Home / Romansa / Rahasia Istri Yang Disakiti / Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

Share

Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

Author: qia
last update Last Updated: 2025-12-18 16:32:23

Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.

Ponselnya bergetar.

Nama Ravent muncul di layar.

Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.

Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.

Kamu di mana?

Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.

Aku aman. Aku cuma butuh waktu.

Balasan datang hampir seketika.

Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.

Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.

Seeyana mengunci ponsel.

***

Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.

“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.

Seeyana mengangguk. “Aku nggak nyangka sejauh ini.”

Alya duduk di seberangnya. “Kamu nggak salah ambil jarak.”

Seeyana menatap permukaan teh yang beruap. “Aku takut dibilang istri durhaka.”

Alya tersenyum tipis. “Menjaga diri bukan durhaka.”

Kalimat itu mengendap pelan, tapi hangat.

Sementara itu, di rumah, Ravent mondar-mandir di ruang tamu. Tangannya menggenggam ponsel erat. Beberapa panggilan tak terjawab. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras.

Ia menekan nomor ibunya.

“Bu, Seeyana pergi,” katanya begitu sambungan tersambung.

“Apa?” suara Suryani meninggi. “Ke mana?”

“Ke rumah temannya, katanya.”

Suryani mendengus. “Lihat? Ibu sudah bilang. Dia itu perempuan keras kepala.”

Ravent menghela napas kasar. “Ibu bisa bantu ngomong sama dia?”

“Biar ibu yang urus,” jawab Suryani dingin. “Perempuan itu harus dikasih pelajaran.”

Kata pelajaran membuat Ravent terdiam sejenak. Tapi ia tidak menghentikannya.

Menjelang siang, ponsel Seeyana kembali berdering. Nama Suryani muncul.

Ia ragu sejenak, lalu mengangkat. “Iya, Bu.”

“Kamu ke mana?” suara itu tajam.

“Ke rumah teman.”

“Kamu itu istri. Tempatmu di rumah suami,” Suryani membentak. “Pulang sekarang.”

Seeyana menarik napas dalam. “Bu, saya cuma butuh waktu.”

“Waktu apa?” Suryani tertawa sinis. “Bikin malu keluarga saja. Orang-orang bisa ngomong macam-macam.”

Seeyana menutup mata sejenak. “Yang saya butuhkan sekarang bukan omongan orang, Bu. Tapi dihargai.”

“Kamu kurang ajar,” suara Suryani meninggi. “Ravent itu sabar menghadapi kamu.”

Seeyana membuka mata. “Bu, saya tidak pergi untuk mencari masalah. Saya pergi supaya masalahnya tidak makin besar.”

“Kalau kamu tidak pulang hari ini, jangan salahkan ibu kalau ibu turun tangan,” ancam Suryani.

Seeyana menelan ludah. “Saya pulang kalau saya siap bicara dengan kepala dingin.”

Ia menutup telepon sebelum Suryani menjawab.

Tangannya gemetar, tapi hatinya justru terasa lebih kokoh dari kemarin.

***

Sore hari, Seeyana keluar sebentar ke minimarket. Udara dingin, langit mendung. Saat ia melangkah keluar, sebuah mobil berhenti pelan di pinggir jalan.

Victor membuka kaca jendela. “Mau ke mana?”

“Minimarket,” jawab Seeyana.

“Sekalian,” kata Victor. “Aku lewat.”

Di dalam mobil, mereka tak banyak bicara. Hening terasa nyaman, tidak menekan.

“Ravent nelpon terus?” tanya Victor akhirnya, hati-hati.

Seeyana mengangguk. “Dan ibunya.”

Victor menghela napas pelan. “Kamu berhak ambil jarak.”

Seeyana menatap jalan di depan. “Aku baru sadar, selama ini aku hidup dari kata ‘harus’. Harus sabar. Harus ngerti. Harus ngalah.”

Victor meliriknya sekilas. “Sekarang?”

“Sekarang aku pengin hidup dari kata ‘cukup’,” jawab Seeyana.

Victor tersenyum kecil, tidak menanggapi berlebihan.

Malamnya, Seeyana kembali ke apartemen Alya. Ponselnya sunyi beberapa jam, lalu sebuah pesan masuk.

Dari Ravent.

