Share

Bab 4. RDBS.

Author: Halii-choe
last update Last Updated: 2025-05-12 11:34:28

Malam itu, Almira dan Aiman duduk di atas tempat tidur, berbincang ringan seperti biasa. Percakapan sebelum tidur, rutinitas yang selalu mereka lakukan. Tapi malam ini, rasanya ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi jelas ada di udara.

“Mas, sebenarnya waktu itu kamu nggak pergi ke Bandung, kan?” tanya Almira tiba-tiba, suaranya terdengar datar, tetapi tekanan di baliknya begitu nyata.

Aiman menghentikan gerakan tangannya sesaat sebelum kembali berusaha terlihat tenang. “Maksud kamu apa sih? Ya enggak lah, aku emang pergi ke Bandung.” Jawabannya cepat, tetapi ada sesuatu dalam cara ia berbicara, terlalu terlatih, terlalu disusun.

Almira tidak mengalihkan pandangan. “Oya? Tapi waktu itu aku lihat kamu sama Lia di kafe.”

Sejenak, keheningan mengisi ruang.

Aiman menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras. “Kamu ini kenapa sih? Bicara sembarang, kamu nuduh aku selingkuh sama Lia?” Suaranya lebih tajam sekarang, lebih defensif dari biasanya.

“Bukan nuduh.” Almira menarik napas dalam, mempertahankan ketenangannya. “Aku cuma bertanya. Kalau memang Mas nggak merasa selingkuh, coba jelaskan kenapa waktu itu Mas ada di cafe sama Lia? Kenapa Mas berbohong?”

Aiman menoleh cepat, sorot matanya lebih tajam. “Siapa yang bertemu Lia? Kamu ada bukti kalau aku ada di sana waktu itu?” tantangnya, nada suaranya terdengar seperti gertakan.

Almira diam. Ia tidak bisa memberikan bukti itu. Saat itu, ia terlalu terkejut, terlalu terhanyut dalam amarahnya hingga lupa mengabadikan momen yang bisa memastikan segalanya.

Aiman menangkap keheningan itu sebagai celah untuk mengendalikan situasi. Ia menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur, ekspresinya berubah lebih percaya diri. “Jangan asal bicara kalau nggak ada bukti.”

Almira mengepalkan jemarinya di bawah selimut, otot-ototnya menegang. Dia tahu. Dia hanya tidak bisa membuktikan. Tapi untuk saat ini, itu cukup untuk Aiman memenangkan percakapan.

“Syal itu milik Lia, kan?” ucapnya akhirnya, lebih pelan, tetapi lebih tajam. “Aku ingat betul, tadi siang waktu bertemu Lia, dia memakai syal itu.”

Aiman tertawa kecil, tetapi terdengar dipaksakan. “Sayang, yang punya syal kayak gitu bukan cuma Lia. Jangan memperkeruh keadaan deh.”

Almira tetap menatapnya, matanya tak berkedip. “Iya, tapi ada aroma parfum yang sangat aku kenal.”

Tatapan Aiman berubah seketika. Nafasnya sedikit lebih berat, tetapi ia segera mengendalikan diri. “Aroma parfum itu bukan cuma Lia yang punya. Banyak!” jawabnya lebih keras, suaranya sedikit bergetar, seperti seseorang yang tahu dia sudah masuk ke wilayah berbahaya.

“Kalau memang bukan punya Lia, punya siapa? Gak mungkin mas gak mengingatnya,” desak Almira.

Tanpa peringatan, Aiman bangkit dari tempat tidurnya, berjalan cepat menuju pintu kamar, seakan ingin mengakhiri percakapan ini sebelum semakin jauh.

Almira tidak bergerak. Hanya memperhatikannya dalam diam.

Saat pintu terbuka, Aiman berhenti sejenak, tetapi ia tidak menoleh.

Almira tersenyum kecil, senyum yang tidak sehangat biasanya. Senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.

"Kenapa kamu begitu tegang, Mas?" ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan. "Sampai kapan kamu akan terus menyembunyikannya?"

Pintu kamar tertutup.

Dan Almira tahu, Aiman takut.

Ia menoleh ke arah meja nakas, tempat ponselnya tergeletak. Syal itu masih ada, tetap menjadi bukti yang diam.

Tetapi malam ini, Almira tidak lagi hanya mengumpulkan bukti. Malam ini, ia sudah mulai mengendalikan permainan.

~∆~∆~∆~

Pagi itu, Aiman berangkat lebih awal. Bukan karena ada agenda mendesak di kantor, tetapi karena ia ingin menghindari percakapan yang hampir pasti akan terjadi jika ia bertemu Almira. Semalam adalah mimpi buruk. Kata-kata Almira terus berputar di kepalanya, menggema seperti suara yang menolak untuk dilupakan. Ia tak bisa tidur, matanya terus terbuka, menatap gelapnya langit-langit kamar dengan pikiran yang semakin kusut.

Begitu keluar dari rumah, ia menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Hari ini, segalanya harus tetap berjalan normal. Seolah tidak ada yang terjadi. Seolah Almira tidak mulai mencurigainya.

