"Seminggu kemudian entah kenapa hatiku seperti ingin sekali mengucap syahadat, ya sudah malam itu juga aku menemui imam di masjid itu dan mengatakan padanya kalau aku ingin bersyahadat.""Ustadz itu terlihat senang saat menuntunku membaca kalimat syahadat dan pada saat itu aku sudah sah menjadi seorang muslim."Aku tidak menyangka Kevin akan mendapatkan hidayah, dia masuk Islam murni karena keinginan hatinya bukan karena seorang perempuan ataupun hal lain."Menjadi mualaf benar-benar mengubah hidupku Rah, dan dengan melihat ke belakang aku tahu, aku sudah membuat keputusan yang benar, alhamdulillah.""Alhamdulillah, aku ikut bahagia. Lalu bagaimana reaksi Om Wisnu dan Nadia setelah tahu kamu sudah mualaf?" tanyaku."Kalau Nadia dia sangat terkejut, bahkan dia meminta aku untuk kembali pada agama semula, dia marah dan mengancam ingin memberitahukan hal ini pada Papa.""Namun, pada saat itu aku belum berani membicarakan hal ini pada Papa, karena aku tahu ia akan syok dan kesehatannya pa
Pukul sepuluh malam Kak Dimas dan Mbak Wati belum pulang, sementara Mbak Linda sudah tidur sejak tadi begitu pula dengan Adinda, aku benar-benar merasa kesepian.Traaakk!Traaakkk!Brugh!Tiba-tiba terdengar suara berisik, sepertinya suara itu berasal dari luar mirip seperti suara jendela atau pintu yang sedang dicongkel.Dadaku berdebar kencang, aku takut mereka adalah anak buah Fransisca yang berusaha masuk ke rumah ini untuk mengambil Adinda.Oh Tuhan, lindungilah kami.Tidak berselang lama lampu padam, aku mengunci pintu rapat-rapat lalu naik ke atas kasur, menggendong Adinda dan menimang-nimangnya.Prang!Prang!Pyaaar!Tiba-tiba jendela kamarku dipecahkan, lalu terdengar suara seseorang yang masuk ke dalam kamar ini. Dengan tangan bergetar aku meraba-raba sekitar mencari ponsel.Lalu tiba-tiba tepat di hadapanku ada sebuah senter menyala dan nampaklah wajah Fransisca yang sedang menyeringai, senter itu ia letakkan di bawah dagu sehingga cahayanya menyoroti wajahnya dari bawah.
Tembakan itu mengenai Mbak Linda, karena ia berusaha menghalangi tubuhku dan Adinda sehingga peluru itu melesat di dadanya."Astaga, Mbak Linda!""Aaaaargh!" teriak Fransisca sambil menghentakkan sebelah kakinya."Sial, kenapa kamu harus melindungi perempuan itu sih?!" "Sarah, cepat pergi dari sini!" teriak Mbak Linda sambil menggertakkan giginya.Aku benar-benar bingung, haruskah aku meninggalkannya dalam keadaan terluka? Tetapi kalau aku tidak pergi berarti nyawa Adinda yang dalam bahaya.Saat Fransisca lengah, aku langsung berlari sambil menggendong Adinda ke jalanan kompleks yang terlihat sepi ini. "Hei! Mau lari kemana kamu, hah?!" teriak Fransisca.Door!Peluru melesat tepat di samping pinggangku, untung saja aku mengelak jika tidak mungkin pinggangku yang akan tertembak."Awas saja jika sampai anakku terluka karenamu, Fransisca!" gumamku penuh amarah."Mbak Sarah!" teriak seorang wanita dari salah satu rumah.Aku menoleh, ternyata ia adalah anak Bu Fitri salah satu tetangga
Setelah membuatkan susu untuk Adinda aku dan sopir Kevin berangkat ke rumah sakit tempat Mbak Linda di rawat."Pak, tolong cek ke ruang IGD, kakak saya ada di sana atau tidak, atas nama Mbak Linda.""Baik, Bu."Aku tidak mungkin bisa masuk ke IGD karena membawa bayi, beberapa saat kemudian sopir Kevin kembali."Permisi Bu, di ruang IGD tidak ada, tapi saya sudah menghubungi Pak Kevin ternyata kakak ibu sudah dipindahkan ke ruang rawat yang ada di lantai dua, mari saya antar.""Oh baiklah."Di depan ruangan Mbak Linda dirawat ternyata sudah ada Kak Dimas, Mbak Wati dan Kevin, mereka menatapku yang datang menghampirinya."Seharusnya kamu di rumah saja Rah, kasihan Adinda," ucap Mbak Wati."Aku tidak tenang kalau di rumah Mbak, aku takut anak buah Fransisca datang dan membawa Adinda pergi.""Ya kamu benar, lebih baik kamu di sini dulu karena sudah pasti anak buah Fransisca tidak akan tinggal diam," sahut Kak Dimas.Setelah beberapa menit memeriksa akhirnya perawat memanggil pihak keluar