Kalau kamu nggak pulang, jangan salahkan aku kalau ibu marah besar.

Seeyana membaca pesan itu berulang kali. Ancaman terselubung. Ia mengetik balasan, kali ini lebih tegas dari sebelumnya.

Aku akan pulang untuk bicara. Bukan untuk disalahkan. Kalau itu tidak bisa, aku memilih pergi lebih lama.

Ia menekan kirim.

Beberapa menit berlalu. Tidak ada balasan.

Seeyana meletakkan ponsel dan berdiri di depan jendela. Lampu kota berpendar di kejauhan. Dadanya berdebar, tapi ia tidak lagi merasa kecil.

Ia tahu, keputusannya akan memicu sesuatu yang lebih besar. Tapi untuk pertama kalinya, ia siap menghadapi akibatnya.

Karena kali ini, ia tidak melawan dengan teriakan melainkan dengan batas yang jelas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 7 : Kendali Mulai Lepas

    Seeyana duduk di tepi ranjang kamar tamu rumah sahabatnya, Alya. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Lampu kamar redup, tapi matanya enggan terpejam. Pikirannya berisik, dipenuhi potongan kejadian yang belum sempat ia cerna sepenuhnya.Ponselnya bergetar.Nama Ravent muncul di layar.Ia menatapnya lama, lalu meletakkan ponsel kembali ke meja tanpa menjawab.Beberapa menit kemudian, layar kembali menyala.Kamu di mana?Seeyana menarik napas panjang. Ia tidak ingin lari, tapi juga tidak ingin kembali ke percakapan yang berujung menyalahkan. Ia mengetik pelan.Aku aman. Aku cuma butuh waktu.Balasan datang hampir seketika.Kamu lebay. Pulang. Kita bicarakan baik-baik.Ia tersenyum getir. Baik-baik versi Ravent selalu berarti ia yang harus mengalah.Seeyana mengunci ponsel.***Pagi harinya, Alya menyeduh teh hangat di dapur kecil apartemennya. Seeyana duduk di kursi, memeluk cangkir dengan kedua tangan.“Kamu kelihatan capek,” kata Alya lembut.Seeyana mengangguk. “Aku nggak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 6 : Kebenaran Manipulasi

    Ravent berdiri kaku di ambang pintu, seolah rumah itu tiba-tiba bukan lagi miliknya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Seeyana menatapnya tanpa emosi yang meledak-ledak—justru ketenangan itulah yang membuat Ravent gelisah.“Kamu dari mana?” tanya Seeyana, suaranya datar.Ravent meletakkan tasnya. “Kerja.”“Di kafe Jalan Melati?” lanjut Seeyana, tanpa menaikkan nada.Ravent menghela napas keras. “Aku sudah bilang, itu teman kantor.”“Teman kantor yang kamu pegang tangannya,” balas Seeyana pelan. “Aku lihat sendiri.”Hening jatuh. Ravent mengalihkan pandangan, lalu tertawa pendek. “Kamu dramatis. Pegang tangan sebentar doang itu apa? Kamu lebay.”Kata itu lagi.Seeyana mengangguk kecil. “Baik. Anggap aku lebay. Tapi kenapa kamu bohong?”“Aku nggak bohong,” Ravent membalas cepat. “Aku cuma nggak mau ribut.”“Kamu bohong karena kamu tahu itu salah,” Seeyana menatapnya lurus. “Dan kamu pilih menutupinya.”Ravent melangkah mendekat, nadanya meninggi. “Yan, jangan bikin cerita sendiri. Ak

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 5 : Malam Itu, Semua Jelas

    Seeyana terbangun dengan tubuh terasa berat, seolah semalaman ia memikul beban yang tak terlihat. Tempat di sebelahnya kosong. Seprai sudah dingin, rapi, seakan tak pernah disentuh. Ia duduk perlahan, menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Tidak ada suara. Tidak ada aroma kopi. Tidak ada sapaan pagi.Di meja rias, secarik kertas kembali menunggu.Aku berangkat lebih dulu. Banyak kerjaan.Tulisan Ravent selalu sama—ringkas, tanpa emosi. Seeyana meremas kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri, berjalan ke dapur, dan menyalakan kompor dengan gerakan mekanis. Minyak mendesis, telur dipecahkan, tapi pikirannya melayang ke mana-mana.Pertengkaran semalam belum benar-benar selesai. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada penjelasan. Hanya keheningan yang dibiarkan mengendap, seperti debu yang tak pernah dibersihkan.Ia makan sendiri. Lagi.Di seberang meja, kursi Ravent kosong, tapi bayangannya terasa memenuhi ruangan. Setiap kata yang ia ucapkan semalam kembali terngiang leb