Namun sebelum menuju kantor, ia punya satu hal lain yang harus dilakukan.

Mobil melaju dengan kecepatan terukur di jalanan pagi yang mulai ramai. Tujuannya sudah jelas, apartemen Lia.

Saat Lia masuk ke dalam mobil, ia menyambutnya dengan senyuman kecil, tetapi sorot matanya tampak lebih tajam, lebih waspada.

“Ada apa? Kok berangkat pagi banget?” tanya Lia, meliriknya dengan sedikit khawatir.

Aiman menghela napas, tangannya tetap erat menggenggam setir. “Semalam Almira mulai curiga,” jawabnya, tanpa basa-basi.

Lia menegang. “Curiga gimana?”

Aiman membelokkan mobil ke jalur yang lebih lengang, seolah ingin memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh siapa pun. “Dia nanya soal kafe… soal Bandung… soal syal yang kamu pakai.”

Lia membeku. Jemarinya perlahan meremas tas kecilnya, ekspresi di wajahnya berubah. “Terus, sekarang gimana? Kita harus ngapain?” tanyanya, suaranya lebih pelan, tetapi jelas mengandung ketakutan.

Aiman menggigit bibirnya sebelum menjawab, matanya tetap fokus ke jalan. “Mulai sekarang, kita harus lebih hati-hati.” Ia menarik napas dalam, memilih kata-kata dengan cermat. “Jangan ketemu di luar lagi. Semua pertemuan hanya di apartemen, sampai waktunya memungkinkan.”

Lia menelan ludah, lalu mengangguk pelan. Ia tidak menjawab, hanya memahami.

Tak ada yang berbicara setelahnya. Perjalanan berlanjut dalam keheningan.

Di kaca spion, Aiman melirik sesaat, seperti seseorang yang mulai merasakan bahwa waktunya semakin menipis.

Dan di sampingnya, Lia hanya menatap lurus ke depan.

Hari ini masih berjalan seperti biasa. Tapi tidak seperti kemarin. Dan seseorang sudah mulai membaca gerakan mereka.

***

Saat keadaan kembali tenang, suara notifikasi ponsel memecah keheningan.

Lia reflek meraih handphonenya, jemarinya bergerak cepat membuka pesan yang baru masuk.

Di layar, sebuah gambar terpampang jelas, syal berwarna cerah yang begitu familiar.

Di bawahnya, satu pesan singkat dari Almira.

"Li, ini syal kamu, kan?”

Darah Lia seakan berhenti mengalir.

Jemarinya menggenggam ponsel lebih erat, nafasnya tercekat, tetapi ia tidak segera mengetik balasan.

Di dalam mobil, Aiman melirik sekilas, menangkap perubahan di wajah Lia, kekakuan yang muncul begitu mendadak.

Lia tetap diam. Tetapi di dalam kepalanya, satu hal berputar tanpa henti.

Bagaimana bisa Almira tahu?

Bagaimana bisa syal itu sampai di tangannya?

Mobil terus melaju. Tetapi bagi Lia, waktu seakan berhenti.

~∆~∆~∆~∆~∆~

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fauz Bandan
ceritanya bagus, lanjutkan Thor.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 19. RDBS.

    Pintu apartemen terbuka perlahan, suara gesekan antara engsel dan kayu terdengar pelan, hampir seperti peringatan akan badai yang akan datang. Aiman melangkah masuk, melepaskan jasnya dengan gerakan lelah. Seharian bekerja menguras tenaganya, membuat tubuhnya terasa berat, dan pikirannya hanya menginginkan satu hal, tidur dan ketenangan. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara nyaring menghantam udara. "Jadi gini caramu pulang? Diam aja, seolah gak ada yang perlu dibahas?" Aiman menghela napas panjang, meletakkan tasnya tanpa menoleh. Dadanya terasa sesak, bukan karena kelelahan, tapi karena tahu percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik. "Lia, aku capek." ucapnya, suaranya lebih sebagai permohonan daripada pernyataan. Tapi Lia tidak terpengaruh, "Aku juga capek, Bebz! Capek nunggu kamu ngelakuin sesuatu! Kamu pikir rumah itu bakal balik sendiri kalau kamu cuma duduk manis?" Aiman menutup matanya sejenak, berusaha mencari sedikit kesabaran yang masih tersisa.

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 18. RDBS.

    Siang itu, mobil Almira terhenti di depan kedai kopi. Jam tangannya menunjukkan pukul 11:45, lima belas menit lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Tak masalah, lebih baik menunggu daripada tergesa-gesa. Almira memesan cappuccino dan duduk di sudut ruangan, mengamati setiap orang yang berlalu-lalang. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar mendekat. Lia muncul dengan ekspresi penuh emosi, matanya menyala tajam, dan tanpa membuang waktu, ia langsung menarik kursi dan duduk di hadapan Almira. "Kamu gila, ya?!" suara Lia meluncur tanpa basa-basi, nadanya tinggi, tajam. Tanpa menoleh, Almira tetap tenang, hanya meraih cangkirnya dan menyesap sedikit sisa cappuccino di dalamnya. "Siapa yang gila?" jawabnya datar, seolah tidak tertarik untuk memasuki perdebatan yang sudah ia duga akan terjadi. Lia, yang baru saja duduk di hadapannya, tampak kehilangan kesabaran dalam sekejap. "Kamu! Kenapa kamu jual rumah itu?! Apa kamu nggak kepikiran kalau aku bakal tinggal di s

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 17. RDBS.

