Namun, tak ada jawaban langsung. Hanya keheningan sebentar, lalu suara ayahnya terdengar lagi, kali ini lebih dingin. “Pulanglah, Ruby. Kita perlu bicara.”Sambungan pun terputus tanpa penjelasan lebih lanjut. Ruby menatap ponselnya beberapa saat, dadanya terasa semakin berat. Jika ayahnya sampai menghubungi langsung, itu berarti serius. Dan Ruby tahu, penundaan tak akan bisa menjadi alasan kali ini.Dengan napas berat, ia bangkit dari kursi, matanya masih menyiratkan kebingungan dan kegelisahan yang baru.Ada sesuatu yang menunggunya di rumah. Dan ia hanya bisa berharap… itu bukan sesuatu yang akan membuat segalanya lebih rumit dari yang sudah ada.*** Malam itu langit terlihat kelabu, seakan-akan meramalkan badai yang akan datang. Ruby membuka gerbang rumah besarnya dengan perasaan tak tenang. Lampu-lampu taman menyala redup, tapi suasana di dalam rumah tampak lebih muram dari biasanya.Begitu Ruby membuka pintu utama, aroma obat d
“Suaminya Bu Ruby? Itu…Tuan Nio Alenka?” sahut temannya, suara bergetar karena tak percaya.Mereka hanya bisa saling pandang. Tak lama, seorang staf senior yang mengenali wajah Nio dari foto-foto masa lalu juga ikut terdiam, matanya menyipit tajam. Di pikirannya, satu pertanyaan langsung membara, “Apakah Tuan Nio kembali? Tapi… siapa wanita itu?”Gosip mulai merambat seperti api kecil yang menyentuh kayu kering. Di antara para pegawai, bisik-bisik mulai terdengar.“Jangan-jangan… dia kembali diam-diam dan selingkuh?”“Kalau benar itu Tuan Nio… kenapa Nona Ruby tidak bilang apa-apa?”“Dia gandengan tangan dengan perempuan lain.”Di tengah desas-desus itu, Nio dan Sarah tetap melangkah keluar tanpa sadar telah menyalakan percikan kecil yang bisa berubah menjadi kobaran besar. Nio hanya ingin cepat keluar dari gedung itu. Namun langkahnya terasa berat, karena ia tahu… kebohongan ini hanya akan bertambah dalam.Dan ia juga t
Langkah mereka cepat dan diam. Ketika pintu ruangan terbuka kembali, Ruby sedang berdiri membelakangi jendela, cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya yang tampak tenang tapi juga menyimpan banyak gejolak. Punggungnya tegak, namun tangannya mengepal erat.Saat pintu menutup kembali, hanya ada mereka berdua di ruangan itu dan udara yang mendadak terasa berat.Nio berdiri mematung beberapa langkah dari meja, lalu berkata pelan, “Kau memanggilku?”Ruby berbalik perlahan, menatapnya penuh. “Aku cuma ingin tahu,” suaranya lirih tapi menusuk, “kebenaran apa yang kau sembunyikan di balik nama Ethan Zaferino.”Nio mengerutkan alis, berpura-pura tak paham. “Maksud Anda apa, Nona Ruby? Saya hanya ingin tahu… barang apa yang tertinggal?”Ruby menatapnya dengan luka yang dalam, lalu membuka laci meja di sampingnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kertas biru laut, dengan pita yang sedikit lusuh seolah telah lama disimpan tanpa pernah
“Seperti yang saya sampaikan lewat email, saya datang membawa tawaran investasi dari salah satu perusahaan Jepang yang sedang berkembang pesat. Kami tertarik untuk menanamkan modal di Ashaki Group, terutama pada lini teknologi dan pengembangan infrastruktur kalian yang cukup menjanjikan di pasar Asia Tenggara,” ujar Sarah mengatakan maksud kedatangannya. Ruby menyimak dengan anggukan kecil, tapi sorot matanya lebih sering terpaku pada pria di samping Sarah. Ia mencoba untuk tidak terlihat terbawa perasaan, meski detak jantungnya masih belum kembali normal. “Terima kasih atas ketertarikannya, Sarah. Tapi untuk saat ini,” Ruby mulai dengan nada formal, “Ashaki Group belum membuka peluang untuk investor baru. Kami masih dalam tahap konsolidasi internal dan lebih fokus pada ekspansi berbasis kemitraan strategis, bukan suntikan modal besar dari luar.” Sarah menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, ekspresi wajahnya sedikit berubah. “Saya mengerti
Namun, sekarang cabang yang ia bangun di bawah namanya, dengan kerja keras selama dua tahun terakhir, telah menjadi salah satu aset paling menjanjikan yang dimiliki Ashaki Group. Namun, bukan itu yang membuatnya gugup. Bukan pengakuan yang ia incar melainkan kenyataan bahwa di dalam sana, mungkin Ruby sedang menunggu. Ruby, yang selama ini berusaha ia lindungi dari bayang-bayang masa lalu. Ruby, yang tidak tahu bahwa Nio, pria yang ia tangisi, ia cari sebenarnya sedang berdiri tepat di depan gedung tempatnya bekerja. Nio menarik napas panjang, menenangkan jantungnya yang berdetak tidak karuan. Ia melangkah keluar dari mobil, jas hitamnya rapi, wajahnya tenang. Tapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. “Bagaimana kalau dia melihatku? Bagaimana kalau dia mengenaliku? Apakah aku siap untuk itu?” pikirnya. Sarah menyambutnya dengan senyum menyebalkan. “Kau kelihatan gugup.” “Aku hanya memikirkan strategi,” jawab N
Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui celah tirai ruang makan yang luas dan megah. Nio duduk tenang di kursi ujung meja makan, mengenakan kemeja putih bersih dan dasi yang belum terikat sempurna. Ia mengaduk kopi hitamnya dengan pelan, mencoba mengumpulkan pikirannya setelah malam yang panjang dan penuh kecemasan. Aroma roti panggang dan telur orak-arik memenuhi ruangan, namun pikirannya tidak berada di meja makan, ia masih mencoba memahami langkah Sarah yang sebenarnya. Tak lama, derap langkah sepatu hak terdengar dari arah tangga. Nio menoleh dan melihat Sarah turun dengan penampilan yang rapi dan elegan, blazer abu muda yang membalut tubuh rampingnya, rambut disisir ke belakang dengan tatanan yang sangat profesional. Penampilannya seperti seorang pebisnis wanita sukses, siap menghadapi dunia. “Kau terlihat sibuk pagi ini,” kata Nio sembari mengangkat alis, nada suaranya santai, tapi matanya mengawasi setiap gerakan Sarah. Sarah tersenyum dan menghampirinya, mengambil roti