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 4 : Retakan Pertama

    Seeyana terbangun oleh suara pintu yang dibuka tergesa. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul satu dini hari. Ia menatap langit-langit kamar, lalu duduk perlahan. Langkah kaki Ravent terdengar berat di ruang tamu, disusul bunyi tas yang diletakkan sembarangan.Ia keluar kamar. Lampu ruang tengah masih redup.Ravent berdiri membelakangi, membuka kancing kemejanya dengan gerakan kasar. Wajahnya tampak lelah, rambutnya sedikit basah oleh hujan.“Kamu baru pulang?” tanya Seeyana pelan, meski jawabannya sudah jelas.“Iya.”“Aku masakin sup. Masih ada kalau kamu mau.”Ravent tidak langsung menjawab. Ia menaruh ponsel di meja, layar sempat menyala sebelum ia membaliknya. Nama yang muncul hanya sekilas, tapi cukup membuat dada Seeyana mengencang—bukan nama yang ia kenal.“Aku capek, Yan,” katanya akhirnya. “Besok aja.”Seeyana menelan ludah. “Kamu selalu bilang besok.”Ravent menoleh. Tatapannya dingin. “Terus aku harus gimana? Kamu mau aku langsung manis tiap kali pulang?”“Aku cuma mau ka

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 3 : Pundak yang Terbebani

    Ketukan di pintu terdengar keras, memecah kesunyian siang itu. Seeyana yang sedang menjemur pakaian terhenti, lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Begitu pintu dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat dadanya langsung menegang.Suryani.Ibu Ravent berdiri dengan tas besar di tangan dan tatapan tajam yang langsung menyapu seisi rumah, seolah mencari kesalahan bahkan sebelum melangkah masuk.“Kamu di rumah aja?” tanyanya tanpa basa-basi.“Iya, Bu,” jawab Seeyana pelan. “Silakan masuk.”Suryani melangkah masuk tanpa menunggu dipersilakan, sepatunya diletakkan asal di dekat pintu. Ia menaruh tas di meja, lalu menepuk-nepuk debu imajiner di sofa.“Rumah kok kayak gini?” gumamnya. “Kipas berisik, lantai kusam. Kamu ini nggak pernah bersihin, ya?”Seeyana menunduk. “Baru tadi pagi saya pel—”“Alasan,” potong Suryani cepat. “Perempuan itu kerjanya ngurus rumah. Masa beginian aja masih kelihatan kotor.”Setiap kata jatuh tepat di tempat yang paling lemah. Seeyana menggenggam ujung bajun

  • Rahasia Istri Yang Disakiti   Bab 2 : Nafas yang Berat

    Pagi itu, Seeyana bangun dengan kepala berat. Matanya perih, seolah semalaman tidak benar-benar terpejam. Bayangan dua sosok di bawah payung masih melekat, datang dan pergi seperti luka yang sengaja diusik. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya—dingin. Ravent sudah pergi.Di meja makan, seperti kebiasaan yang mulai terasa pahit, ada secarik kertas kecil.Aku berangkat lebih pagi. Rapat.Tidak ada tanda tangan. Tidak ada tambahan kata. Hanya kalimat pendek yang terasa lebih seperti pemberitahuan daripada perhatian.Seeyana melipat kertas itu pelan, lalu meletakkannya kembali. Ia berdiri lama di dapur, menatap rak yang makin jarang terisi. Beras tinggal setengah, minyak goreng hampir habis, dan telur tersisa tiga butir. Ia menarik napas, lalu mengambil buku catatan kecil. Daftar belanja hari ini kembali ia coret—lagi.Ia membuat sarapan seadanya. Nasi putih, telur ceplok, dan sambal sisa semalam. Kursi di seberangnya kosong. Lagi.Saat ia duduk, ponselnya bergetar. Bukan dari Ravent. Gru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status