Dengan cepat, ia membuka email tersebut. Pandangannya menyapu tiap baris dengan cermat.Napas Nio tertahan beberapa detik. Rasa lega dan antusiasme muncul bersamaan. Ini bukan hanya kabar baik, ini adalah titik balik dari krisis yang sempat mengguncang fondasi bisnisnya. Kembalinya kepercayaan dari Bu Dira berarti satu lubang besar dalam jaringan finansial proyeknya kini tertutup.
Tanpa membuang waktu, Nio segera meraih interkom di sudut meja.“Via, tolong masuk ke ruangan saya sekarang,” ucapnya tegas namun bersemangat.Beberapa saat kemudian, Via masuk dengan ekspresi waspada. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”Nio menatapnya dengan senyum lebar yang sudah lama tak terlihat. “Segera atur rapat dengan tim keuangan dan pengembangan proyek. Kirim undangan rapat dalam satu jam ke depan. Saya baru saja menerima email dari Bu Dira, dia kembali setuju untuk berinvestasi.”Mata Via ikut membulat, tampak ikut terkejut sekaligus lega. “Itu kabar baiLangkah mereka cepat dan diam. Ketika pintu ruangan terbuka kembali, Ruby sedang berdiri membelakangi jendela, cahaya matahari menyinari sebagian wajahnya yang tampak tenang tapi juga menyimpan banyak gejolak. Punggungnya tegak, namun tangannya mengepal erat.Saat pintu menutup kembali, hanya ada mereka berdua di ruangan itu dan udara yang mendadak terasa berat.Nio berdiri mematung beberapa langkah dari meja, lalu berkata pelan, “Kau memanggilku?”Ruby berbalik perlahan, menatapnya penuh. “Aku cuma ingin tahu,” suaranya lirih tapi menusuk, “kebenaran apa yang kau sembunyikan di balik nama Ethan Zaferino.”Nio mengerutkan alis, berpura-pura tak paham. “Maksud Anda apa, Nona Ruby? Saya hanya ingin tahu… barang apa yang tertinggal?”Ruby menatapnya dengan luka yang dalam, lalu membuka laci meja di sampingnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kertas biru laut, dengan pita yang sedikit lusuh seolah telah lama disimpan tanpa pernah
“Seperti yang saya sampaikan lewat email, saya datang membawa tawaran investasi dari salah satu perusahaan Jepang yang sedang berkembang pesat. Kami tertarik untuk menanamkan modal di Ashaki Group, terutama pada lini teknologi dan pengembangan infrastruktur kalian yang cukup menjanjikan di pasar Asia Tenggara,” ujar Sarah mengatakan maksud kedatangannya. Ruby menyimak dengan anggukan kecil, tapi sorot matanya lebih sering terpaku pada pria di samping Sarah. Ia mencoba untuk tidak terlihat terbawa perasaan, meski detak jantungnya masih belum kembali normal. “Terima kasih atas ketertarikannya, Sarah. Tapi untuk saat ini,” Ruby mulai dengan nada formal, “Ashaki Group belum membuka peluang untuk investor baru. Kami masih dalam tahap konsolidasi internal dan lebih fokus pada ekspansi berbasis kemitraan strategis, bukan suntikan modal besar dari luar.” Sarah menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, ekspresi wajahnya sedikit berubah. “Saya mengerti
Namun, sekarang cabang yang ia bangun di bawah namanya, dengan kerja keras selama dua tahun terakhir, telah menjadi salah satu aset paling menjanjikan yang dimiliki Ashaki Group. Namun, bukan itu yang membuatnya gugup. Bukan pengakuan yang ia incar melainkan kenyataan bahwa di dalam sana, mungkin Ruby sedang menunggu. Ruby, yang selama ini berusaha ia lindungi dari bayang-bayang masa lalu. Ruby, yang tidak tahu bahwa Nio, pria yang ia tangisi, ia cari sebenarnya sedang berdiri tepat di depan gedung tempatnya bekerja. Nio menarik napas panjang, menenangkan jantungnya yang berdetak tidak karuan. Ia melangkah keluar dari mobil, jas hitamnya rapi, wajahnya tenang. Tapi di dalam dirinya, badai berkecamuk. “Bagaimana kalau dia melihatku? Bagaimana kalau dia mengenaliku? Apakah aku siap untuk itu?” pikirnya. Sarah menyambutnya dengan senyum menyebalkan. “Kau kelihatan gugup.” “Aku hanya memikirkan strategi,” jawab N
Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui celah tirai ruang makan yang luas dan megah. Nio duduk tenang di kursi ujung meja makan, mengenakan kemeja putih bersih dan dasi yang belum terikat sempurna. Ia mengaduk kopi hitamnya dengan pelan, mencoba mengumpulkan pikirannya setelah malam yang panjang dan penuh kecemasan. Aroma roti panggang dan telur orak-arik memenuhi ruangan, namun pikirannya tidak berada di meja makan, ia masih mencoba memahami langkah Sarah yang sebenarnya. Tak lama, derap langkah sepatu hak terdengar dari arah tangga. Nio menoleh dan melihat Sarah turun dengan penampilan yang rapi dan elegan, blazer abu muda yang membalut tubuh rampingnya, rambut disisir ke belakang dengan tatanan yang sangat profesional. Penampilannya seperti seorang pebisnis wanita sukses, siap menghadapi dunia. “Kau terlihat sibuk pagi ini,” kata Nio sembari mengangkat alis, nada suaranya santai, tapi matanya mengawasi setiap gerakan Sarah. Sarah tersenyum dan menghampirinya, mengambil roti
Sarah menatapnya lama. Ada sedikit kelembutan yang muncul dari matanya, atau mungkin hanya bayangan permainan. “Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk bertahan hidup. Sama seperti dulu saat kau memilih menyembunyikan chip itu dan meninggalkan semua orang dalam kegelapan.” Nio tidak membalas. Dalam benaknya, banyak hal kini mulai menemukan bentuk motif, arah, dan bahaya. “Jadi ini alasanmu kembali?” Nio akhirnya bertanya. “Untuk menjadi perantara transaksi narkotika di Macau?” Sarah mengangguk pelan. “Secara teknis… ya. Tapi ketika aku mendengar kabar bahwa Ethan Zaferino masih hidup…” Dia menyentuh dadanya. “Itu mengubah semuanya.” Nio menyipitkan mata. “Mengubah… atau mengancam?” Sarah tersenyum, lalu melangkah lebih dekat, berdiri tepat di samping Nio. “Kau masih curiga padaku?” “Selalu.” Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya ditemani gemuruh angin dan dengung kota yang jauh di bawah sana. Namun satu hal kini pasti di benak Nio, Sarah tak kembali hanya un
Nio menjaga raut wajahnya tetap tenang, “Ada terlalu banyak orang di sini,” ujarnya sambil melirik ke arah beberapa pelayan yang berdiri di kejauhan, mencoba tak terlihat tapi jelas memperhatikan. Sejenak, mata Sarah menyipit. Kemarahannya tersirat dari kerutan tipis di dahinya. Tapi ia menarik napas perlahan dan memaksakan senyum. “Kau masih seperti dulu. Hati-hati, terlalu berhati-hati.” Ia melepaskan pelukannya dan membalikkan badan. “Kalau begitu, ikut aku. Aku sudah menyiapkan makan malam. Kita bisa bicara lebih tenang di sana.” Nio mengangguk singkat dan mengikuti langkah Sarah menyusuri lorong menuju ruang makan yang lebih privat. Ruangan itu hangat, pencahayaannya lembut dengan lilin-lilin kecil yang menyala di tengah meja makan panjang berlapis kain sutra krem. Hidangan mewah tersaji rapi. Mereka duduk berhadapan, diam sejenak sebelum Sarah membuka pembicaraan. “Aku masih ingat makanan kesukaanmu,” katanya sambil m