Arsyila menggeliat dalam tidurnya. Sudah lima malam Arsyila tidak menggunakan kasur di kamarnya. Gadis itu memilih tidur bersama Syakila di kamar sang kakak. Awalnya Syakila menolaknya, tapi karena Arsyila yang memaksa akhirnya mereka memutuskan tidur sambil berdesakan di atas kasur sempit Syakila. Begitu pula malam ini, Arsyila tidur sambil mendekap erat Syakila karena ini adalah malam terakhir sebelum Arsyila berpisah dengan sang kakak.
Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Arsyila tak pernah terbangun di tengah malam selama tertidur di kamar Syakila. Namun malam ini sesuatu mengusik tidurnya. Samar-samar Arsyila mendengar suara isakan. Awalnya Arsyila mengabaikannya, namun lama-lama suara isak tangis itu semakin terdengar jelas.Mata coklat Arsyila terbuka. Menoleh, menatap rambut hitam Syakila yang sedang tidur memunggunginya. Meski dalam gelap Arsyila masih bisa melihatnya. Suara isak tangis itu kembali terdengar, bersamaan dengan punggung Syakila yang mulai terguncang. Syakila menangis?!“Kakak?”panggil Arsyila pelan membuat suara isakkan Syakila berhenti seketika. Gadis berambut hitam itu terlihat tengah menghapus air matanya saat Arsyila menghidupkan lampu kamar.“Kakak, kenapa kau menangis?”tanya Arsyila panik sambil menghapus air mata sang kakak. Sangat jarang melihat sang kakak menangis, karena itulah Arsyila merasa sangat cemas.“Tidak apa-apa. A-aku hanya, hanya … merasa sedih karena besok harus berpisah dengan semuanya,” jawab Syakila tampak kesulitan bicara. Air mata kembali meleleh dari mata ambernya.“Dasar, padahal kupikir hanya aku yang akan menangis saat kita berpisah. Ternyata kau lebih cengeng,” ejek Arsyila membuahkan senyum di bibir Syakila.“Kakak, besok adalah hari pernikahanmu. Kau harusnya merasa bahagia, bukan menangis seperti ini. Jangan sampai besok mata pengantin wanita bengkak di hari pernikahan. Jadi, tersenyumlah!” Arsyila menarik kedua pipi Syakila hingga kedua sudut bibir sang kakak melekungkan senyum.“Besok adalah hari terakhir kita bersama, bagaimana aku tidak merasa sedih?”“Siapa bilang besok hari terakhir kita bersama? Kakak, kita akan terus bersama-sama!” Arsyila menggenggam kedua tangan Syakila sambil tersenyum lebar. Melihat keyakinan di wajah Arsyila membuat Syakila merasa heran.“Kau akan pergi dan tinggal di Oswald bersama kakak ipar. Lalu aku, aku akan mendaftar di universitas yang ada di Oswald juga. Jadi, kita bisa sering-sering bertemu di sana!”ucap Arsyila dengan semangat. Arsyila kira Syakila akan sesenang dirinya, namun raut wajah yang ditunjukkan Syakila justru sebaliknya.“Kakak tidak senang?” tanya Arsyila membuat Syakila berusaha melekungkan bibirnya. “Bukan begitu,” jawabnya.“Syila, bagaimana jika kita tidak bisa bertemu sama sekali?” tanya Syakila tiba-tiba.“Jika kau tidak bisa menemuiku, maka aku akan mencari cara untuk menemuimu!”jawab Arsila enteng membuat Syakila sesaat tercenung. Arsyila tersenyum lebar, senyum yang membuat Syakila tertular.“Baiklah. Tapi jika kau tidak bisa menemukan cara apapun ….” Arsyila terkejut saat jari kelingkingnya di tautkan dengan kelingking Syakila. “… Kau akan hidup dengan bahagia. Baik dengan atau tanpa aku. Itu adalah janji!” tegas Syakila mengangkat jari kelingking mereka yang sudah tertaut.“Kau juga harus bahagia,” jawab Arsyila menggoyangkan jari kelingking mereka. Arsyila merasa Syakila terlalu emosional malam ini. Seperti bukan Syakila yang biasanya. Tapi Arsyila bisa memakluminya. Banyak wanita yang merasa stress menjelang pernikahannya. Mungkin Syakila berada di titik itu sekarang.“Syila, kakak sangat meyayangimu,” bisik Syakila membenamkan wajahnya ke bahu Arsyila sambil memeluk adik semata wayangnya. Melihat sikap manja yang jarang ditunjukkan oleh Syakila membuat Arsyila tersenyum. Gadis itu membalas pelukan sang kakak.“Aku juga sangat meyayangi kakak. Aku juga yakin kakak ipar juga sangat meyayangimu, sama sepertiku. Karena itulah jangan khawatir,” ucap Arsyila dengan mantap.“Bagaimana kau bisa yakin?” Syakila melepaskan pelukannya, sedikit menjauhkan wajahnya agar bisa memandang Arsyila.