Mataku menyipit karena cahaya senter itu cukup menyilaukan mata, di depan sana terlihat ada dua orang laki-laki yang menghadang langkah kami. "Nona, bagaimana ini? Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Mbak Wati yang tampak ketakutan.Aku hanya diam, berpikir bagaimana caranya aku bisa melawan kedua orang itu. "Mbak, pindahkan tasmu ke depan jika mereka sudah dekat lemparkan pada mereka benda yang kita siapkan tadi," bisikku pada Mbak Wati.Kedua lelaki itu semakin mendekat, ternyata salah satu diantara mereka ada yang membawa senapan panjang, sepertinya mereka pengawal Ibu yang sedang berjaga di desa ini."Nona, aku sudah curiga denganmu sejak beberapa hari yang lalu dan ternyata kecurigaanku itu benar. Mau pergi kemana kalian tengah malam seperti ini?" tanya salah seorang pengawal Ibu."Apa Nona sudah mengetahui tentang rahasia Nyonya Sulis sehingga Nona berusaha melarikan diri saat ini?" tanya lelaki disebelahnya sambil menodongkan senapan ke arah kepalaku."Kamu juga Wati,
"Nona, bagaimana jika kita dorong mayat mereka ke jurang sana, di bawah sana itu hutan belantara pasti di sana banyak binatang buas yang siap memangsa mayat mereka," ujar Mbak Wati.Aku menoleh ke samping kanan, benar saja ternyata lima meter dari kami berdiri ada sebuah jurang yang cukup dalam."Baiklah, ayo kita seret mayat dua orang itu lalu kita lemparkan ke bawah sana, tapi pakai ini."Aku memberikan sepasang sarung tangan pada Mbak Wati, untung saja sebelum pergi tadi aku sempat mengambil beberapa sarung tangan plastik di dapur.Dalam kegelapan kami pun menyeret ke dua mayat itu dengan sekuat tenaga mendekati tepi jurang. "Ayo kita lempar ke bawah sana, Mbak."Aku menghirup nafas dalam, sebenarnya ada rasa bersalah di dalam lubuk hati ini. Aku sudah banyak membunuh beberapa pengawal Ibu. Tetapi aku terpaksa, karena jika mereka tidak ku bunuh, merekalah yang akan membunuhku.Mayat ke dua orang itu sudah kami lemparkan ke bawah sana, tapi saat menyorotkan senter ke bawah tubuh me
Seharusnya saat ini kami sedang mengistirahatkan badan, tetapi kami malah harus dikejutkan dengan kedatangan segerombolan lelaki, yang entah mereka siapa."Ayo kita dobrak pintunya! Dia pasti ada di dalam!" Terdengar suara lelaki di depan pintu rumah ini."Non, mereka siapa? Katanya rumah ini aman," Mbak Wati memegang tanganku dengan erat."Ayo kalian ikut Kakak!"Kami berlari mengikuti Kak Dimas menuju ke arah dapur, dengan gerak cepat ia mengambil tangga lalu meletakkannya tepat di bawah plafon yang berlubang."Cepat naik ke atas!" titah Kak Dimas.Dengan tubuh bergetar aku melangkah menaiki tangga lalu duduk di atas plafon rumah ini terlebih dahulu.Kemudian Mbak Wati terlihat menyusulku naik ke atas, aku pun bergeser lebih dalam agar tempat ini cukup untuk bersembunyi kami bertiga. Karena tak berselang lama, Kak Dimas ikut naik lalu ia menutup lubang tadi dengan rapat.Dalam ruangan yang begitu gelap aku hanya bisa berdoa semoga saja plafon rumah ini kuat menahan beban kami bertig
Tak berselang lama, terlihat Kak Dimas kembali dengan langkah perlahan, ia membetulkan tangga lalu menyuruh kami turun ke bawah.Dengan tubuh bergetar dan baju yang masih dalam keadaan basah aku mulai turun ke bawah sana dengan membawa senapan serta tas bawaanku."Kak, Mbak Wati pingsan di atas, bagaimana ini?" "Apaa.. pingsan?"Kak Dimas tampak berdecak, aku tahu pingsannya Mbak Wati justru semakin menambah kesulitannya."Cepat kamu ganti baju dulu, jalan pelan-pelan saja anak buah Diky sedang tidur di ruang tamu," bisik Kak Dimas."Iya, Kak."Aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian menggunakan celana Kak Dimas dan juga kaos miliknya. Sedikit longgar tapi tidak masalah dari pada aku harus menggunakan pakaian yang basah. Aku dan Mbak Wati memang sengaja tidak membawa baju ganti karena itu akan menambah beban kami saat berlari.Dan sekarang aku bingung, bagaimana dengan Mbak Wati? Ia memiliki tubuh yang kecil, jika memakai baju Kak Dimas pasti ia akan sangat kebesaran."Ini, pakai
