Ruby mengangguk, membenarkan apa kata Nio barusan. Dia menunduk sejenak, sebelum kembali menatap mata Nio. “Aku tidak bisa berpura-pura biasa saat tahu kau hampir mati.”
Keduanya terdiam. Udara dipenuhi ketegangan yang aneh, campuran rasa canggung, lega, dan perasaan yang belum bisa disebutkan. Nio menarik napas, lalu melirik Ruby.“Jadi … kau jaga aku semalaman?” tanyanya.Ruby menoleh dan tersenyum kecil, “Aku tidak bisa tidur kalau tidak tahu kau baik-baik saja.”Nio membalas senyum itu, tipis, tetapi penuh makna. “Biasanya kau tidak sepeduli itu, Bu Presdir.”Ruby mendecak pelan, menunduk menahan senyum malu. “Jangan panggil aku begitu sekarang … Kita tidak sedang di kantor.”“Jadi sekarang aku boleh panggil apa?” godanya, kali ini terdengar lebih lembut.Ruby terdiam, matanya menatap tangan mereka yang masih bersentuhan di atas selimut. “Ruby saja … untuk sekarang.”Mata mereka bertemu. Ada kehangatan yangPerjalanan menuju kantor cukup lancar. Cuaca cerah, langit biru bersih, seolah ikut merayakan kehidupan baru mereka yang perlahan tapi pasti menjelma indah. Saat tiba di kantor, ia masuk dari pintu samping, tak ingin membuat kehebohan. Namun beberapa pegawai yang melihatnya tetap menyapa ramah, dan Nio membalas dengan anggukan tenang.Di lantai atas, Ruby sudah menunggunya di ruangannya.“Kamu cepat juga,” kata Ruby sambil menyimpan dokumen ke dalam map.“Karena aku lapar,” jawab Nio sambil tersenyum.Ruby tertawa kecil. “Ayo, aku tahu tempat yang enak.”***Restoran Jepang itu tampak tenang, dengan arsitektur kayu khas dan lampion gantung yang berayun pelan setiap kali pintu digeser terbuka. Begitu memasuki ruangan, aroma kaldu dashi dan kecap asin menyambut Ruby dan Nio, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa lapar.Nio membuka pintu geser dengan satu tangan, mempersilakan Ruby masu
Mentari pagi menyelinap hangat melalui jendela besar kamar, membasuh ruang itu dengan cahaya keemasan yang lembut. Di atas ranjang luas dengan selimut yang masih kusut oleh malam penuh kehangatan, Ruby mengerjapkan mata perlahan. Cahaya menyentuh wajahnya, dan ia menggeliat kecil, merenggangkan tubuh yang masih lelah. Saat itulah suara lembut terdengar, memecah keheningan dengan hangat.“Selamat pagi,” ucap Nio yang masih berada di sebelahnya.Ruby menoleh, tersenyum kecil. Matanya masih sayu tapi penuh kehangatan. “Selamat pagi,” balasnya lirih.Tanpa perlu berkata lebih banyak, mereka saling mendekat dan bertukar ciuman lembut di pagi hari. Ciuman itu bukan sekadar kebiasaan, melainkan tanda syukur bahwa mereka masih di sini, bersama.Nio membelai rambut Ruby sejenak sebelum perlahan turun dari ranjang. “Aku bersihkan diri dulu, lalu aku buatkan sarapan.”Ruby hanya mengangguk, masih menikmati kehangatan selimut
Nio menatap wajah istrinya yang sedang tertidur dengan penuh cinta. Nafas Ruby teratur, rambutnya sedikit berantakan, tetapi tetap terlihat cantik dalam balutan keheningan. Nio tersenyum tipis. Ada debar hangat di dadanya. Dia merasa sulit percaya bahwa semua ini nyata, bahwa wanita yang kini terlelap di sisinya adalah istrinya, bahwa semua perjuangan dan luka telah membawanya ke tempat ini. Tempat yang dipenuhi ketenangan dan cinta. Tatapan Nio begitu lembut, nyaris rapuh. Seolah-olah jika dia berkedip terlalu lama, semuanya akan menghilang dan kembali menjadi mimpi. Seakan-akan mendengar kegundahan dalam hati Nio, Ruby perlahan membuka matanya. Dia mendapati Nio masih terjaga, menatapnya tanpa berkedip. "Kenapa tidak tidur?" tanya Ruby dengan suara serak khas orang yang baru bangun. Nio menghela napas pelan, lalu menyentuh pipi Ruby. "Karena semua ini terasa seperti mimpi." Ruby tersenyum, matanya mengerjap lucu. Dia mendekat, lalu mengecup bibir Nio dengan lembut. "Masih sepert