“Tentu saja, lihat! Semua bunga itu, bukankah semua itu dari kakak ipar? Itu membuktikan seberapa banyak dia mencintaimu!” Arsyila menunjuk jejeran buket bunga mawar merah yang disusun Syakila di atas lemarinya. Total ada lima buket bunga yang ada di sana, sebagian daun dan bunganya tampak mengering dan berguguran.“Dia benar-benar mencintaimu,” ulang Arsyila tersenyum dengan wajah yang bersemu. Arsyila ingat saat dia menemukan buket bunga itu di pagi hari di hari tertentu di depan rumahnya.“Syila, bukankah aku sudah pernah bilang untuk tidak langsung menilai sesuatu hanya dari luarnya saja?” Senyum Arsyila memudar, dahi gadis itu mulai berkerut mendengar perkataan kakaknya.“Kau selalu bilang begitu. Apa kau tidak percaya pada cinta kakak ipar?”“Tidak,” jawab Syakila cepat membuat Arsyila terperangah. “Ayo cepat kembali tidur! Tidak boleh ada mata panda di mata pengantin wanita besok,” lanjut Syakila segera kembali berbaring dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Arsyila yang masih merasa tidak terima dengan jawaban Syakila berusaha mengajak Syakila berbicara.“Bagaimana bisa begitu? Kakak ipar tampan, dia juga sangat perhatian seperti itu. Tidakkah hatimu berdebar?”celoteh Arsyila segera terhenti saat Syakila menariknya hingga jatuh ke atas kasur dan langsung membungkam mulut Arsyila dengan telapak tangannya.“Tidur!”perintah Syakila memeluk erat Arsyila. Akhirnya Arsyila menutup mulutnya. Bibir gadis itu merekahkan senyum. Mata coklatnya dipejamkan setelah mencium pipi Syakila. Mereka tidur sambil saling berpelukan erat. Malam yang begitu tenang, tanpa Arsyila tau itu hanya ketenangan sesaat sebelum badai besar tiba.***Keringat dingin terus keluar membasahi kening Arsyila. Bibir gadis itu bergetar bersamaan dengan keluarnya igauan rancu yang tidak jelas. Kedua matanya masih terpejam, namun Arsyila terus saja melihat sesuatu yang mengerikan. Darah, Arsyila melihat darah dalam mimpinya. Darah yang sangat banyak, mengelilinginya seperti hendak menenggelamkannya. Napas Arsyila semakin terasa sesak, saat Arsyila berpikir dirinya akan sekarat, seseorang mengguncang tubuhnya hingga Arsyila benar-benar membuka kedua matanya.Sepasang mata coklat Arsyila terbuka lebar. Napasnya terengah-engah, Arsyila merasa seperti baru saja berlari berkilo-kilo jauhnya. Sangat lelah. Begitu mata Arsyila terbuka, hal pertama yang dilihat Arsyila adalah sosok bibi Megy yang terus memanggil namanya. Kepanikan tampak jelas di wajah sang bibi. Arsyila mengedarkan pandangannya. Dahinya berkerut saat melihat banyak orang yang mengerumuninya. Sebenarnya apa yang terjadi padanya?Arsyila kembali menutup kedua matanya, mengabaikan suara sang bibi dan orang-orang di sekitarnya yang terus bertanya tentang keadaannya. Kepalanya terasa pusing. Arsyila ingat sebelumnya dia disuruh ibunya untuk membantu kakaknya bersiap. Namun sampai di kamar kakaknya …..Sekali lagi kedua mata coklat Arsyila terbuka lebar. Perutnya mendadak bergejolak saat Arsyila mengingat dengan jelas bagaimana dia bisa kehilangan kesadaran. Dengan terburu Arsyila turun dari ranjangnya, membuat orang-orang yang mengerumuninya bertambah panik. Dengan sedikit sempoyongan Arsyila berlari hendak ke kamar mandi. Langkahnya jadi terasa semakin sulit. Entah apa hanya perasaannya saja, Arsyila merasa gaunnya terasa lebih berat dari yang dia ingat.Langkah Arsyila terhenti saat dirinya melewati sebuah cermin besar di kamarnya. Sepertinya dia baru saja melihat sang kakak. Arsyila mundur dua langkah, berhenti tepat di depan cermin. Untuk terakhir kalinya, mata coklat melebar, menatap bayangan di cermin itu dengan tidak percaya.Di cermin itu Arsyila melihat gaun pengantin yang sengaja dia desain untuk pernikahan Syakila. Gaun itu melekat dengan pas di tubuhnya.***Arsyila membatu. Mata coklatnya tak lepas dari cermin yang memantulkan bayangannya menggunakan gaun pengantin. Seharusnya Syakila yang dia lihat di dalam cermin itu sekarang. Tapi kenapa? Tubuh Arsyila hampir ambruk saat merasakan kakinya yang mendadak lemas. Beruntung bibi Megy bergerak lebih cepat menopang tubuh Arsyila.“Sudah kubilang jangan bergerak dulu!”tegur bibi Megy menggotong tubuh lemas Arsyila dibantu para perias pengantin yang mendandani Arsyila. Mereka membawa Arsyila kembali ke atas ranjangnya. Sesaat Arsyila terlihat linglung. Gadis itu menggeleng saat bibinya menyodorinya minum. Mata Arsyila yang di penuhi kebingungan menatap sekelilingnya dengan panik.“Di-dimana Kak Kila?”tanya Arsyila pada sang bibi dengan suara bergetar. Bibi Megy tampak terdiam, ekspresi wajahnya berubah jadi tegang. Arsyila mengguncang tubuh sang bibi sambil terus bertanya, namun bibi Megy sama sekali tak menjawab. Air mata yang turun dari sepasang mata wanita itu seolah menjawab
