"Non kenapa?" Bi Asih terlihat begitu panik sekaligus khawatir.
"Kepalaku pusing banget Bi." Jawab Ayra lirih hampir saja tub uhnya merosot ke lantai, beruntung dengan sigap Bi Asih menahannya lalu memeluknya. Lisa dan Kevin yang melihatnya segera menghampiri mereka. "Ayra kenapa, Bi?" Tanya Lisa terlihat begitu khawatir. "Katanya pusing kepalanya. Kalian siapa sepertinya kenal dengan non Ayra?" Bi Asih melihat ke arah Lisa dan Kevin bergantian. "Kami temannya Ayra Bi." Jawab Lisa dan Kevin tersenyum ke arah Bi Asih. "Oh." "Bi, apa kami boleh ikut mengantar Ayra ke rumah sakit?" Bi Asih mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Lisa. "Non Ayra tidak dibawa ke rumah sakit, dia biasanya menggunakan dokter pribadi." Lisa hanya mengangguk mendengarnya sambil membantu memapah Ayra menuju ke mobil. "Meskipun kamu berulang kali menyangkalnya, entah kenapa aku yakin kamu adalah Ayra sahabatku." Batin Lisa menatap mobil yang dinaikki oleh Ayra berjalan perlahan menjauh darinya. Di tempat lain Arland berjalan masuk ke dalam restoran, dia masuk ke dalam ruang VIP dimana Riska sudah menunggunya. Melihat kedatangan Arland, dengan mata berbinar Riska beranjak dari duduknya kemudian berjalan menghampirinya. "Mas, akhirnya kamu datang." Riska berkata dengan suara manja mengecup singkat kedua pipi Arland. "Hari ini kamu terlihat sangat cantik." Riska tersenyum mendengar pujian yang diucapkan oleh Arland, tanpa dia sadari semburat merah muncul di pipinya. Arland mengulurkan tangannya meraih dagu Riska mengangkatnya sedikit, kemudian menyatukan bibir mereka saling bertukar saliva. Dia sama sekali tidak peduli dengan perasaan isterinya, padahal tadi malam dia mengatakan kalau hanya Ayra satu satunya wanita yang dicintai olehnya. Tapi siang ini Arland justru bercumbu mesra dengan wanita lain. Riska dengan senang hati mengikuti permainan Arland kedua tangannya dikalungkan ke lehernya. Dia sama sekali tidak peduli dengan status Arland yang sudah menikah. Setelah tautan bibir mereka terlepas, mereka mendaratkan bokongnya di atas kursi duduk berhadapan. Hanya terhalang oleh meja dengan berbagai jenis hidangan tersaji di atasnya. "Mas, kapan kamu akan menceraikan Ayra? Aku ingin kita bisa secepatnya menikah. Mas, kan tahu papa tidak setuju aku menikah dengan pria yang masih terikat hubungan pernikahan dengan wanita lain?" Riska menatap ke arah Arland menuntut jawaban darinya. "Kamu tenang dulu, Mas akan mencari waktu yang tepat untuk membahas perceraian dengan Ayra." Jawab Arland berusaha meyakinkan Riska. "Jangan bilang Mas mencintai Ayra sehingga enggan untuk menceraikannya?" Tuduh Riska mengerucutkan bibirnya. "Mana mungkin hanya kamu yang Mas cintai." Seulas senyum terbit di bibir Riska mendengar ucapan Arland. Hatinya berbunga-bunga ada perasaan bahagia yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata. "Benarkan?" Dengan mata berbinar Riska menatap ke arah Arland. "Tentu saja, Ayra tidak ada seujung kuku pun jika dibandingkan denganmu." Senyuman merekah di bibir Riska mendengar Arland memuji dirinya. "Ternyata Mas Arland tidak pernah mencintai Ayra, ini kesempatan yang bagus untukku agar bisa menjadi istrinya." Monolog Riska tersenyum dalam hati. "Kalau Mas tidak mencintai Ayra, kenapa dulu menikah dengannya?" Riska bertanya dengan hati-hati. "Dia menjebak ku agar menikah dengannya, waktu itu dia sedang hamil tapi kekasihnya tidak mau bertanggung jawab." Riska terkejut matanya membulat sempurna, seolah kedua bola matanya hendak keluar dari tempatnya mendengar jawaban yang diucapkan oleh Arland. "Ternyata Ayra hanya wanita mura han." Batin Riska tidak pernah menyangka. "Jadi Ayra pernah