"Kak, ini pesan dari Mas Rama," Aku menyerahkan ponselku ke tangan Kak Dimas.Mas Rama dan ibunya merupakan orang yang nekat, entah apa yang akan mereka lakukan padaku jika kami berhasil tertangkap."Ayo habiskan makanan kalian! Kakak takut Diky akan buka mulut dan memberitahukan keberadaan kita di rumah ini," ucap Kak Dimas sembari mengembalikan ponselku."Lebih baik ponselnya di matikan saja, Non. Pasti tuan Rama akan terus mengirim pesan untuk menakut-nakuti kita," sahut Mbak Wati."Iya benar itu, Rah. Matikan saja ponselnya, setelah selesai makan kita bersiap pergi dari desa ini. Hari ini juga kita buat laporan ke kantor polisi,"Tanpa banyak bicara aku mematikan ponsel lalu kembali mengisi perut. Aku yakin keluar dari desa ini itu tidaklah mudah, pasti akan ada pertarungan dan peperangan lagi dengan anak buah ibu atau dengan rekan bisnisnya.Selesai makan kami pun bersiap membawa barang bukti yang sudah terkumpul dan berbagai senjata yang bisa digunakan dalam keadaan terdesak, se
"Kamu tidak apa-apa, Rah?" tanya Kak Dimas dengan tatapan khawatir.Kak Dimas terlihat terluka di bagian wajahnya, sedangkan Mbak Wati terluka di bagian lututnya hingga mengeluarkan darah. Sementara aku hanya merasakan nyeri di bagian perut dan tangan saja."Aku tidak apa-apa, ayo cepat kita bersembunyi! Sekarang lelaki itu sedang turun ke bawah untuk mencari kita," ujarku dengan panik."Hah, mereka turun?" Mbak Wati terlihat ketakutan."Ayo kita jalan ke sini," Kak Dimas menarik tanganku untuk berlari ke arah kanan.Sementara Mbak Wati menyusul di belakang, berjalan dengan kaki terpincang."Ayo, Mbak!" Kami terus berlari entah akan kemana, bahkan Mbak Wati tertinggal di belakang sana."Tunggu, Kak. Kasihan Mbak Wati ia tertinggal," Kak Dimas pun menoleh ke belakang dan berhenti sejenak untuk menunggu Mbak Wati."Apa kamu baik-baik saja, Mbak?" tanyaku khawatir.Terlihat tubuh Mbak Wati gemetar dengan wajah pucat pasi disertai keringat sebesar biji jagung yang sudah membasahi wajah
Mata kami pun tidak lepas dari memandang bangunan tua berbentuk persegi tersebut, bangunan itu tidak memiliki genteng sama sekali, keseluruhan bangunannya full dari tembok termasuk bagian atasnya.Pintunya pun terbuat dari besi, meskipun berkarat tapi pintu itu masih lumayan kokoh dan di sekeliling bangunan tua itu tidak ada jendela atau fentilasi udara sama sekali. Di sana hanya ada sebuah pintu besi yang ternyata sekarang di kunci dari dalam.Dahiku mengernyit kala melihat bangunan itu, "Kira-kira ini bangunan apa ya? Kenapa jendela atau ventilasi udara pun tak ada di sana?""Entahlah Non. Tetapi sepertinya bangunan ini ada hubungannya dengan Nyonya Sulis karena pria yang kita lihat barusan itu adalah anak buah Nyonya," jawab Mbak Wati.Aneh, untuk apa anak buah ibu berada di sini? Berarti tempat ini juga berbahaya untuk kami."Berarti tempat ini tidak aman untuk kita! Ahh... Sekarang kita harus lari kemana lagi? Kenapa dimana-mana ada anak buah ibu? Menyebalkan sekali!" gerutuku ke
"Menurutmu para wanita itu siapa, Mbak?" "Mungkin mereka juga tahanan Nyonya Sulis, Non. Tetapi saya juga baru tahu jika Nyonya juga menyekap para wanita di dalam hutan seperti ini," jawab Mbak Wati.Benar-benar biadab, mereka tega menyekap para wanita di tengah hutan seperti ini. Pantas saja keluarga Mas Rama kaya raya, bahkan ibu yang usianya tak lagi muda itu pun memiliki baju dan tas-tas branded berharga ratusan juta di dalam lemarinya, ternyata barang-barang mewah itu di dapat dari hasil menyiksa para wanita.Sulis, Sulis! Lihat saja suatu saat nanti aku akan membuatmu tersiksa seperti para wanita itu! "Apa sudah ada kabar dari Kevin, Kak?" tanyaku dengan suara pelan."Belum, Rah. Terakhir dia meminta Kakak mengirimkan semua bukti video yang kamu temukan termasuk alamat rumah Bu Yanti yang Kakak sewa itu," jawabnya.Semoga saja Kevin segera melakukan sesuatu untuk menolong kami, melanjutkan perjalanan pun rasanya tidak mungkin karena kami sama sekali tidak tahu kemana arah jala