Sebagian besar wanita akan menganggap hari pernikahan mereka adalah salah satu hari paling bersejarah dalam hidupnya. Dimana itu mungkin hanya akan terjadi sekali dalam hidup mereka.Ya, tentu saja! Itulah kenapa semua wanita ingin menjadi wanita yang paling cantik di hari pernikahannya. Sudah seharusnya begitu. Sayangnya itu tidak akan berlaku untuk Arsyila. Karena Arsyila tidak pernah mengira bahwa hari ini dirinya akan menjadi pengantin wanita, menggantikan sang kakak. Penampilan pengantin wanita sungguh jauh dari kata sempurna. Rambut coklat Arsyila dibiarkan terurai bebas. Mereka bahkan masih terlihat kusut meski Arsyila memakai veil di kepalanya. Para perias tidak memiliki waktu yang cukup untuk menata rambut Arsyila. Riasan di wajah Arsyila juga tidak sempurna. Sebagian riasannya terhapus karena air mata Arsyila. Jika bercermin sekarang, Arsyila pasti akan mengasihani dirinya. Dirinya terlihat menyedihkan meski memakai gaun pengantin yang mewah. Arsyila bel
Dingin. Itulah yang dirasakan Arsyila saat menyentuh kulit pucat Syakila dan mencium kening sang kakak untuk terakhir kali. Dimata Arsyila saat ini Syakila seperti seperti seorang putri tidur dalam dongeng. Syakila tampak cantik dalam balutan gaun warna putih dengan senyum yang menghias wajahnya. Dia seperti sedang menunggu pangeran menciumnya dan membebaskanya dari kutukan. Tunggu sebentar! Jika ini sama seperti cerita dongeng, mungkinkah mata amber Syakila akan kembali terbuka?“Bisakah Anda mencium kakakku?”tanya Arsyila pada Reyga yang masih setia berdiri di samping peti sang kakak. Hanya pria itu satu-satunya orang yang ada bersamanya sekarang. Meskipun tanpa menoleh ke arah Reyga, Arsyila yakin pria itu mendengar permintaannya. Tapi pria itu hanya diam saja. Arsyila tertawa pelan, mentertawakan kebodohannya. Sepertinya dirinya sudah tidak waras dengan menyuruh orang lain mencium seorang mayat. Sebuah tangan terulur di depan wajah Arsyila, membantu Arsyila b
Tangan Arsyila yang menggenggam bunga lily putih terlepas, bersamaan dengan suara pintu kamar yang diketuk dari luar. Gadis itu terkesiap, secara reflek berbalik menatap sumber ketukan yang mengejutkannya.“Syila, keluarlah untuk makan!”suara cemas nyonya Derin dari balik pintu terdengar. Arsyila menghela napasnya. Gadis itu segera duduk di atas ranjang Syakila saat nyonya Derin membuka pintu kamar.“Aku akan turun nanti, aku ingin sendiri sekarang,” jawab Arsyila dingin tanpa menoleh ke arah nyonya Derin. Nyonya Derin menghela napasnya, menatap Arsyila sedih. Biasanya wanita paruh baya itu akan mengomeli Arsyila, tapi mungkin mulai hari ini wanita itu tidak akan melakukannya. Tanpa mengatakan apa-apa nyonya Derin kembali menutup pintu kamar, meninggalkan Arsyila sendirian.“Tidak mungkin,” gumam Arsila mirip sebuah bisikan. Tangannya menggenggam erat seprai yang didudukinya. Mata coklat Arsyila menatap horor bunga lily yang tergeletak di bawah kakinya. Ar
Lampu kamar menyala, sosok nyonya Derin tampak berdiri di depan pintu setelah pintu kamar Syakila benar-benar terbuka. Arsyila menutup kedua matanya rapat, berusaha mungkin menenangkan jantungnya yang berdetak cepat.“Tidak ada apa-apa. Biarkan dia istirahat. Kau pasti salah dengar.” Suara tuan Derin terdengar menenangkan nyonya Derin yang gelisah.“Aku mendengar suara benda jatuh tadi,” ucap nyonya Derin hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Namun tuan Derin mencekal tangan istrinya. “Sudah malam, kita juga harus istirahat.”Nyonya Derin kembali melangkah mundur. Menurut saat tuan Derin menariknya keluar kamar. Tak lama lampu kamar kembali dimatikan, suara pintu kamar yang ditutup terdengar.Arsyila menghembuskan napasnya, sepasang matanya telah terbuka. Tadi saat melihat gagang pintu yang bergerak, Arsyila dengan cepat melompat ke ranjang. Menutupi tubuhnya dengan selimut dan kembali berpura-pura terlelap. Beruntung waktunya pas.