Nio menoleh pelan, menatap wajah wanita yang selama ini selalu bersamanya melewati tekanan, luka, dan kebahagiaan yang tumbuh perlahan. Dalam diam, dia menyentuh pipi Ruby dengan lembut, membuat Ruby menoleh, mata mereka bertemu dalam tatapan yang jujur dan hangat. “Aku mencintaimu, Ruby,” bisik Nio, suara yang rendah, tetapi dalam. Ruby terdiam sejenak, seolah-olah kata-kata itu butuh beberapa detik untuk sampai ke dalam hatinya. Kemudian dia mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Aku juga mencintaimu, Nio ... sejak lama,” jawabnya, tulus tanpa ragu. Waktu seakan-akan berhenti saat keduanya hanya saling menatap. Tak ada lagi beban perusahaan, masa lalu, atau rasa takut yang menggantung di antara mereka. Yang tersisa hanya dua hati yang akhirnya saling terbuka sepenuhnya. Dengan gerakan lembut dan perlahan, Nio menarik wajah Ruby mendekat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang hangat bukan ciuman yang terburu-buru atau penuh hasrat, tetapi ciuman yang dalam, tenan
Malam turun dengan perlahan, membawa serta kilau lampu-lampu kota yang mulai menyala di balik jendela kaca gedung utama Ashaki Group. Di ballroom besar yang kini telah disulap menjadi ruangan pesta mewah, musik lembut terdengar dari sudut ruangan, dimainkan oleh orkestra kecil yang berada di sisi kiri panggung. Meja-meja bundar dengan taplak satin putih berbaris rapi, dihiasi rangkaian bunga anggrek ungu dan putih yang dipadu dengan cahaya lilin-lilin kristal di tengahnya. Di tengah ruangan, lampu gantung mewah menggantung dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke seluruh penjuru ruangan seperti bintang-bintang yang menyinari malam. Nio berdiri di dekat panggung utama, mengenakan setelan hitam mewah dan elegan dengan dasi abu-abu gelap. Wajahnya tampak tenang, tetapi tatapan matanya menyapu ruangan dengan kewaspadaan alami. Malam ini bukan sekadar pesta, tetapi simbol keberhasilan, pembuktian, dan babak baru yang telah dia raih dengan darah dan luka. Di sampingnya, Ruby tampa
Setelah prosesi selesai, para tamu undangan diarahkan menuju area makan siang dan networking. Namun Nio dan Ruby sempat berdiri berdua di tepi panggung, menikmati momen kebanggaan itu hanya untuk mereka berdua.“Kau hebat,” bisik Ruby sambil menyentuh lengan Nio. “Aku tahu kau akan sampai di titik ini.”Nio tersenyum, wajahnya sedikit teduh terkena sinar matahari. “Kalau bukan karena kamu, aku mungkin masih keras kepala di sudut gudang yang gelap.”Ruby terkekeh pelan. “Kamu masih keras kepala sampai sekarang.”Nio menoleh menatap istrinya. “Tapi kamu tetap memilih untuk ada di sampingku.”“Aku selalu percaya padamu, bahkan ketika kamu tidak percaya pada dirimu sendiri.”Mereka saling diam sejenak, hanya saling menatap dalam keheningan yang hangat. Di tengah kesibukan dunia, di antara keramaian dan suara tertawa para undangan, ada ruang kecil di antara mereka yang hanya milik berdua tenang dan utuh.