Share

Bab 06

Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa.

"Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka.

Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon.

Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu.

Di tengah lamunannya terdengar suara azan berkumandang dari luar. "Daripada memikirkan itu lebih baik aku sholat." Gita kontan memutus pandangannya dari Reynald.

Dia segera beranjak dari ranjang lalu berjalan memasuki kamar mandi. Bahkan, seisi kamar mandi ini pun ditata dengan baik. Terlihat dari lilin aromaterapi yang diletakkan di sekeliling batt-up.

Tanpa perlu berlama-lama Gita langsung memasuki bat-up tersebut. Gaun tidur satin berwarna nude yang tadi dia kenakan telah lepas dari tubuhnya. Water heater yang terletak tidak jauh dari batt-up sesegera mungkin dia nyalakan.

Tiga puluh menit berlalu gadis cantik tersebut telah bersih dan kelihatan segar. Tentu dengan rambut panjangnya yang basah sempurna.

Orang lain mungkin akan menyalahpahaminya karena keramas sepagi ini. Apalagi untuk seukuran pengantin baru sepertinya. Jangankan mandi junub, sang suami meliriknya saja tidak.

Sekali lagi Gita ditampar oleh kenyataan. Inikah takdir yang Tuhan tuliskan untuknya.

"Gak usah terlalu dipikirin, Git. Kamu cukup jadi istri dan menantu yang baik sekarang," ujar Gita menyemangati dirinya. Untuk bertahan dia hanya perlu bersabar sedikit lagi. Siapa tahu Reynald bisa luluh dan mulai menerima pernikahan ini.

Enggan sedih berlarut-larut Gita sudah mengenakan mukena yang sengaja dia sisipkan di koper sebelum pindah ke rumah sang mertua. Kewajibannya sebagai seorang muslim harus ditunaikan segera.

Jangan sampai dia melupakan sang pencipta padahal baru saja memasuki lembaran baru kehidupan. Bukankah dia harus banyak-banyak bersyukur karena memiliki keluarga baru sekarang?

Selama ini Gita begitu kesepian karena hidup sebatang kara. Hanya Kamilla, sahabatnyalah yang dia punya dan gadis itu sedang menikmati profesinya sebagai asisten dokter kandungan di salah satu rumah sakit di Amsterdam.

Takbir pertama mengawali ibadah khusuk perempuan berdarah Jawa tersebut. Di saat sujud terakhir banyak doa-doa baik yang dia lantunkan. Pun setelah selesai melaksanakan ibadah sholat Gita pelan-pelan membuka Al-Qur'an dan mulai membacanya.

Namun, di sela-sela membaca Al-qur'an suara ketukan dari luar membuatnya mempercepat bacaan yang sedikit lagi dia selesaikan.

"Git, kalian udah pada bangun?" Teriakan Rania terdengar dari luar. Tahu sang mertua ada di depan pintu kamar, Gita bergegas bangkit lalu membuka pakaian sholat yang baru saja dia gunakan.

Tanpa gadis itu sadari Reynald sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Bahkan, sejak Gita mulai membaca Al-qur'an-lah, anak laki-laki Rania tersebut terbangun dari tidur. Mungkin sedikit terusik mendengar sang istri melafalkan ayat suci al-qur'an, sementara perempuan yang mengenakan pakaian santai itu sama sekali tidak sadar sedang dipandangi.

Fokus Gita kini tertuju pada Rania. Terlebih setelah pintu kamar pasutri baru tersebut telah terbuka lebar. Menampilkan sosok sang mama yang nampak sudah segar pagi ini.

"Git, ikut Mama sebentar ke bawah yuk. Nanti kita sarapan sekalian bangunin Rey."

Itulah yang Rey dengar sebelum Mama dan istrinya melenggang pergi, meninggalkan kamar yang sedang dia tempati.

****

Rey tidak tahu apa yang sebenarnya dua perempuan ini bicarakan sejak tadi. Binar di wajah sang mama tertangkap jelas di sudut matanya. Suasana ruang makan yang biasanya sunyi dengan sesekali terdengar bunyi sendok yang berdenting.

Setengah jam berlalu dari kemunculan ibunya di pintu kamar kini ketiganya duduk satu meja menikmati sarapan pagi.

"Mama harap kamu gak keberatan nerima hadiah itu. Anggap aja mahar dari Reynald." Gita yang sedang mengangkat sendoknya lantas melirik Rania. Begitu pula dengan Reynald yang namanya disebut-sebut kali ini.

Gita hanya bisa mengangguk mengiyakan perkataan mertuanya. Entah berapa banyak lagi mahar bernilai puluhan juta yang harus dia terima padahal dia tahu sang suami benar-benar tidak menginginkan pernikahan ini.

Gerak matanya langsung tertuju ke arah Reynald. Pria itu mengangkat sedikit alisnya, keheranan dengan percakapan barusan meski raut datar masih bertakhta di wajahnya.

"Kamu gak perlu terlalu sungkan Git. Kamu anak mama juga sekarang," sambung Rania atas penolakan yang sempat menantunya itu lakukan. "Kalau mau kamu sewakan rumahnya juga gak papa. Daripada kosong gak keurus kan."

Mendengar ucapan Rania sekarang Rey pun mengerti apa yang dua perempuan berbeda generasi ini bicarakan. Rasa penasarannya terjawab begitu saja. Namun, dia tidak mau ambil pusing. Biarlah itu menjadi urusan sang mama. Dia acuh tak acuh dengan tetap tenang menikmati sarapan.

"Kalian lanjutin sarapannya. Mama mau keluar sebentar ada urusan." Wanita cantik berblouse hijau ini bangkit usai menyantap semua makanan yang ada di piringnya.

Gita yang juga sudah selesai mengangguk. Setelah ibu mertuanya benar-benar pergi dia mulai membereskan meja makan. Tentu dibantu Ria, sang asisten rumah tangga. Jangan tanya suaminya. Pria itu pergi meninggalkan meja makan karena mendapat telepon dari atasannya.

"Biar Ria aja, Non Gita," sela Ria saat melihat istri majikannya membereskan meja. Perempua tiga puluh lima tahun itu kontan menahan lengan Gita.

"Gak papa Mbak Ria. Biar saya aja yang nyuci piring. Mbak Ria bisa ke belakang buat nyuci baju."

Begitu cekatannya Gita mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Di saat hendak kembali ke meja makan, mengambil ponselnya yang tertinggal, sang suami tiba-tiba muncul. Tubuh mungil Gita tersentak melihat Reynald sudah ada di depannya.

"Sekarang saya paham kenapa kamu tetap kekeuh melanjutkan pernikahan ini padahal dua bulan lalu saya dengan tegas meminta kamu mundur. Dan alasan yang kamu sebutkan waktu itu sama sekali gak masuk akal. Demi Mama saya? Jelas-jelas kamu menginginkan hal lain."

Gita tentu terhenyak mendengar ucapan ngelantur yang tiba-tiba meluncur dari bibir Reynald. Apa maksud pria ini? Apa karena rumah pemberian Ranialah yang membuat suaminya itu berpikir demikian?

Hendak menimpali ucapan Reynald, bibir Gita kontan terkunci rapat melihat kehadiran Ibu mertuanya di tengah-tengah konfrontasi yang sedang putranya lakukan terhadap sang istri.

***

Holla, guys! Kalau kamu suka cerita jangan lupa like, komen dan share cerita ini ke teman kamu. Biar makin banyak yang baca kisah Gita dan Reynald.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status