Aku baru tahu ternyata Mang Ujang bukan hanya sekedar pekerja melainkan saudara Sulis juga, lagi pula selama ini Rama tidak pernah cerita."Iya kami memang saudara jauh dan kami juga masih satu buyut, tetapi sayangnya Sulis tidak pernah mau mengganggap saya sebagai saudara.""Tapi apa alasannya?" tanyaku."Ya karena saya ini orang miskin, makanya dikasih pekerjaan saja saya sudah senang," ujar Mang Ujang."Lalu, kata dokter bagaimana keadaan luka Sulis?" tanyaku.Ia terlihat menghela nafas, lalu memandang Sulis dengan pasrah."Dokter sudah menyerah, berbagai macam obat-obatan yang terbaik sudah diberikan tetapi tetap saja luka bekas gigitan dan cakaran binatang buas itu tidak kunjung mengering, malah semakin lama semakin parah. Bahkan luka itu seolah-olah membuat tubuh Sulis membusuk," jawabnya."Itulah akibatnya kalau suka dzalim sama orang!" sahut Mbak Wati mencebik.Aku tidak bisa menghakimi ucapannya itu salah, karena yang Mbak Wati ucapkan itu memang benar adanya. "Kamu benar Ti
Setelah meminta nomor telepon Mang Ujang aku pun pamit untuk turun ke lantai bawah, selain tidak tahan dengan bau yang berasal dari luka Sulis, aku juga merasa ngeri melihat ia yang begitu kesakitan."Sarah, apa yang terjadi pada Sulis merupakan sebuah hukum karma, gara-gara dia motor Kakak hilang entah kemana, padahal motor itu Kakak beli cash kalau bisa kamu jangan maafkan dia supaya Sulis semakin tersiksa," ujar Kak Dimas ketika kami berada di dalam lift.Aku masih ingat ketika ia pertama kali membeli motor itu, ia terlihat bahagia karena bisa membeli sebuah motor dari hasil kerja kerasnya sendiri. Tapi dalam sekejap motor itu hancur dan masuk ke dalam jurang, entah dimana motor itu sekarang?"Sudahlah Kak, dia sudah sekarat, dia tidak akan bisa menyakiti siapapun lagi, jadi jangan menghakimi Sulis lagi ya, Kak! Siapa tahu saja dosanya itu bisa terampuni setelah ia berhasil melewati rasa sakit yang ia rasakan saat ini," jawabku.Aku tidak setuju saja Kak Dimas menghina orang lain
Mataku terpejam erat, tidak terasa air mataku luluh seketika, rasanya hatiku sakit sekali saat ini."Apa?! Mbak Linda meninggal?!" tanyaku lagi merasa tidak percaya lalu terisak.Malang betul nasib kakakku itu, sejak kecil hidupnya sudah menderita akibat perbuatan Sulis, dan sekarang setelah bebas dari jerat kejahatannya ia tidak bisa menikmati kebahagiaan walau pun sedikit."Iya Rah, dia sudah meninggal. Sekarang Dimas sedang mengurus administrasi dan menyiapkan ambulance untuk membawa jenazahnya pulang. Kamu jangan kemana-mana dulu ya! Kasihan Adinda, besok pagi saja kamu pulang ke rumahnya."Ya Tuhan, kenapa ia harus pergi secepat itu? Seharusnya ia bisa menikmati hidup yang bahagia sebelum ia pergi meninggalkan kami semua."Kira-kira jenazah Mbak Linda tiba di rumah jam berapa, Mbak?""Entahlah nanti Mbak kabari lagi, oh iya kamu punya nomor ponsel para tetangga dekat rumah tidak? Mbak ingin mengabarkan kematian Linda pada RT setempat.""Kak Dimas punya tuh nomor ponsel Pak RT, Mb
Aku memang bukan orang yang suci, aku juga memiliki banyak dosa karena sudah pernah melenyapkan banyak nyawa anak buah Sulis. Namun, itu merupakan suatu bentuk pembelaan diri, semoga saja Tuhan masih bisa mengampuni dosa-dosaku.Malam ini aku membuka akun sosial media Fransisca, teman-temannya ramai mengucapkan bela sungkawa. Ada juga yang mendoakan sambil mengunggah videonya yang tertidur di dalam peti, hanya saja bagian wajahnya disamarkan entah kenapa? Mungkin karena wajah Fransisca hancur akibat kecelakaan itu.Keesokan paginya pintu rumahku diketuk oleh seseorang, dan ternyata Amanda yang datang, ia tersenyum sambil mengulurkan tangan."Mbak, apa kabar?" tanya wanita itu."Aku baik, ayo masuk."Amanda pun masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu."Ini minum dulu! Maaf ya cuma ada teh manis, karena kita masih dalam keadaan berduka jadi kami belum sempat membeli stok bahan makanan," ucapku sambil menaruh segelas teh hangat."Memangnya siapa yang meninggal, Mbak?" tanya Ama