    Suasana malam itu terasa begitu sunyi, hanya diiringi suara hembusan angin yang sesekali menggetarkan tirai jendela. Aiman melangkah masuk, wajahnya terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik, beban yang tak terlihat, yang menggantung di pikirannya seperti awan mendung yang tak kunjung pecah. Lia yang sejak tadi duduk di sofa langsung menoleh begitu melihat Aiman memasuki ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, ekspresinya penuh antusias. "Gimana, bebz? Udah selesai? Almira sudah keluar dari rumah itu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aiman tidak menunjukkan banyak reaksi. Langkahnya tetap terjaga, tanpa memperlambat sedikit pun. Dengan suara datar, ia menjawab singkat, "Sudah." Jawaban itu seolah terlalu biasa, terlalu ringan dibandingkan besarnya keputusan yang baru saja terjadi. Namun, Lia tidak peduli. Baginya, jawaban itu cukup untuk membuatnya melompat dari duduknya, mengikuti Aiman yang kini menuju kamar. "Kapan kita pindah

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 16. RDBS.

    Aiman memandang rumah itu sejenak, jendela-jendela tertutup rapat, tetapi lampu teras masih menyala, memberi sedikit kehidupan di tengah keheningan malam. Ia menghembuskan napas panjang, meraih gagang pintu mobil, lalu melangkah keluar. Langkahnya mantap, tetapi pikirannya penuh tanda tanya yang belum terjawab. Seharusnya, ini tidak perlu terjadi. Seharusnya, Almira tidak perlu melakukan hal sejauh ini untuk meninggalkan semuanya. Tetapi ia tetap melangkah. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia menekan bel. Detik demi detik berlalu, terasa lebih lambat dari biasanya. Pintu pun akhirnya terbuka, memperlihatkan sosok Bu Ami di belakang pintu. Wanita itu berdiri tegak, memandang Aiman dengan ekspresi yang sulit ditebak, tidak sepenuhnya dingin, tetapi juga tidak hangat seperti dulu. Ada jeda beberapa detik sebelum Aiman akhirnya berkata, "Malam, Bu. Almira ada?" suaranya terdengar hati-hati, seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata yang akan keluar harus diper

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 15. RDBS.

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah jendela, menyoroti sudut kamar Almira yang ada di rumah orang tuanya. Ia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Roknya jatuh sempurna, blusnya rapi, dan hijabnya tertata dengan baik. Tak ada yang perlu diperbaiki, semuanya sudah seperti yang ia inginkan. Hari ini adalah hari baru, hari yang benar-benar baru. Dari arah dapur, Bu Ami muncul, mengelap tangannya dengan kain setelah selesai merapikan meja makan. Ia berhenti di ambang pintu, matanya sedikit menyipit saat memperhatikan Almira yang tampak siap untuk pergi. "Mau ke mana, Al?" tanyanya, nadanya terdengar bingung. Almira mengambil tasnya dan melirik sekilas ke arah ibunya. "Mau survey tempat buat buka toko kue nanti," jawabnya tanpa ragu, suaranya penuh semangat. Bu Ami mengernyit, langkahnya mendekat. "Apa gak terlalu cepat? Apa kamu nggak mau nenangin pikiran dulu?" tanyanya, nada suaranya sarat dengan kekhawatiran. Almira tersenyum

  • Rahasia di Balik Senyuman    Bab 14. RDBS.

    Aiman duduk tegak di depan penghulu, sesekali melirik ke arah Lia yang tampak sedikit resah di tempatnya. Orang tua Lia duduk dengan sikap tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak Penghulu menatap Aiman sejenak sebelum berbicara, "Bagaimana, sudah siap?" Tanpa ragu, Aiman mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita mulai sekarang." Penghulu mulai bersiap mengucapkan ijab qobul. Semua orang menahan napas, menunggu kata-kata pertama keluar dari mulutnya.“Brak!” Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Suara hantaman kayu terhadap dinding membuat semua orang sontak menoleh. Di ambang pintu, Almira berdiri dengan tegak. Langkahnya mantap, sorot matanya tajam. Rahangnya mengeras, dan nafasnya sedikit terburu-buru, seolah baru saja bergegas ke tempat ini tanpa memikirkan apa pun selain satu tujuan. Ruangan yang tadinya penuh ketegangan kini berubah menjadi syok total. Lia menegang, jari-jarinya mencengkeram kain gaunnya dengan kuat. Orang tuanya saling bertukar pandang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status