke dalam pelukannya, membiar
Beberapa saat mereka duduk dalam diam, menikmati detik-detik terakhir sebelum bersiap. Lalu Ruby bangkit, mulai merapikan pakaian dan barang-barang mereka. Nio membantunya, melipat baju dengan cermat, memastikan tidak ada yang tertinggal. Sesekali mereka bertukar senyum kecil, seakan ingin mengusir rasa berat hati dengan kebersamaan sederhana. Selesai berkemas, Ruby berjalan ke balkon vila. Dari sana, ia bisa melihat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Langit dipenuhi semburat oranye, merah, dan ungu, memantul indah di permukaan laut. Ruby berdiri terpaku, dadanya sesak oleh keindahan itu. Nio mendekat dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggang Ruby. “Indah, kan?” bisiknya. Ruby mengangguk pelan. “Aku ingin mengingat momen ini selamanya.” “Dan kamu akan mengingatnya,” jawab Nio dengan yakin. “Karena aku ada di sini, di sisimu. Selama kita bersama, setiap tempat akan selalu terasa istimewa.” Ruby tersenyum, meski matanya sedikit berkaca. Ia menoleh, menatap wajah
Ruby merasakan hatinya hangat. Ia menoleh pada Nio, yang menatapnya penuh senyum di balik masker. Nio mengulurkan tangan, menggenggam jemari Ruby di bawah air. Dalam hening dunia bawah laut itu, tanpa kata-kata, Ruby bisa merasakan perasaan yang ingin disampaikan Nio.Mereka terus berenang, menyusuri jalur karang yang indah. Ruby sesekali menunjuk ikan-ikan warna-warni yang melintas: biru neon, oranye mencolok, bahkan ada yang bercorak bintik-bintik. Nio ikut memperhatikannya dengan sabar, seolah melihat kebahagiaan Ruby adalah pemandangan paling indah baginya.Saat mereka naik ke permukaan sebentar untuk bernapas penuh, Ruby langsung berseru, “Nio! Itu tadi luar biasa sekali! Aku merasa seperti masuk ke negeri ajaib.”Nio tertawa lembut, mengusap wajahnya yang basah. “Aku sudah bilang kan, kamu akan suka.”Ruby menatapnya penuh kagum. “Kamu selalu tahu caranya membuatku melihat dunia dengan cara berbeda.”“Karena aku ingin kamu tahu, Rub
Boat terus melaju, menyisir garis pantai yang memamerkan perpaduan pasir putih dan hijau pepohonan. Beberapa burung camar terbang rendah, menambah indah pemandangan yang seakan diambil dari lukisan. Ruby menutup matanya sebentar, membiarkan hembusan angin laut mengusap wajahnya. Ada rasa damai yang jarang sekali ia rasakan sebelumnya.Saat Ruby membuka mata, ia mendapati Nio tengah menatapnya dalam-dalam. “Kenapa lihat aku begitu?” tanyanya malu-malu.“Karena kamu lebih indah dari semua pemandangan di sini,” jawab Nio jujur tanpa ragu.Ruby merasa pipinya panas, lalu cepat-cepat menoleh ke arah lain. “Kamu selalu tahu cara membuat aku malu.”Nio tertawa, lalu dengan spontan meraih tangannya. Mereka saling bergenggaman, membiarkan boat membawa mereka semakin jauh dari keramaian. Ombak, angin, dan langit biru menjadi saksi keintiman yang sederhana, tapi bermakna.Di tengah perjalanan, Nio menurunkan kecepatan boat, membiarkan mereka mengapung tenang di atas air jernih. Ruby menatap ke b
Pasir putih terasa hangat di telapak kaki Ruby saat ia berjalan pelan di samping Nio. Ombak datang silih berganti, memecah sunyi dengan deburan lembut. Pagi di pantai itu seakan diciptakan hanya untuk mereka berdua.Nio menyelipkan tangannya ke genggaman Ruby, menatap ke arah garis laut biru yang memantulkan cahaya matahari. “Ruby, kalau kita menikah nanti… kamu ingin pernikahan seperti apa?”Ruby berhenti melangkah, menoleh dengan dahi berkerut. “Menikah? Bukankah kita sudah menikah, Nio? Kenapa harus menikah lagi?” Nada suaranya penuh kebingungan.Nio ikut berhenti, menatap Ruby dengan mata yang penuh heran. “Tunggu… semalam kamu baru saja menerima lamaranku. Apa sekarang kamu jadi pikun?” Senyumnya melebar nakal, jelas ia sedang menggoda.Ruby mendengus kesal dan langsung memukul lengan Nio dengan pelan. “Bukan begitu maksudku! Kita kan masih tercatat dalam hukum sebagai suami istri. Jadi… kenapa kamu bicara seolah-olah kita belum menikah?”Nio mengusap lengan yang dipukul, pura-p