Ekspresi aneh yang ditunjukan kasir pria itu membuat Arsyila merasa bingung. Adakah yang salah dengan pertanyaannya? Dalam hati Arsyila bertanya-tanya. Setelah beberapa detik pria itu tersenyum, kembali memasang wajah ramahnya.“Maaf nona, sebenarnya itu bukan permen,” jawab pegawai pria itu tampak enggan. “Sudah kuduga, ini bukan permen. Lalu makanan macam apa ini?” tanya Arsyila kembali sambil membolak-balik kotak merah mungil di tangannya.“Itu … juga bukan makanan,” jawab pegawai pria itu terlihat salah tingkah. Mendengar jawaban pegawai pria, Arsyila tampak terkejut.“Lalu apa ini?” tanya Arsyila kembali mengangkat kotak merah di tangannya, mengangkatnya lebih tinggi. Lagi-lagi ekspresi aneh ditunjukkan oleh si pegawai pria. Beberapa kali bibir pria itu terbuka tertutup, terlihat sulit menjelaskan. Melihat rekannya mengalami kesulitan, seorang pegawai wanita datang. “Ada yang bisa dibantu, nona?”tanya pegawai wanita itu ramah pada
Dahi Arsyila berkerut merasakan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Rasanya seperti tubuhnya jatuh lalu berguling-guling hingga menyebabkan tulangnya rontok semua. Benar, kini Arsyila ingat dirinya baru saja jatuh karena sebuah batu besar, di sebuah gang menyeramkan, di tengah-tengah hujan lebat. Seketika Arsyila membuka kedua matanya. Bola matanya berputar, menatap sekitar dengan tatapan ketakutan. Apa dia telah mati dengan mengenaskan menyusul sang kakak? Langit-langit putih dan cahaya lampu yang menyilaukan jadi yang pertama menyambut Arsyila. Ini bukan surga, Arsyila tau itu. Dimana dirinya sekarang? Arsyila berusaha bangun,namun seorang wanita muda berseragam biru tua tiba-tiba muncul dan menghentikannya.“Oh, Anda sudah bangun! Berbaringlah sebentar!” Arsyila menurut saat wanita berseragam itu membantu membaringkan kembali tubuhnya. Dari penampilannya, wanita itu mirip dengan seorang perawat. Tunggu, perawat?Arsyila kembali menatap sekelilingnya. Saat
“Terimakasih,” ucap Arsyila menerima sebungkus roti gandum dari pria yang baru saja Arsyila robek kemejanya. Sepertinya Arsyila memiliki bakat alami untuk mempermalukan diri. Setelah merobek kemeja seorang pria, perutnya dengan tak tau malu meraung meminta jatah makan. Karena itulah sekarang dirinya berakhir di sini, di teras sebuah toko roti yang letaknya tepat di sebelah klinik tempat pria itu membawa Arsyila.Hujan sudah berhenti ketika Arsyila keluar. Matahari tidak terlihat, dan langit masih terlihat suram. Arsyila memperbaiki posisi duduknya dengan tidak nyaman, kemudian melirik pria itu diam-diam. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Merasa malu sekaligus penasaran. Arsyila belum tau siapa sebenarnya pria yang duduk di sebelahnya, namun Arsyila sudah banyak sekali mempermalukan dirinya dan membuat pria itu kerepotan. Sungguh, Arsyila ingin menghanyutkan wajahnya sekarang. Sadar akan tatapan Arsyila, pria itu menoleh, membuat Arsyila cepat-cepat mengalihkan ta