hamil, sekarang dimana anaknya?" Riska bertanya kepada Arland, merasa heran sekaligus penasaran karena selama ini dia tidak tahu kalau Ayra sudah punya anak. "Tidak lama setelah kami menikah Ayra keguguran. Itulah awal pertama aku mengetahui kalau Ayra hamil." "Apakah Mas menyesal telah menikah dengan Ayra?" "Bagaimana nggak menyesal dia menjebak ku agar menikah dengannya, lalu menyodorkan barang bekas ke arahku." Ujar Arland lesu. Seulas senyum tipis terbit di bibir Riska mendengar ucapan Arland. "Ayra ternyata tidak sebaik yang aku kira selama ini." Batin Riska. "Aku merasa heran kenapa Mas bisa bertahan dalam hubungan pernikahan selama ini dengan Ayra?" "Sepertinya kamu ingin menguliti kehidupan rumah tanggaku dengan Ayra?" Arland menatap tidak suka ke arah Riska. "Bukan begitu maksudnya." Riska tersenyum kikuk ke arah Arland. "Ayra itu licik, dia menggunakan segala cara agar aku tidak bisa menceraikannya." Riska terkejut mendengar ucapan Arland. "Kalau Mas tidak bisa bercerai dengan Ayra, bagaimana denganku?" "Kamu tenang saja, aku akan melakukan segala cara agar bisa bercerai dari Ayra." Arland berusaha meyakinkan Riska. "Setelah itu kita menikah." Sahut Riska dengan mata berbinar. Mendengar hp-nya berbunyi Arland segera mengambilnya, mengangkat panggilan yang masuk ke hp-nya. "Ada apa dengan Ayra?" ".........." "Sekarang dimana Ayra?" ".........." "Suruh minum obat dulu, aku akan segera pulang." Arland memastikan sambungan teleponnya lalu menyimpan hp-nya ke dalam saku. "Riska, aku pulang." Pamit Arland membuat Riska merasa kecewa. "Ada apa Mas, kenapa pulang cepat?" "Ayra bikin ulah, Bi Asih kerepotan mengurusnya. Tenang saja nanti malam kita ketemu lagi di hotel Horison seperti biasa." Arland beranjak dari duduknya mengedipkan salah satu matanya ke arah Riska. Riska mengulum senyum mendengar ucapan Arland. *** Arland bergegas masuk ke dalam rumahnya, melihat Bi Asih sedang sibuk menata barang belanjaannya dia segera menghampirinya. "Bi, Ayra mana?" Mendengar pertanyaan Arland, Bi Asih tersentak kaget refleks menoleh ke arahnya sambil mengusap dadanya. "Eh Tuan Bibi kira siapa. Non Ayra ada di kamarnya, baru saja minum obat." "Apakah Ayra sudah makan siang?" "Belum, katanya masih kenyang." "Siapkan makan siang untuknya, antarkan ke kamar!" "Baik Tuan " Bi Asih menjalan menuju ke dapur menyiapkan makan siang untuk Ayra. Sedangkan Arland menaiki anak tangga satu persatu menuju ke kamarnya. Dia membuka pintu kamarnya secara perlahan terlihat Ayra sedang berbaring di atas ranjang dengan posisi miring. Arland berjalan berjalan mendekat ke ranjang lalu mendaratkan bokongnya di atasnya. "Sayang!" Arland mengusap rambut Ayra dengan lembut. Ayra merasa risih sehingga menyingkirkan tangan Arland dari rambutnya. Hal tersebut membuat Arland tersulut emosi. "Ayra, kamu ngambek hanya karena melihat noda lipstik di kemeja mas? Bukankah semalam Mas sudah menjelaskannya?" "Aku hanya ingin sendiri, lebih baik Mas kembali ke kantor." "Ayra, kamu mengusir suamimu sendiri?" Ayra hanya diam mendengar ucapan Arland, dia justru semakin erat memeluk guling yang ada di depannya. Dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri pikirannya masih kacau mengingat noda lipstik di kemeja Arland, seseorang bernama Lisa tiba-tiba mengaku sebagai sahabatnya dan Reyhan entah siapa dia namun Ayra merasa familiar dengan nama itu. Arland merasa geram melihat Ayra hanya diam tidak menjawab pertanyaan darinya apalagi menoleh ke arahnya. Dengan gerakan cepat dia menyingkirkan selimut yang menutupi tub uh Ayra. Kemudian mengangkat Ayra mendudukkannya di pangkuannya.Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be